Generasi yang Dibesarkan RA Kosasih, Ardisoma, Teguh dan Jan Mintaraga
Saat itu pun saya merasa tak bisa memandang simplistis pada karakter-karakter wayang. Entah dia Prabu Salya saat masih bernama Raden Narasoma, Begawan Kombayana alias Resi Drona, Narayana atawa Kresna yang sekali pun bijak tetap saja mengandung perilaku lancung, atau pada seorang murid yang paling menaruh hormat kepada gurunya, Raden Ekalaya.
JERNIH– Jika ada keinginan masa kanak-kanak yang belum terlunaskan dan tak mungkin terlunasi lagi, itu adalah menggelar pertunjukan wayang golek saat saya disunat. Tak akan terlunaskan. Dulu luput, sekarang pun tak mungkin saya mau disunat kedua kalinya, bukan?
Sejak kecil saya memang menyukai wayang. Awalnya barangkali tak hanya karena pengalaman saat kelas 1 SD, ada teman yang lebih senior disunat. Bapak-ibunya nanggap wayang golek. Sebagaimana kebiasaan, wayang akan memainkan cerita dua kali: siang hari sekitar pukul 11 dengan jeda waktu Dhuhur sampai menjelang Ashar. Ceritanya biasanya sederhana, dengan waktu pertunjukan yang kurang lebih empat jam saja. Seringkali dalang yang bermain pun dalang junior yang baru satu-dua tahun manggung.
Sementara malamnya bisa dipastikan yang manggung adalah dalang serta pesinden utama. Pertunjukannya lebih serius, lebih panjang karena memakan waktu semalam suntuk. Dalang baru akan berteriak,”Tutup lawang sigotaka!” sebagai penunjuk akhir pertunjukan, seperti tulisan ‘The End’ di film-film barat saat itu, manakala adzan Subuh siap berkumandang. Selalu sebelum adzan Subuh, menghormati warga yang hendak datang melapor di awal hari kepada Sang Maha Segala.
Nah, karena bertetangga dekat, suara pertunjukan itu pada dini hari membangunkan saya yang tidur sejak usai Isya. Saya sempat membangunkan Ibu, minta izin sekalian agar pintu dikunci lagi saat saya di luar. Meski sebagian cerita luput diikuti, saya merasa terhibur dengan pandangan tak lepas dari gedebong pisang yang menjadi latar pertunjukan.
Dari awal datang dengan mata 5 watt seorang bangun tidur, mata tak lagi terpejam hingga dalang meneriakkan ‘Tutup Lawang Sigotaka!’ dan menancapkan kakayon (Jawa: gunungan).
Baru menjelang bujang saya tahu ada banyak jenis gunungan, dari gunungan Blumbangan, Gapuran, Gunungan Wayang Parwa, Jagad Gumelar, Sunda Sawawa, Gunungan Wayang Sadat yang berisikan kalimah syahadat, hingga Gunungan Madura dan Betawi. Di kelas satu SD itulah pertama kalinya saya nonton pertunjukan wayang golek, dan langsung menyukainya.
Kesukaan itu kemudian didukung secara tak langsung oleh keberadaan uwak (pakde) saya, Wa Engkos. Beliau bertugas di Perpustakaan Umum Kabupaten. Mungkin begitu aturannya, buku-buku koleksi lama tahun 1950-60-an yang sudah mulai lepek dan sebagian sobek, biasanya dibuang. Sebagian buku berejaan Van Ophuijsen yang masih memakai ‘oe’ untuk ‘u’ dan ‘tj’ untuk ‘c’ itu adalah buku-buku cerita bergambar (komik) wayang karangan RA Koesasih, terbitan PT Melodi, Bandung. Oleh Uwa, buku-buku itu dibawanya ke rumah. Karena sepupu saya, Ence Budi Kadarusman, tak terlalu suka membaca, jadilah saya yang seolah mendapatkan durian runtuh.
Hampir setiap hari, sejak kelas 3 SD itu saya sudi berjalan kaki bolak-balik Kampung Putat–Kampung Cibogo yang berlainan desa, menempuh jarak sekitar 6-8 kilometer, untuk membaca buku-buku tersebut. Karena rajin datang ke Uwa itu pula saya bisa mengikuti Majalah Remaja ‘Hai’ dengan teratur, hingga mengenal ‘Kiki dan Komplotannya’, ‘Imung’ dan serial ‘Keluarga Cemara’ yang semuanya ditulis mendiang Sarwendo alias Arswendo atawa Titi Nginung atau Kembang Manggis. Tetapi setiap kali datang, selalu saya membukai komik wayang itu, membacanya berkali-kali tanpa rasa bosan.Sebenarnya bahkan komik-komik wayang yang dibawa Uwa itu bukan hanya karangan RA Kosasih. Ada pula karangan Oerip dan S. Ardisoma.
