Solilokui

Ini Harus Saya Tulis, Walau Dewa Bisa Dendam

Rabu, 24 Maret malam, pukul 19:41 saya menerima WA, dari KPK. Isinya memanggil saya sebagai “Saksi” untuk keesokan hari pukul 14:00 WIB. Tapi surat panggilan secara fisik belum pernah datang sampai saya berangkat ke KPK.

Oleh  : Effendi Gazali*

JERNIH– Selasa, 16 Maret, saya menerima pesan WA dari seseorang bernama Wahyu. Dia mengaku sebagai wartawan Katta.id yang biasa meliput di kantor KOmisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  (Belakangan dia berubah mengaku dari Majalah Aktual).

Isi WA-nya: “Saya minta konfirmasi bahwa nama Bapak disebut dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Mateus Joko, tersangka kasus Bansos. Mendapat kuota 162250.”

Saya meminta bukti dan ingin ketemu di kantor redaksi Katta.id .  Dia menolak, minta ketemu di luar.

Effendi Gazali

Pada 17 Maret, kami ketemu. Dia datang berdua, dengan seseorang bernama Neby. Mereka mengaku sudah dua kali terlibat dalam Panitia Seleksi (Pansel) Pimpinan KPK. Dan sejak 2009, mereka menyediakan jasa bisa membuat orang yang dipanggil KPK tidak akan terkena “bunga-bunga jurnalistik”.

Lalu mereka memperlihatkan dua halaman BAP. Ada foto BAP tersebut saya sertakan pada tulisan ini, halaman 5 dan 6. Karena pertemuan ini kami rekam, jelas sekali kalimatnya: dia mendapatkan dari penyidik, di dalam KPK.

Besoknya dia menulis WA lagi: “Bayangkan jika ada berita seorang pakar komunikasi mendapat kuota puluhan milyar! Apa yang seharusnya Bapak lakukan untuk pencegahan?

Maka saya segera mengadukannya secara lisan dalam pertemuan dengan Agus Sudibyo (anggota Dewan Pers), 19 Maret. Dan setelah mengumpulkan bahan lengkap, akan saya ajukan secara tertulis.

Rabu, 24 Maret malam, pukul 19:41 saya menerima WA, dari KPK. Isinya memanggil saya sebagai “Saksi” untuk keesokan hari pukul 14:00 WIB. Tapi surat panggilan secara fisik belum pernah datang sampai saya berangkat ke KPK.

Lebih unik lagi, pada keesokan paginya, beredarlah di media sosial, potongan BAP yang diperlihatkan oleh oknum wartawan Wahyu tersebut. Beberapa wartawan bertanya ke WA saya: “Bapak datang nanti jam 14 di KPK?” “Bapak benar punya kuota bansos 162250? Bapak kenal PT .…?  Macam-macamlah.

Wow, what a coincidence!  Rangkaian kejadiannya mulus sekali.

Pukul 13:45 Kamis siang itu, saya datang ke KPK. Di halaman KPK, saya ceritakanlah kepada para jurnalis, soal ancaman dan percobaan pemerasan terhadap saya oleh oknum wartawan yang memperlihatkan BAP Penyidik. Ternyata, tidak banyak media yang memuatnya.

Dewanya kapan diperiksa?

Singkatnya kemudian, saya naik diperiksa KPK. Pemeriksanya anak muda, cerdas dan fokus. Dia mengonfirmasi bahwa nama saya tidak pernah ada pada BAP Mateus Joko sebelumnya. KPK punya nama semua PT vendor dan berapa angka-angkanya. Tidak benar ada kuota dengan angka 162250 itu!

Saya banyak ditanya soal acara Seminar Riset Bansos, 23 Juli 2020, di Hotel Grand Mercure, Jakarta. Waktu itu saya diminta jadi fasilitator (moderator). Salah satu pembicara adalah Ray Rangkuti dari Lingkar Madani.

Waktu itulah saya ketemu beberapa vendor. Salah satunya, perempuan muda berjilbab sambil hampir menangis menceritakan betapa dia amat sulit mendapat kuota karena kata orang Kemensos: sudah dikuasai “dewa-dewa”. Padahal UMKM mereka berdiri jauh sebelum ada pekerjaan bansos. Dan mereka memang bergerak di bidang perdagangan kebutuhan pokok seperti beras dll.

Saya dan Ray Rangkuti meneriakkan  pada seminar itu, bahwa UMKM harus mendapat haknya.

Jadi itulah yang ingin diketahui penyidik, kenapa saya ngotot meminta UMKM ini bisa mendapat kuota.

Sekarang ada beberapa pertanyaan tersisa di otak saya saat melangkah meninggalkan KPK.

1. Apakah BAP memang bisa keluar dan jatuh ke tangan oknum yang kemudian mengaku wartawan (kasihan juga media yang dia sebut-sebut, kalau ternyata tidak benar demikian)?

2. Kok rangkaian tanggalnya sistematis sekali?

3. Kok tidak banyak media yang memuat berita percobaan pengancaman dan pemerasan oleh wartawan terhadap saya?

4. Ada teman menyatakan, apakah ini masih terkait dengan dendam akibat unggahan dokumen perjalanan wartawan di KKP dulu? Anda masih ingat kan kasusnya? Padahal sudah jelas bahwa yang mengunggah bukan saya! Tapi seorang mantan jurnalis senior yang satu almamater media dengan salah satu nama yang disebut di situ.

Makanya kasus  itu saya bawa ke Dewan Pers. Semoga saja tidak ada kaitannya dengan unggahan itu lagi (harusnya kasus sudah ditutup karena Dewan Pers adalah otoritas tertinggi Civil Society di bidang jurnalisme).

5. Atau terkait rencana saya segera mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, soal Presidential Threshold (PT), dengan bukti amat kuat berupa minutes of meeting saat MK membuat Keputusan Pemilu Serentak (2013)?  Terlalu jauh mungkin, walau ada relevansinya di tengah isu “tiga periode” atau “mau menaikkan PT” dll.

6. Atau reaksi sindikat penyelundup benih lobster yang sering saya teriakkan (dengan omzet Rp10,08 Triliun per tahun), yang punya kaki kemana-mana?  Dan sampai sekarang aparat hukum,  termasuk KPK, terkesan enggan menelusuri lika-liku sindikat ini. Walau itu amat mudah, bisa mulai dari memeriksa unit karantina di berbagai bandara sejak 2016 sampai 2019!

 Tapi di luar semua itu, ada dua pertanyaan penting yang lebih praktis:

7. Kalau mau lebih sistematis, bukankah sebaiknya KPK memanggil lebih dulu, nama-nama PT yang konon dikaitkan dengan nama saya (juga oleh wartawan yang mencoba mengancam dan memeras itu)? Baru kemudian dikonfrontasi dengan saya.

8) Ini puncaknya: saya yakin para UMKM itu, yang mengadukan nasib pada saya, di tengah Seminar Riset Bansos 23 Juli 2020, paling-paling mendapat 20 ribu sampai 50 ribu kuota bansos, dibanding jumlah 22.800.000 paket bansos (12 tahap) di Jabodetabek!

Katakanlah saya sudah dipanggil KPK mewakili mereka .

Sekarang pertanyaan penting: kapan para DEWA , dan pemilik JUTAAN paket yang sudah disebut-sebut akan kita lihat dipanggil KPK? Bukankah Gedung Merah Putih selalu berusaha bertindak adil?

Salam Jumat barokah, 26 Maret 2021. [  ]

*Pakar komunikasi

Back to top button