
Video kasir gerai Roti O menolak pembayaran kontan seorang ibu menuai respon. Lantas, apakah tindakan manajemen Roti O hanya memberlakukan pembayaran digital dapat dibenarkan?
WWW.JERNIH.CO – Di tengah laju digitalisasi yang kian cepat, masyarakat Indonesia kini dihadapkan pada dilema baru. Semakin banyak gerai ritel dan makanan populer—termasuk merek besar seperti Roti O—yang membatasi, bahkan menolak, pembayaran tunai.
Alasan yang dikemukakan terdengar rasional: transaksi menjadi lebih efisien, cepat, dan aman. Namun, di balik kenyamanan teknologi tersebut, muncul pertanyaan mendasar yang tidak bisa diabaikan: apakah modernisasi sistem pembayaran boleh mengorbankan hak konsumen dan bahkan berpotensi melanggar hukum?
Dari sudut pandang pelaku usaha, sistem cashless memang menawarkan berbagai keuntungan. Risiko peredaran uang palsu dapat ditekan, kesalahan penghitungan berkurang, dan antrean kasir menjadi lebih singkat.
Dalam dunia ritel yang kompetitif, efisiensi sering kali menjadi kunci keberlangsungan bisnis. Namun, transaksi ritel tidak semata-mata persoalan operasional internal. Ia juga merupakan bagian dari layanan publik.
Ketika sebuah gerai secara sepihak menolak uang tunai, akses terhadap barang dan jasa menjadi terbatas bagi sebagian kelompok masyarakat—bukan karena mereka tidak mampu membayar, melainkan karena tidak memiliki sarana digital. Di titik inilah efisiensi berubah menjadi eksklusi.
Secara hukum, Indonesia sebenarnya tidak berada dalam wilayah abu-abu terkait alat pembayaran. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara tegas mengatur kedudukan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran. Pasal 2 ayat (2) menegaskan bahwa Rupiah terdiri atas uang kertas dan uang logam, bukan semata-mata saldo digital atau instrumen elektronik. Artinya, selama konsumen menyerahkan Rupiah yang sah dan asli, pelaku usaha tidak memiliki dasar hukum untuk menolak pembayaran tunai.
Lebih jauh, ketentuan ini tidak berhenti pada imbauan normatif. Pasal 33 Undang-Undang Mata Uang memuat ancaman pidana yang nyata, yakni kurungan paling lama satu tahun dan denda hingga Rp200 juta bagi pihak yang menolak menerima Rupiah tanpa alasan yang sah.
Memang terdapat pengecualian terbatas, seperti jika pelaku usaha meragukan keaslian uang atau jika sejak awal transaksi telah disepakati secara khusus untuk menggunakan metode non-tunai. Namun, kebijakan sepihak bertajuk “cashless only” di gerai ritel umum tidak termasuk dalam pengecualian tersebut.
Bank Indonesia sendiri secara aktif mendorong digitalisasi melalui Gerakan Nasional Non-Tunai dan penggunaan QRIS. Meski demikian, BI berulang kali menegaskan bahwa uang tunai tetap merupakan alat pembayaran sah.
Digitalisasi dimaksudkan untuk memperluas pilihan dan meningkatkan efisiensi, bukan untuk menghapus hak masyarakat atas penggunaan Rupiah fisik. Dengan kata lain, dorongan ke arah cashless tidak pernah dimaksudkan sebagai legitimasi untuk menolak uang tunai.
Memaksakan sistem “digital only” justru berisiko menciptakan eksklusi ekonomi. Tidak semua warga berada pada tingkat kesiapan yang sama dalam mengadopsi teknologi. Masih ada kelompok unbanked, seperti lansia, anak-anak, pekerja informal, atau masyarakat di wilayah dengan akses perbankan terbatas.
Dalam kondisi darurat—ketika sinyal hilang, sistem bank bermasalah, atau perangkat kehabisan daya—uang tunai justru menjadi penyelamat transaksi. Selain itu, sebagian konsumen memilih uang fisik demi privasi dan kontrol pengeluaran, sebuah preferensi yang sah dan dilindungi hukum.
Sistem pembayaran yang hanya mengandalkan digital memang cepat, tetapi relatif rapuh. Sebaliknya, sistem multi-moda yang mengakomodasi pembayaran tunai dan non-tunai jauh lebih tangguh, adil, dan patuh hukum. Inklusivitas bukanlah penghambat inovasi, melainkan fondasi agar inovasi tidak meninggalkan siapa pun. Di sisi lain ada hak konsumen yang harus dihormati dan dilayani.(*)
BACA JUGA: QRIS dan Akselerasi Ekonomi Digital Indonesia




