Perkara yang susah adalah mencetaknya. Karena mencetak buku menggunakan uang. Membayar percetakan pakai uang, bukan daun nangka. Celakanya, terkait buku seputar Betawi yang diajukan kepada tokoh-tokoh kaya Betawi, “perkara yang susah” itu menjadi hancur berkeping-keping karena kalimat yang kemudian meluncur adalah: “Waduh, ane nggak bisa bantu ape-ape. Ane cuman bisa bantu do’a.”
Oleh : Chairil Gibran Ramadhan*
JERNIH– “Menulis itu gampang. Nyang syusye nyetaknye.” Rochjani Soe’oed atawa Hakim Rochjani, adalah hakim dari golongan elit Betawi yang berperan penting dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, di Batavia. Beliau intelektual Betawi, yang kisah hidupnya ditulis oleh intelektual Betawi, dan peluncuran bukunya dihadiri para intelektual Betawi, di Museum Sumpah Pemuda, Kramat, Senen, Jakarta Pusat, 28 Oktober 2024.
Perkara menulis, bagi saya adalah hal yang gampang. Perkara yang susah adalah mencetaknya. Karena mencetak buku menggunakan uang. Membayar percetakan pakai uang, bukan daun nangka. Celakanya, terkait buku seputar Betawi yang diajukan kepada tokoh-tokoh kaya Betawi, “perkara yang susah” itu menjadi hancur berkeping-keping karena kalimat yang kemudian meluncur adalah: “Waduh, ane nggak bisa bantu ape-ape. Ane cuman bisa bantu do’a.”
Benar belaka orang Betawi itu terkenal religius. Namun dalam hal mencetak buku, jangan pula hanya hibah do’a, hibah Al Fatihah, sebagai cara berlepas-tangan dari memberi bantuan konkret. Mencetak buku tidak bisa dengan Al Fatihah. Pihak percetakan tidak menerima Al Fatihah sebagai alat pembayaran. Alat pembayaran yang dikenal di wilayah hukum RI adalah rupiah. Duit.
Jangan menuntut penulis dan penerbit untuk mencerdaskan bangsa, sementara orang-orang kaya asyik dengan dirinya sendiri, dan lebih memilih membuang uang untuk kegiatan-kegiatan “membakar kembang api” yang hanya meriah sekejap namun tak meninggalkan bekas apa-apa.
Sangat benar acara panggung harus ada, karena para seniman panggung cari makan dari sana. Namun jangan lupakan juga soal pendokumentasian melalui tulisan, buku. Itulah ranah intelektual. Isi kepala bisa terlihat dari tulisan dan lisan. Ingat pula pepatah Yunani Kuno: “Scripta manent, verba volant” (Apa yang ditulis akan abadi, apa yang diucapkan akan hilang).
Itulah makanya orang Belanda mendirikan KITLV, yang mencari ke pelosok-pelosok Nusantara buku-buku tentang negeri ini untuk dibawa ke Belanda. Sementara kita lebih memilih membuang uang untuk kegiatan-kegiatan “membakar kembang api” yang hanya meriah sekejap namun tak meninggalkan bekas apa-apa.
Di Negeri Belanda, lembaga-lembaga sastra di sana termasuk tentunya pemerintah, membeli buku-buku dari penerbit kecil. Kemudian buku-buku itu dibagikan kepada masyarakat yang hadir saat pemerintah mengadakan acara. Bayangkan, hal itu dilakukan dilakukan oleh negara kaya. Bagaimana dengan Indonesia, yang meskipun bukan negara miskin, namun masyarakatnya lebih memilih mengisi perut dan mengisi pulsa daripada mengisi kepala?
Bukan minat baca yang rendah, namun minat beli yang payah. Mereka selalu ada uang untuk membeli handphone berharga jutaan rupiah, membayar kopi yang secangkir harganya 75 ribu, membayar baju berharga ratusan ribu. Namun untuk buku yang hanya 150 ribu, mereka menyerah minta diskon.
Maka permintaan atas PDF sesungguhnya hanya cara untuk tidak mengeluarkan uang, bukan bentuk mengikuti teknologi. Di sisi lain, mata yang tertuju pada handphone sesungguhnya 95 persen bukan untuk membaca, namun melihat, menonton.
Saya pribadi, tidak pernah mengajukan proposal pendanaan terkait biaya riset untuk penulisan buku. Termasuk tentunya untuk pembuatan buku seri “Setangkle Puisi Sejarah & Budaya: Betawi, Batavia, Jakarta” dan “Setangkle Puisi Sejarah & Budaya: Keliling Kampung Betawi”. Bila ada uang, saya ngayab untuk riset, bila tidak ada uang saya diam di rumah mengolah data hasil ngayab. Saya sekarang memang tidak kaya-raya seperti ayah saya dahulu.
Penulis dan penerbit tidak mencari kaya dari menerbitkan buku. Mereka hanya mencari makan. Karena mencari makan harus ada caranya, cara yang halal dan berkah, maka mereka menulis buku. Mereka tidak bakat untuk nyolong uang negara. Mereka ngeri. Maka kepada mereka, negara jangan memeras otaknya untuk kemajuan bangsa dan bangsa menjadi berbudaya, namun asupan gizi untuk otaknya tersedot untuk untuk kegiatan-kegiatan “membakar kembang api” yang hanya meriah sekejap namun tak meninggalkan bekas apa-apa.
Dari Pondok Pinang saya ucapkan: Tabe srenta hormat! [ ]
*Chairil Gibran Ramadhan/CGR, Penulis dan pendiri-pemimpin Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies