POTPOURRISolilokui

Dari Dukun ke Makam Keramat [1]: Dukun Pelet Dari Banten

“Terakhir, serahkan kepada Allah SWT soal hasilnya. Itu hakikatnya,” katanya menjelaskan, hingga akhirnya tersebutlah nama salah satu dukun pelet sakti di sekitar wilayah itu. Abah Kamad namanya.

JERNIH– Niatnya hendak mengunjungi Baduy, Banten, tempat tinggal Urang Kanekes. Tapi karena sudah kemalaman di jalan dan hujan mengamuk tak henti-henti, akhirnya keinginan kudu diurung.

Lagi pula, ada cerita menarik selain soal kesohornya keturunan tentara Pangeran Pucuk Umun yang ditugaskan menjaga dan mengelola kawasan hutan lebat di wilayah Gunung Kendeng tersebut.

“Percuma Bang, nggak bakal diizinkan masuk sama kuncennya karena sudah malam. Lagi pula hujan. Mending ke rumah saya saja, istirahat. Besok baru ke sana,” kata Aji Aan Setiana, warga Bojong Manik, Lebak, Banten, memberi saran sekaligus tawaran saat berteduh di depan kios milik penduduk di Cimarga, pada Sabtu malam lima bulan lalu, sekitar pukul delapan.

Satu setengah jam kami berteduh, lantas perjalanan diteruskan saat hujan masih merintik sedih. Sejam kemudian, tibalah di rumah sederhana bermaterial kayu balok dan bambu khas masyarakat desa di Tatar Sunda, milik mertua Aji.

Setelah membersihkan badan, kopi hitam dan makanan berat disuguhkan. Dari sinilah niat mengunjungi Baduy yang sudah sangat sering diekspose itu benar-benar urung.

Aji yang sehari-hari mengais rezeki di Pasar Tanah Abang, Jakarta, sebagai juru tagih utang, mengisahkan kedigdayaan jawara Banten di bidang ilmu kanuragan, sambil sesekali menggesekkan batang golok ke telapak tangannya. Tak luka atau berdarah sedikit pun, padahal sisi tajam itu yang ia gesek-gesekkan ke kulit tangannya, seolah menggaruk bagian kulitnya yang gatal.

“Pertama syarat, kedua syariat, ketiga hakikat,” kata dia sambil terus-terusan mengepulkan asap rokok kretek dan menggoreskan golok ke telapak tangannya.

Dia bilang, saat ingin menuju ke suatu tempat, tentu butuh kendaraan. Itu syaratnya. Menyusul, harus juga dikendarai. Itu syariatnya.

“Terakhir, serahkan kepada Allah Subhanahuwwata’ala soal hasilnya. Itu hakikatnya,” katanya menjelaskan, hingga akhirnya tersebutlah nama salah satu dukun pelet sakti di sekitar wilayah itu. Abah Kamad namanya.

Segera nama itu diketikkan ke ponsel pintar meski sinyal lebih sering turun karena memang wilayah tempat tinggal Aji masih didominasi hutan milik negara. Rupanya, terkenal juga nama Abah Kamad sebagai dukun pelet di jagat maya.

Abah Kamad, tinggal di Kampung Dukuh Dapin, Desa Cibungur, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten. Perjalanan dari rumah mertua Aji ke sana membutuhkan waktu 20 menit menunggang sepeda motor.

Setibanya di desa tujuan, meski sembarangan bertanya kepada siapa saja, semua orang tahu nama Abah Kamad.

“Permisi, numpang nanya, kalo rumah Abah Kamad di mana ya?” tanya saya kepada tiga orang yang sedang kongkow di depan warung kelontong bersebelahan dengan bengkel sepeda motor.

Mereka, terdiri dari satu orang pria setengah baya dan dua ibu-ibu yang mungkin usianya sudah 40 tahunan.

Mereka menjawab pertanyaan dengan senyum seolah meledek. Kalau boleh diterjemahkan sebebas-bebasnya mungkin artinya begini : “Jelas tahu dong, mau minta tolong soal cewek ya?”

Geli, lucu dan agak keki juga melihat senyum itu. Tapi tak apalah. Yang penting sampai ke tujuan. Si pria setengah baya, mengantar ke rumah Kamad sambil berharap diberi selembar uang Rp 10 atau 20 ribu.

Sama seperti kebanyakan tempat tinggal di Cibungur, kecuali yang ekonominya sudah maju, rumah panggung milik Abah Kamad sangat sederhana. Berbahan utama kayu dan anyaman bambu disertai genteng tanah liat sebagai atapnya, dengan luas lahan kira-kira 100 meter persegi.

Dukun pelet berusia 70 tahun itu, tinggal bersama satu istri berumur 34 tahun dan dua orang anak laki-laki berusia belum sampai tujuh tahun.

Rupanya, Abah Kamad sedang tak di rumah. Kemudian datang seorang perempuan sedikit gemuk berkulit agak gelap dengan tinggi badan kira-kira 150 centimeter.

