Ibu Kota Nusantara, Bhinneka Tunggal Ika dan Kemajuan Zaman
Jika menurut Presiden Jokowi IKN nanti harus mencerminkan kota masa depan, apakah model ibu kota negara seperti IKN, yang masih mengadopsi pola bahwa satu kesatuan itu artinya berkumpul di satu tempat, masihkah relevan? Bukankah definisi kesatuan di era modern saat ini bukanlah sekadar bersatu di satu tempat secara fisik, namun juga terkoneksi secara online di seluruh wilayah Nusantara?
Oleh : Turino Yulianto*
JERNIH–Boleh jadi, salah satu isu paling menarik perhatian publik dan pemerhati ilmu administrasi publik dalam tiga tahun terakhir adalah soal ibu kota baru Indonesia yang diberi nama Nusantara. Kehadirannya sejak awal pun sudah penuh kontroversi. Pro-kontra para pendukung dan pengeritik begitu tajam. Boleh dibilang, mayoritas akademisi menolak ide tersebut.
Pertimbangan yang didasari analisis dari sisi ilmu perencanaan wilayah, kebumian, ekologi, kebijakan publik dan lainnya, rata-rata menolak ide tersebut. Salah satu ahli perencana publik, misalnya, Jilal Mardhani, saking kesal karena tidak lagi menemukan satu pun alasan akademis untuk meneruskan ide pemindahan ibu kota itu, sampai membuat petisi agar Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amien bertanggung jawab jika di kemudian hari program ini gagal dan justru menimbulkan dampak kerugian berlipat-lipat. IKN gagal di tengah jalan, sedangkan kembali ke Jakarta akan sulit karena sudah terlanjur ‘dikosongkan’.
Sosok lain, Andang Bachtiar, geolog ternama lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB), bahkan menyampaikan beragam risiko bencana kebumian jika proyek IKN terus dilanjutkan. Namun dia menyadari bahwa the highest level of science adalah politik, sehingga keputusan melanjutkan proyek IKN lebih karena keputusan politik daripada nalar ilmu kebumian. Belum lagi kritik dari kalangan lembaga swadaya Masyarakat, di antaranya Walhi dan Forest Wacth Indonesia (FWI).
Namun lain halnya dengan para politisi. Mayoritas anggota parlemen di DPR, sejalan dengan ide IKN. Hampir secara aklamasi mereka menyetujui RUU IKN untuk disahkan menjadi UU nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara. Setelah diyakini memiliki dukungan mayoritas politisi, Presiden Jokowi semakin percaya diri melanjutkan program itu. Sempat agak senyap karena fokus menghadapi Pandemi COVID-19, sesudah itu program pembangunan IKN terus dikebut. Bahkan pemerintah menyiapkan anggaran lebih dari puluhan triliun rupiah untuk pembangunan IKN di dalam APBN 2022-2024.
Program relokasi atau pemindahan ibu kota negara sesungguhnya bukanlah hal baru. Banyak negara melakukan hal tersebut dengan beragam alasan. Ibu kota negara Kazakhstan pada tahun 1998 dipindah dari Almaty, yang berada di dekat perbatasan, ke Astana yang lebih jauh ke tengah wilayah negara. Tujuannya untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan mengonsolidasikan multi-etnis sesudah lepas dari Federasi Rusia.
Kisah India berbeda lagi. Ibu kota negara dipindahkan dari Kolkata ke New Delhi, yang memang didesain sejak awal untuk membentuk ideologi negara yang baru merdeka. Kota baru ini, menurut Perdana Menteri (saat itu), Jawaharlal Nehru, merupakan simbol kebebasan India yang tidak terkekang oleh masa lalu, dan sebagai ekspresi keyakinan akan masa depan.