Dari situlah saya mengenal Mahabharata, dari ‘Leluhur Pandawa’, hingga ‘Barathayudha’ dan ‘Pandawa Seda’ dengan cara yang nikmat. Pasalnya, sepuluh tahun lalu saya membeli buku ‘Mahabharata’ tulisan Rajagopalachari, yang hingga kini belum juga saya baca. Mungkin karena merasa sudah membacanya lewat buku lain di masa kecil, barangkali.
Bila dari Uwa Engkos saya dimungkinkan bisa membaca komik-komik lama, dari rumah Uwa Enda saya menikmati komik wayang bersambung, guratan pena Teguh Santosa dan Jan Mintaraga. Almarhum Wa Enda saat itu tergolong berada karena menjadi karyawan administrasi pabrik gula.
Untuk anak-anaknya, para kakak sepupu saya Ceu Ai, Teh Anne dan Ceu Enci, beliau berlangganan majalah anak-anak ‘Ananda’. Di majalah itu, selain komik bersambung di halaman pertama, yakni komik para pahlawan bangsa karangan NBC Sukma, komik-komik wayang sisipan setiap pekanlah yang paling saya nikmati. Soalnya, isi lainnya dari ‘Ananda’ terasa lebih feminin buat saya. Nah, jarak ke rumah Wa Enda yang harus saya tempuh setiap pekan agar bisa ikut membaca ‘Ananda’ itu lebih jauh, sekitar 5 kilo. Lumayan kan kalau bolak-balik. Saya tak punya sepeda, dan tak ada pula kendaraan umum ke sana.
Belakangan, saya pun bisa ikut menikmati pertunjukan wayang hanya dari pendengaran. Awalnya saya selalu heran manakala Mama—kakek saya dari bapak, tak pernah absen mengikuti acara langsung wayang golek yang disiarkan langsung RRI Bandung dari Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK), Jalan Naripan, Bandung. Saya hafal alamat itu, karena selalu diucapkan penyiarnya, Kemal Pramayudha Setiadharma, dengan gaya yang khas. Tetapi dalam Bahasa Indonesia : “Inilah siaran langsung wayang golek semalam suntuk, dengan dalang Haji Cecep Supriadi, disiarkan langsung oleh Radio Republik Indonesia Bandung, dari Gedung YPK, Jalan Naripan, Bandung…” Semalaman kakek bisa tegar menongkrongi radio transistor dua band merek—kalau tak salah, ‘Cawang’ itu. Pada saat kelas 4 SD, bapak punya rejeki untuk membeli radio transistor dua band—MW dan SW, yang lain, merek ‘Telesonic’.
Apalagi belakangan, karena nanggap wayang golek memerlukan biaya besar, datanglah zaman tape recorder menjadi hiburan di setiap hajatan. Kaset-kaset wayang golek dari berbagai dalang kenamaan, seperti Abah Sunarya, Cecep Supriadi, Dede Amung Sutarya, hingga belakangan, Ade Kosasih Sunarya dan Asep Sunandar Sunarya, merajai setiap hajatan. Karena memakai pengeras suara yang ditempatkan tinggi-tinggi di ujung batang bambu, suara pertunjukan wayang pun mau tak mau akan didengar orang luar kampung.
Pengalaman itulah yang seiring kedewasaan, membuat saya sering menafakuri sisi lain dari banyak tokoh dunia pewayangan. Saat itu pun saya merasa tak bisa memandang simplistis pada karakter-karakter wayang. Entah dia Prabu Salya saat masih bernama Raden Narasoma, Begawan Kombayana alias Resi Drona, Narayana atawa Kresna yang sekali pun bijak tetap saja mengandung perilaku lancung, atau pada seorang murid yang paling menaruh hormat kepada gurunya, Raden Ekalaya. Jadi apalagi untuk orang-orang yang setengah terpaksa hidup dalam lingkungan buruk seperti Raden Aradea alias Dipati Karna, atau Kumbakarna, saudara sekandung Rahwana aka Prabu Dasamuka.
Saat saya jadi bagian sebuah majalah berita, pergaulan dengan cerita wayang itu pun sempat terpakai. Saya jadi warga pertama majalah itu yang mengkritik tulisan mingguan seorang empu kepenulisan yang namanya sudah bermoksa menjadi dewa para penulis. Saya mengkritik beliau yang tanpa sadar menyebut suatu tempat di cerita ‘Ramayana’ dalam tulisannya yang berlatar belakang cerita ‘Mahabharata’. Sang Empu seorang yang egalitarian dan jujur, menulis ralat dan tanggapannya yang simpatik dari New York, tempatnya beraktivitas seni saat itu. Namun saya sendiri saat itu sempat menerima wajah-wajah masam beberapa senior. Tak tahu mengapa. [dsy]