Pada jari manis kanannya, tersemat cincin emas berdiameter lebar. Di pergelangan tangan kiri, melingkar gelang emas. Sedangkan di lehernya juga melilit kalung berbahan sama.

Kalung dan gelang tadi, kira-kira selebar rantai kaleng biskuit Kong Ghuan yang melegenda itu. Dialah istri Kamad yang biasa dipanggil Neng oleh suaminya.

“Telepon aja si abahnya,” Kata dia sambil menunjuk ke kusen pintu rumah yang di situ tertulis “Abah Kamad 0857xxxxxxx” dengan tinta spidol warna hitam.

Setelah menekan 12 digit nomor tadi, yang dituju segera menjawab. Apalagi ketika tahu tamunya dari Jakarta. Antusias sekali dia.

“Iya tunggu, Abah jalan pulang nih,” kata suara di ujung telepon diiringi deru mesin motor.

Tak sampai lima menit kemudian, datang pria tua mengendarai sepeda motor bebek warna hitam merah. Kalau dilihat dari plat nomornya, sepertinya keluaran tahun 2015. Dialah Kamad yang terkenal di jagat maya itu.

Setelah memarkirkan kendaraan di samping rumah, Kamad melangkah sedikit tergesa kemudian mempersilakan saya masuk ke dalam rumah.

Meski tahu yang datang wartawan, Kamad tak kecewa. Dia bilang, mulai memburu ilmu pengasihan, penglaris serta pelet sejak usia belasan dari 14 orang guru di wilayah Banten. Segala macam puasa dan bertapa sudah dilakoni.

“Ya puasa Senin-Kamis, puasa mutih, puasa makan nasi, sampai puasa tujuh hari tujuh malam sudah Abah lakukan,” kata dia dengan logat Sunda khas Banten.

Memulai Kiprah

Di tahun 1967, ketika Indonesia sedang mengalami peralihan zaman dari Orde Lama ke Orde Baru, Kamad memulai karirnya di bidang perdukunan. Di tahun itu pula, dia pertama kali menikahi seorang perempuan. Bayi’ namanya. Usia pernikahan mereka cuma satu tahun saja.

Hingga saat ini, Kamad bilang kalau dirinya sudah 39 kali menikah. Punya 14 orang anak dari delapan ibu dan 18 cucu. Si Neng yang bergelang, kalung dan cincin emas berwarna mencolok tadi, adalah istri terakhirnya.

“Ini terakhir. Abah nikahin waktu dia umur 14 tahun. Itu anak-anak Abah. Abah nggak mau nikah lagi. Sampe mati rupanya,”kata dia sambil menunjuk dua bocah kecil yang berkejaran dengan ayam di pelataran rumah.

Kamad bilang, pernikahannya yang sebanyak 39 kali itu lantaran dia punya “ajian”. Dan poligami yang dia lakukan, bukan sekaligus.

“Ya nggak 39-nya Abah kumpulin. Kadang cuma empat, kadang cuma dua, dan sekarang cuma satu. Ada yang tiap bulan Abah nikahnya.

Bulan Maulid nikah, Jumadil Awal nikah lagi, Jumadil Akhir nikah lagi, bulan Rajab nikah lagi. Tapi dicerai bulan Syawal semua, habis Lebaran. Yang paling lama sama yang sekarang. Ada mah 20 tahun.

Semuanya Abah ajak tinggal di sini, di rumah ini,” Kata dia menjelaskan, sambil menyebutkan paling lama pernikahan bertahan tujuh tahun dan paling cepat tiga bulan.

Tamu dari Jakarta

Di tengah-tengah obrolan, datang lima orang tamu, anak-anak muda berusia 20-an tak sampai 30 tahun. Bertampang orang berada mengendarai mobil Daihatsu Terios warna putih.

Salah satu di antaranya, memakai jam emas di tangan kiri. Mereka diantar pemuda yang sengaja duduk-duduk di pingggir jalan menunggu pendatang  bertanya di mana rumah Kamad. Betul, mereka dari Jakarta.

Setelah salah satu dari mereka bersalaman dengan pemuda tadi sambil menyelipkan selembar uang Rp 10 ribu, kemudian dipersilakan masuk oleh Kamad. Tak habis hitungan menit basa-basi, maksud kedatangan diutarakan.

“Isi buku tamu dulu,” begitu kata Kamad, kemudian satu persatu diajak masuk ke dalam kamar bilik tempat praktik. Demi jaga kerahasiaan, katanya.

Buku tamu wajib diisi setiap orang yang datang minta tolong. Ini, masih kata dia, sengaja diwajibkan Kepala Kelurahan setempat guna mengetahui siapa dan dari mana saja mereka berasal.

Kalau tamu membludak, biasanya ada anggota Pertahanan Sipil datang menjaga keamanan. Honornya dibayar dari kantong Abah.

