
Betapa banyak perkumpulan kita menjelma parade binatang raksasa: gajah yang gemar memamerkan tubuhnya, banteng yang suka menyeruduk, elang yang sibuk mengepakkan kebesaran. Semuanya berlomba menutupi langit dengan bayangannya, seakan perkumpulan hanyalah pentas bagi ego-ego besar. Di negeri ini, perkumpulan sering jadi hak monopoli para raksasa. Rakyat dipanggil hanya untuk bertepuk tangan, mengibarkan bendera, atau menjadi latar kerumunan. Yang besar disembah seolah tahu arah, padahal kerap buta oleh nafsu dan mabuk kuasa.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, hari keenam tidak dinamai Sittah, melainkan Jum‘at—hari ketika manusia dipanggil untuk berkumpul dalam kejamakan. Tetapi lihatlah, betapa banyak perkumpulan kita menjelma parade binatang raksasa: gajah yang gemar memamerkan tubuhnya, banteng yang suka menyeruduk, elang yang sibuk mengepakkan kebesaran. Semuanya berlomba menutupi langit dengan bayangannya, seakan perkumpulan hanyalah pentas bagi ego-ego besar.
Padahal, sebaik-baiknya perkumpulan tak ditentukan oleh siapa yang paling kuat atau menakutkan. Lebah kecil memberi teladan: tak ada satu pun yang merasa dirinya pusat sarang, namun dari kerja kolektif yang tekun lahirlah bangun segi enam yang kokoh, meneteskan madu manis bagi semua, bahkan bagi yang tak ikut membangunnya.
Sayangnya, di negeri ini, perkumpulan sering jadi hak monopoli para raksasa. Rakyat dipanggil hanya untuk bertepuk tangan, mengibarkan bendera, atau menjadi latar kerumunan. Yang besar disembah seolah tahu arah, padahal kerap buta oleh nafsu dan mabuk kuasa. Sementara suara-suara kecil—penyimpan kebijaksanaan keseharian—dibungkam di sudut-sudut sarang yang tak pernah sempat jadi madu.
Maka, alih-alih melahirkan harmoni, perkumpulan berubah menjadi arena injak-injak. Gajah berebut panggung, banteng berdesakan, elang menukik mencari mangsa. Yang tersisa hanyalah debu, bukan sari kehidupan. Rakyat kecil, seperti lebah yang terbuang, hanya bisa berdesis pelan di antara bunga-bunga yang tak lagi berani mekar.
Jum‘at mestinya mengingatkan kita: perkumpulan bukan milik satu sosok atau lambang, melainkan manifestasi aspirasi kolektif, segi-segi kecil yang saling mengisi hingga kokoh. Jika kita masih menyerahkannya pada gajah, banteng, dan garuda, ia hanya jadi pesta bising.
Tetapi bila kita berani belajar dari lebah—menghargai yang kecil, merawat kolaborasi, membangun sarang dengan kesetiaan dan keadilan—maka jum‘at kembali bermakna: bukan kerumunan yang riuh, melainkan perkumpulan yang berbuah manis, tempat setiap orang berhak mengecap madu kebahagiaan. []