Dari sisi jumlah, ada juga beberapa negara yang memiliki ibu kota negara lebih dari satu. Misalnya Amsterdam dan Den Haag di Belanda. Atau La Paz dan Sucre di Bolivia, serta Kuala Lumpur dan Putrajaya di Malaysia. Bahkan di Afrika Selatan terdapat tiga ibu kota negara dengan tiga fungsi, yaitu Pretoria sebagai kota eksekutif/administratif, Cape Town sebagai kota legisatif dan Bloemfontein yang berfungsi sebagai kota legislatif. Hal itu sesuai dengan konsep perancangan ibu kota yang harus mencerminkan sejarah dan identitas bangsa tersebut.
Secara budaya, ibu kota menjadi simbol ekspresi sejarah dan budaya masyarakatnya. Hal itu kemudian disesuaikan dengan tujuan negara tersebut ke depan. Model ibu kota baru di beberapa negara tersebut tidak serta merta bisa diadopsi langsung di Indonesia yang memiliki sejarah, demografi, geografi dan karakter bangsa yang khas. Indonesia juga punya sejarah panjang bahwa negara ini dibangun atas kesepakatan dari beberapa tokoh agama, tokoh politik dan tokoh perwakilan wilayah.
Dalam konteks administrasi publik, keberadaan IKN selain menjadi simbol negara, juga merupakan bentuk layanan birokrasi dari pemerintah pusat kepada rakyatnya. Di sini, salah satu indikator keberhasilan birokrasi adalah kemampuannya memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Model konsep layanan birokrasi saat ini adalah konsep New Public Service (NPS), di mana birokrasi lebih mengarah kepada ‘serving, not steering’. Karena itu keberadaan IKN harus mencerminkan peningkatan kualitas layanan birokrasi pemerintah agar sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis.
Saat ini tuntutan masyarakat yang paling penting terhadap birokrasi adalah percepatan proses digitalisasi birokrasi, yang memungkinkan munculny layanan yang lebih cepat, transparans, akuntabel dan sederhana. Masyarakat sendiri telah mengalami perubahan pola kehidupan menjadi semakin digital selama Pandemi COVID-19. Jutaan orang di seluruh dunia seperti dipaksa untuk segera mengerti semua urusan kegiatan berbasis digital. Bekerja, bersekolah, beribadah, sampai belanja kebutuhan sehari-hari dilakukan dengan daring (online). Kecepatan, akurasi data, transparansi dan kemudahan berinteraksi darimana saja dan kapan saja menjadi bahasan sehari-hari.
Orang biasa bekerja dari rumah atau cafe. Belajar dan bekerja sambil surving di Bali, jadi kebiasaan anak-anak muda. Juga pengajian melalui zoom yang justru bisa lebih banyak pengikutnya. Tempat bukan lagi jadi patokan. Sekarang mereka lebih membutuhkan akses internet ketimbang tempat kantor yang statis dan menjemukan. Perkembangan pola kehidupan masyarakat ini juga memaksa birokrasi mengubah gaya layanannya menjadi lebih digital. Walaupun belum sepenuhnya berjalan baik, namun indeks implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Teknologi (SPBE) di Indonesia terus meningkat. Pesan tiket, bikin paspor, pengurusan Dukcapil, pembuatan SIM dan lain-lain misalnya, sudah mulai digital.
Sesuai ucapan Presiden Jokowi bahwa IKN nanti harus mencerminkan kota masa depan, apakah model ibu kota negara seperti IKN, yang masih mengadopsi pola bahwa satu kesatuan itu artinya berkumpul di satu tempat, masihkah relevan? Bukankah definisi kesatuan di era modern saat ini bukan sekadar bersatu di satu tempat secara fisik, namun juga terkoneksi secara online di seluruh wilayah Nusantara? Salah satu alternatif model pembangunan dan pengelolaan ibu kota yang mungkin dikembangkan sesuai kemajuan zaman sekaligus karakter Indonesia, adalah ibu kota yang terkoneksi dengan beberapa kota lain di Indonesia. Hal itu sekaligus untuk mengadopsi kemajuan teknologi dan juga untuk memelihara semangat kebhinekaan dan pemerataan distribusi ekonomi.
