Humoria
Almarhum Gus Dur –kalau tidak salah– pernah bilang, pikiran yang sehat itu mampu menertawakan diri sendiri.
Oleh : Agus Kurniawan
JERNIH– Sehari sebelum saya menikah, seorang sahabat datang berkunjung. Entah kenapa dia berpesan, “Kamu harus tetap lucu walaupun sudah menikah.” Anggapan temen saya, menikah akan membuat saya jadi orang serius.
Ketika Kang Ugi, karib saya yang lucu, mendadak mengabari akan berangkat haji, seorang teman wanti-wanti, “Kalau ntar jadi orang saleh, lu musti tetap lucu.” Bagi dia, saleh diartikan susah bercanda. (Tentu anggapan teman itu salah besar. Bahkan Rasulullah SAW pun suka bercanda).
Lucu di sini bukan berarti melawak ala komedian. Tapi lebih dekat pada pemaknaan “sense of humor“, yang secara etimologi sangat menarik.
Sebelum diadopsi oleh bahasa Prancis, Inggris, lalu bahasa kita, kata humor aslinya berasal dari bahasa Latin “umor“. Makna aslinya adalah cairan tubuh. Berdekatan dengan kata Latin lainnya, “umere“, yang artinya basah atau lembab.
Seperti biasa, orang Romawi seringnya tak punya konsep sendiri, tapi mencaplok dari Yunani. Begitu pun humor, berasal dari konsep pengobatan kuna Yunani yang disebut chymoz, yang dalam kamus Inggris disebut humorial medicine atau humorism.
Ringkasnya, menurut orang Yunani Kuna, terdapat beberapa cairan tubuh yang fungsinya mengontrol kesehatan badan dan jiwa. Seseorang yang memiliki keseimbangan cairan ini akan memiliki raga yang sehat dan emosi yang sempurna.
Baru pada abad ke-16, pemaknaan humor sebagai cairan tubuh bergeser atau menghilang. Kata itu lalu dimaknai seperti yang kita pahami sekarang, yakni kemampuan membuat diri sendiri atau orang lain gembira. Kita menyebutnya funny atau lucu, menyenangkan. Dalam kamus bahasa Inggris, humor dibagi-bagi lagi menjadi humor, wit, satire, irony, sardonic, dll.
Humor juga dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk memaknai secara baru (discovery) atas suatu hal atau peristiwa. Seorang humoris mampu menemukan makna lain yang sebelumnya tak diduga oleh khalayak. Makna baru ini bisa membuat pendengarnya menjadi berpikir, merenung, atau pun senang.
Yang juga dianggap salah satu bagian dari humor adalah menertawakan diri sendiri. Ini adalah upaya reflektif, melakukan koreksi diri, mengakui kesalahan diri sendiri, tapi dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Almarhum Gus Dur –kalau tidak salah– pernah bilang, pikiran yang sehat itu mampu menertawakan diri sendiri.
Para sufi ribuan tahun lalu telah menggunakan humor sebagai cara untuk menyampaikan nilai-nilai dan kritik kepada khalayak. Tetapi karena humor sifatnya menyenangkan, maka pengajaran dan kritik itu tidak terasa mendikte, menggurui, atau menyinggung pendengarnya. Ajaibnya, humor sufi ini justru mampu bertahan abadi ribuan tahun sampai sekarang.
Kesimpulannya, humor adalah cara memaknai realitas dengan gembira. Cara refleksi, menyampaikan nilai-nilai, dan kritikan dengan halus dan menggembirakan.
Sebagaimana istilah awal orang Romawi, humor bak pagi yang basah, teduh, dan segar. Bukan siang terik yang panas dan menyengat. [ ]
(goeska@gmail.com)