
Cuaca kini kerap menari dengan irama tak menentu. Kita menyebutnya anomali, padahal itu hanya cermin retak dari ulah manusia yang mabuk al-takatsur: hasrat tamak dan pemujaan diri. Seperti Faust yang menggadaikan jiwa, kita menjadi murid-muridnya yang rajin, menandatangani perjanjian dengan Mephistopheles versi modern: kerakusan yang dibungkus jargon kemajuan. Dan tumbalnya kini menagih lewat huru-hara alam: musim yang terseret dari jadwal, panas yang menyerbu tanpa adab, temperatur yang naik seperti amarah tak terkendali.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, setiap kali kalender memasuki bulan berakhiran “ber”, seperti November, langit kembali pada irama lamanya—menumpahkan hujan seakan menegaskan bahwa alam masih setia pada putaran musim.
Cuaca kini kerap menari dengan irama tak menentu. Kita menyebutnya anomali, padahal itu hanya cermin retak dari ulah manusia yang mabuk al-takatsur: hasrat tamak dan pemujaan diri. Seperti Faust yang menggadaikan jiwa, kita menjadi murid-muridnya yang rajin, menandatangani perjanjian dengan Mephistopheles versi modern: kerakusan yang dibungkus jargon kemajuan.
Dan tumbalnya kini menagih lewat huru-hara alam: musim yang terseret dari jadwal, panas yang menyerbu tanpa adab, temperatur yang naik seperti amarah tak terkendali.
Betapa pun hujan masih bekerja sebagai sahabat lama: turun dengan kesetiaan, membawa rindu langit kepada tanah, menghidupkan yang nyaris menyerah. Alam tahu kapan naik menjadi uap dan kapan turun menjadi hujan. Ironisnya, para elit negeri hanya mempelajari satu jurus: naik—tanpa pernah belajar kapan harus turun dengan tanggung jawab.
Hujan membawa berkat ke tanah gembur maupun keras. Tetapi sebagian elit, ketika turun, justru membawa kutuk: menyandera masa depan, memberi tumpangan kepada kerabat-kroni yang tak layak naik. Air mengalir ke tempat rendah karena hukum alam; kekuasaan merosot ke tempat rendah karena kelicikan sistemik yang menggerus nurani.
Setiap butir hujan yang hanyut ke sungai mengingatkan bahwa hidup adalah perahu penghubung—membawa kawanan manusia dari hulu sejarah menuju samudra impian. Kita bukan hanya sesama penumpang, tetapi pewaris pesan leluhur dan pengirim warisan bagi anak cucu: mata rantai yang mestinya menyambung berkah, bukan memutus kehidupan.
Maka, janganlah demi penghidupan kita korbankan kehidupan. Hujan November mengajarkan bahwa alam selalu mencari keseimbangan: yang turun memberi hidup, yang meluap mengingatkan batas. Bila kita tak belajar merendah seperti hujan, kita sendiri yang akan tenggelam oleh ulah kita. [ ]