Model ini menjadikan ibu kota sebagai pusat administrasi yang dipimpin Presiden dan Wapres, tetapi menempatkan kantor-kantor departemen teknis di beberapa daerah. Lokasi IKN saat ini di Kalimantan Utara menjadi kantor untuk Presiden, Wakil Presiden dan Kementerian-kementerian utama saja seperti para Menko, Kemenkeu, Kemenhan, Kemenlu, Kominfo, Kemenpan RB, Bappenas, TNI dan Polri. Adapun kementerian-kementerian teknis bisa berkantor di daerah-daerah yang memiliki keterkaitan sejarah, kecocokan lokasi, kedekatan budaya dan kesiapan dukungan pemerintah daerah.
Misalnya, Kementerian Pariwisata bisa berkantor di Bali. Hal ini pernah dilakukan oleh Menteri Sandiaga Uno walaupun sebentar. Lalu Kemendikbud bisa di Jogja sesuai tempat kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Apalagi secara tradisi pun Jogja dikenal sebagai Kota Pendidikan. Atau di Kota Padang, Sumatera Barat, di mana banyak tokoh pendidikan lahir di sana.
Kementerian ESDM bisa berkantor di Papua. Bukankah mayoritas saham Freeport sudah milik kita? Atau di Pekanbaru, Riau, yang secara tradisi memiliki sumber minyak mentah yang besar. Begitu juga Kementerian Perikanan dan Kelautan bisa berkantor di Bitung, Sulawesi Utara, yang memiliki fasilitas ekspor, di Ambon yang memiliki sumber daya laut melimpah, atau di Pangandaran, Jawa Barat, yang secara tradisi masyarakatnya hidup dari laut. Di sana pun ada tokoh kelautan kita, Ibu Susi Pudjiastuti.
Kementerian Perindustrian dan Kementerian Tenaga Kerja bisa di daerah Indonesia timur, di mana terdapat industri yang sedang berkembang seperti di Makassar dan Surabaya. Kementerian Perhubungan bisa berkantor di Aceh dengan semangat mengembalikan kejayaan Indonesia di Selat Malaka. Sedangkan Kementerian Kehutanan bisa berkantor di wilayah yang mengalami laju deforestasi tinggi, seperti Kalimantan Tengah atau Sumatera Utara. Kementerian terkait riset dan teknologi bisa berkantor di Bandung, Jawa Barat, tempat salah satu kampus terbaik bidang teknologi berada. Adapun kementerian dan lembaga yang terkait dengan bisnis secara langsung bisa tetap berkantor di Jakarta, seperti Kementerian perdagangan, BKPM dan Bursa Efek Indonesia.
Model ibu kota yang terdistribusi dan terkoneksi seperti itu diperkirakan bisa membantu distribusi ekonomi dan pembangunan infrastruktur secara lebih merata sekaligus memelihara semangat Bhinneka Tunggal Ika. Secara teknis, urusan tempat yang berpencar juga sudah bukan masalah karena masyarakat sudah terbiasa dengan budaya work from home alias kerja jarak jauh. Layanan teknologi juga sudah banyak tersedia. Kalaupun harus berkumpul secara fisik, maka penerbangan dari ujung Sabang ataupun Merauke ke lokasi IKN, tidak lebih dari tiga jam.
Layanan pemerintahan pusat yang tersebar seperti jejaring laba-laba ini membawa perspektif baru ibu kota dari sebuah negara kesatuan. Ibu kota yang lebih merakyat, bukan elitis. Bersatu bukan hanya di satu tempat, tetapi menyatu dari berbagai titik di dalam satu jejaring Republik Indonesia. Itu menggambarkan kesatuan yang dinamis, sekaligus menjaga kebhinekaan dan kesejahteraan bersama. Perspektif baru ini akan menjadi model pertama dari proses perpindahan ibu kota yang sudah dilakukan oleh banyak negara di dunia. Dan model ini, kata anak muda, Indonesia banget! [ ]
*Ir. Turino Yulianto, MSi, pemerhati kebijakan publik, mahasiswa doktoral Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang