
Sejarawan Prancis, Alexis de Tocqueville, pernah menegaskan bahwa “rakyat akan diam selama mereka percaya suaranya didengar, tetapi ketika telinga kekuasaan tertutup, jalanan menjadi forum terakhir demokrasi.” Pandangan ini sejalan dengan pemikiran ilmuwan politik Indonesia, Arbi Sanit, yang menyatakan bahwa demonstrasi adalah “alat koreksi politik” ketika mekanisme formal tidak bekerja.
Oleh : Ferdy Moidady*
JERNIH– Demonstrasi merupakan fenomena politik yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Ia bukan sekadar kerumunan massa yang mengganggu ketertiban, melainkan sebuah ekspresi politik kolektif yang lahir dari akumulasi kekecewaan.
Demonstrasi terjadi ketika jalur formal penyampaian aspirasi rakyat tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, demonstrasi adalah alarm demokrasi: tanda bahwa suara rakyat diabaikan oleh para pelayan rakyat.
Konsep wakil rakyat dan pelayan rakyat sesungguhnya menegaskan bahwa jabatan publik hanyalah mandat. Para pejabat tidak lebih dari perpanjangan tangan rakyat untuk mengelola kekuasaan. Namun, dalam realitas politik Indonesia, mandat itu kerap dikhianati. Tidak jarang, kepentingan rakyat justru dikorbankan demi agenda politik, kepentingan elite, atau tekanan kelompok tertentu. Akibatnya, rakyat kehilangan saluran komunikasi yang sehat, lalu menempuh jalur demonstrasi sebagai satu-satunya pilihan yang tersisa.
Kecenderungan elite politik yang menutup ruang dialog dengan rakyat menjadi penyebab utama meningkatnya intensitas demonstrasi. Hal ini tercermin dari berbagai momentum politik nasional. Reformasi 1998 adalah contoh monumental: ribuan mahasiswa dan rakyat turun ke jalan menuntut diakhirinya rezim Orde Baru, karena jalur formal untuk menyampaikan kritik telah buntu. Begitu pula demonstrasi besar tahun 2019 menolak revisi UU KPK dan RKUHP, serta penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja pada 2020. Seluruhnya memperlihatkan pola yang sama: suara rakyat diabaikan, aspirasi ditekan, hingga akhirnya jalanan menjadi arena perlawanan.
Fenomena yang terjadi dalam beberapa hari terakhir juga menegaskan pola serupa. Demonstrasi yang merebak di berbagai kota tidak bisa dilepaskan dari akar persoalan lama: akumulasi aspirasi rakyat yang diabaikan. Dari isu sosial-ekonomi hingga kebijakan politik, rakyat merasa suaranya tidak ditampung secara serius. Inilah pengulangan sejarah yang seharusnya menjadi tamparan bagi kita semua: sampai kapan kita terus mengabaikan pentingnya aspirasi rakyat? Apakah kita harus menunggu ledakan sosial yang lebih besar hanya karena keengganan elite untuk mendengar?
Sayangnya, paradigma pemerintah terhadap demonstrasi sering kali keliru. Demonstrasi lebih sering dipandang sebagai ancaman ketertiban dan keamanan, alih-alih sebagai kritik yang harus direspons dengan kebijakan yang lebih adil. Padahal, dalam sistem demokrasi, demonstrasi adalah legitimate political action—aksi politik sah yang berakar pada hak konstitusional rakyat untuk menyatakan pendapat.
Sejarawan Prancis, Alexis de Tocqueville, pernah menegaskan bahwa “rakyat akan diam selama mereka percaya suaranya didengar, tetapi ketika telinga kekuasaan tertutup, jalanan menjadi forum terakhir demokrasi.” Pandangan ini sejalan dengan pemikiran ilmuwan politik Indonesia, Arbi Sanit, yang menyatakan bahwa demonstrasi adalah “alat koreksi politik” ketika mekanisme formal tidak bekerja.
Dalam konteks Indonesia, peneliti LIPI Syamsuddin Haris juga menekankan bahwa pemerintah sering gagal memahami pesan dari demonstrasi. Menurutnya, “Demonstrasi adalah ekspresi politik sah. Ketika negara merespons dengan kekerasan, artinya negara gagal mengelola demokrasi.”
Dalam perspektif demokrasi modern, demonstrasi seharusnya diposisikan sebagai mekanisme korektif. Ia adalah instrumen kontrol sosial-politik yang menuntut keterbukaan, bukan represi. Pejabat publik yang sejati tidak akan alergi terhadap suara massa, melainkan menjadikannya refleksi untuk mengevaluasi kinerja.
Jika pelayan rakyat kembali pada hakikat mandatnya, demonstrasi tidak perlu menjadi ledakan kemarahan. Aspirasi dapat ditampung melalui jalur musyawarah dan partisipasi publik. Namun jika pola pengabaian terus dipertahankan, demonstrasi akan tetap hadir, bahkan berpotensi berubah menjadi instabilitas yang mengancam fondasi negara.
Demokrasi tidak diukur dari seberapa sering rakyat turun ke jalan, melainkan seberapa serius negara mendengar suara rakyat sebelum mereka merasa perlu berteriak. Demonstrasi hanyalah gejala; penyakit yang sesungguhnya adalah pengabaian aspirasi. Dan selama penyakit ini tidak disembuhkan, ‘alarm demokrasi itu akan terus berbunyi di jalanan.’ [ ]
*Guru Sejarah Indonesia di SMK Depok)