Saya diizinkan melihat isinya. Tertulis di dalamnya, selain dari Pulau Jawa, orang yang datang minta jampi-jampi juga berasal dari Palembang, Sumatera Selatan, Bengkulu, Makassar, Kalimantan Barat, Lombok, serta Papua.

Permintaannya macam-macam. Ada yang minta penglaris, pengasih atau minta dibantu urusan jodoh. Tapi soal santet atau teluh, Kamad tidak melayani karena takut dosa.

Ricky, salah satu dari lima orang anak muda tadi mengatakan, dia memang sering datang ke tempat “orang pintar”. Kalau dulu dia minta jimat untuk urusan sekolah kepada dukun di Karawang, Jawa Barat, kali ini dia datang ke Kamad wabil khusus untuk menggaet seorang gadis.

Kelimanya mengatakan punya niat sama sambil menunjukkan bongkahan kecil batu kemenyan sebesar kuku ibu jari. Benda itu dibungkus kertas putih beserta sebotol minyak wangi pemberian Abah.

“Kalo batu disuruh celupin ke air selama satu jam terus disuruh minum. Habis itu batunya dibuang. Kalo minyak wangi disuruh pake aja. Kata Abah, nanti dibantu dari jauh,”kata Ricky, sambil menjelaskan kalau dia tahu nama Kamad dari berita di internet.

Tarif dan mahar jimat Kamad

Setelah kira-kira dua jam, Ricky dan empat orang temannya pamit untuk segera kembali ke Jakarta. Wajah mereka sumringah sekali penuh harapan usahanya bakal berhasil. Sebelumnya, Kamad tegas-tegas mengatakan kalau pekerjaannya cuma bisa berhasil jika diizinkan-Nya.

Sambil sesekali mengusap ujung hidung, menggaruk kepala dan belakang telinga, Kamad berkali-kali mendoakan diijabah.

“Kalo engga diijabah, namanya kita usaha ini. Abah juga manusia biasa ya. Nggak bisa memastikan. Kalau bisa memastikan namanya bukan orang, kali,”kata dia.

Bagi setiap tamu, tak ditentukan berapa besar tarif yang kudu dibayar. Tapi dari keterangan Ricy, dia memberikan Rp 50 ribu yang dimasukkan ke dalam amplop putih. Keempat orang temannya pun melakukan hal dengan nominal sama.

Sedangkan untuk barang seperti bongkahan kecil batu kemenyan dan minyak wangi tadi, mahar dihargai senilai Rp 250 ribu. Kamad mengatakan, benda itu dia dapat bukan dari hasil bertapa tapi membelinya di pasar.

“Makanya Abah mah, apa-apaan mematok harga. Itu mah bukan beli usahanya. Itu mah beli barang,” katanya.

“Kalau tidak diijabah (diluluskan doanya), ya mau gimana lagi,” lanjut dia.

Dari pendapatannya, Kamad bilang dibagi-bagi ke anak yatim, orang miskin dan disumbangkan ke masjid. Sisanya untuk makan tiap hari, beli pulsa listrik dan telepon selular, serta beli pakaian anak, istri dan dia sendiri.

Tiap kali mengajak pasien ke bilik praktik, Kamad yang enggan menatap wajah dan mata lawan bicaranya, sering kali mengusap kelopak mata bagian bawah. Ia mengaku tak merasakan ada sesuatu yang aneh di badan, hati dan pikirannya. Saat tidur, dia bilang baru mendapat firasat bakal berhasil atau tidak, lewat mimpi.

Hikayat tenarnya Kamad

Meski tergolong orang desa yang tinggal di pedalaman, Kamad sadar betul kalau peran media massa mampu mendongkrak namanya hingga tenar bukan cuma se-Banten. Ke seantero Indonesia, bahkan mancanegara, dia terkenal sebagai dukun pelet, pendongkrak larisnya dagangan atau pembuka aura.

Awalnya begini. Pada Minggu, 29 Mei 2016, Kamad kedatangan tamu seorang perempuan dari Jakarta. Sepulang dari sawah, sambil memikul pacul menuju rumah, Abah sudah ditunggu tamu yang ternyata wartawati.

Tamunya itu, meminta sesuatu yang entah apa lantaran tak disebutkan Kamad.

“Barangkali dia berhasil. Jadi, datangnya dia ke rumah Abah ini, katanya, saya ini Bah ngasih duit mah sama Abah tidak bisa tiap bulan, tiap minggu, nggak bisa. Saya hanya bisa menulis apa yang bisa Abah bantu buat orang-orang, kata si wartawan itu. Mudah-mudahan dengan ini Abah dikasih jalan,” kata Kamad menjelaskan.

Janji wartawati itu ternyata benar. Saya menelusurinya di dunia maya. Dan memang, dialah yang pertama kali menulis berita tentang dukun pelet bernama Abah Kamad. Tulisan tersebut banyak dikutip portal berita lainnya, terutama yang asal lamannya penuh, hingga melambunglah nama sang dukun dari Banten itu. []

Bersambung

Back to top button