Solilokui

Bukit-bukit di Seberang Rumah

Jamur juga bermacam-macam. Dari mulai yang kecil-kecil jenis “suung pare, hingga yang besar-besar seukuran piring, jenis “suung kotok, suung bulan”. Atau yang terhampar berpuluh-puluh batang “suung rampak. Lezat, gurih, digoreng atau disup. Termasuk “disate”, dibakar dengan  “durukan (api unggun) dadakan.

Oleh  : Usep Romli HM

Ketemu sajak lama karya Apip Mustopa (Limbangan, Garut 1938 – Jakarta, 2003)  baik yang berbahasa Indonesia “Bukit-Bukit di Seberang Cipancar” (Majalah “Budaya Jaya” tahun 1972), maupun berbahasa Sunda “Pasir-Pasir Peuntaseun Cipancar” (Mangle, 1972), langsung terbayang rangkaian tiga bukit di seberang Sungai Cipancar, yang tampak dari beranda rumah. Berjejer dari barat ke timur  Garunggang, Paranje dan Batunungku.

Apip Mustopa, penyair “dwibahasa” yang cukup berkibar di kancah sastra nasional tahun 1950-1970. Bersama penyair “dwibahasa“ lainnya seusia, yang menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia : Ajip Rosidi, Surachman R.M, Wing Karjo, Ajat Rohaedi, dkk. Sajak-sajak Sunda Apip terkumpul dalam “Srangenge Jakarta” (1985). Yang berbahasa Indonesia, dalam “Angin Bandung” (1979). Lebih banyak meng-habiskan usia di pengembaran (Bali, Papua), karena bekerja sebagai karyawan Telkom.

Sungai Cipancar, sebuah sungai yang cukup besar. Berhulu di Gunung Mandalawangi, dan bermuara di Sungai Cimanuk. Pernah menjadi sungai kaya raya dengan ikan liar, seperti arelot, kehkel, senggal, lele, bogo, genggehek, dsb. Hanya tidak ada ikan kancra dan  jongjolong, seperti di Sungai Cimanuk.

Sungai Cipancar dan bukit-bukit di sisi utaranya, pernah menjadi sumber makanan  tambahan pada masa genting. Tatkala  Tatar Sunda diacak-acak kekacauan bersenjata (1949-1962). Banyak sawah dan kebun terantar, karena para penduduk desa mengungsi ke.perkotaan. Kekurangan pangan merajalela.

Masih untung, di sekitar perkampungan ada sungai dan perbukitan, sebagai sumber makanan pengganjal. Asal mau turun ke Cimanuk atau Cipancar. Menangkap ikan menggunakan pancing, jala, bubu. Atau “marak”. Asal berani saja, karena sungai dan bukit itu merupakan basis “gorombolan”.

Makan nasi dari hari ke hari, cuma dua tiga suap dengan lauk seadanya. Ikan asin kering, kecap atau sambal “goang”. Habis makan “gantung teureuyeun”, karena tidak kenyang. Tanggung. Perut masih menuntut isi, makanan sudah tak ada.

Bukit-bukit di seberang Cipancar menjadi pelarian. Sambil menyabit rumput untuk makanan ternak, mencari aneka macam buah-buahan liar. Di situ banyak pohon “malaka”.  Berbuah lebat. Besar-besar.

Rasa buah malaka, pahit, kesat, campur masam. Tapi sesudah memakan buah itu, terus minum air dingin ,“cinyusu” atau air mata air, hilanglah rasa kesat, pahit, masam. Berganti dengan rasa manis segar. Tak kalah oleh rasa minuman segar semacam cocacola, sprite atau fanta.

Sekarang muncul  informasi, buah malaka mengandung karbohidrat, zat kapur, zat besi, gizi, nutrisi, dan lain sebagainya, yang bermanfaat terhadap kesehatan tubuh.

Selain  malaka, banyak pula “bakasem”. Amat masam. Sekarang “bakasem” terkenal dengan nama “Rosela”. Diolah secara moderen. Menjadi  cuka dan teh. Menjadi minuman kesehatan untuk mengobati kolestrol, hipertensi, diabetes, dlsb. Dagangan laris di toko obat dan apotek.

Atau “hanggasa”, umbi  pohon “honje”.  Manis segar.

Sering pula menemukan buah nangka. Jatuh karena sudah terlalu masak. Atau masih mengantung pada dahannya, tapi sudah digerogoti musang.Tak masalah. Dimakan saja karena enak. Demikian juga buah sirsak. Musim hujan, buahnya matang di po-hon. Banyak yang masih utuh. Banyak pula yang berupa sisa gigitan  kalong.

Pisang raja manggala atau “kulutuk” sisa serangan  “cocodot” (kelelawar kecil), sama seperti buah nangka jatuhan, atau buah nangka sisa musang, sirsak sisa kalong,  pisang raja manggala sisa “cocodot” juga  dianggap “gonimah”. Tak ada yang mengaku-aku milik siapa. Boleh dimakan siapa saja yang mau.

Apalagi kopo, harendong, geredog, tak ada yang menanam. Tumbuh sendiri di sepanjang sisi-sisi sungai. Bebas diambil siapa saja. Termasuk jambu mete,jambu ku-lutuk, dan umbi-umbian semacam ganyol, suweg, gadung dsb.   

Jamur juga bermacam-macam. Dari mulai yang kecil-kecil jenis “suung pare”, hingga yang besar-besar seukuran piring, jenis “suung kotok”, “suung bulan”. Atau yang terhampar berpuluh-puluh batang “suung rampak”. Lezat, gurih, digoreng atau disup. Termasuk “disate”, dibakar dengan  “durukan (api unggun) dadakan.

Buah-buahan dan umbi-umbian “liar” mengandung protein nabati. Untuk mengim-banginya agar badan memperoleh  protein hewani, ya memancing, atau “marak” dan “kokodok” di Cipancar atau Cimanuk. Kalau beruntung, dapat banyak ikan. Dibakar  begitu saja. “Dikurusuk” (asal matang sedikit).            

Alam yang ramah.Tempat Allah SWT menyediakan segala macam kebutuhan manusia. Siap melayani siapa saja yang memanfaatkannya tanpa berbuat kerusakan.

Sekarang, bukit-bukit seberang Cipancar yang terlukis indah  dalam bait-bait puisi penyair Apip Mustopa sudah berubah drastis. Kering gersang. Pohon-pohonnya habis dibabat. Tumbuhan lainnya terbongkar-bangkir digasak buldoser, bekhu dan dumptruk. Dijadikan lahan galian C untuk mencari keuntungan lebih banyak, konon. Namun dengan cara merusak dan merugikan terlebih dulu.

Nasib serupa diderita bukit-bukit Tutugan, Leles. Bukit legendaris tempat kisah jago silat Sunda termashur “Si Buntung Jago Tutugan” kini sudah menyerupai lubang raksasa. Batu,tanah dan pasirnya habis dikeruk untuk menimbun bakal kota teknopolis metropolis hunian entah siapa kelak. [  ]    

Back to top button