Interfaith dan Islamophobia [4]
Pada acara itu mereka menghadirkan tokoh agama Amerika (Muslim dan Yahudi) untuk menjadi pembicara utama. Rabbi Marc Schneier, presiden Foundation of Ethnic Understanding dan partner saya dalam dialog Muslim-Yahudi, bersama saya diundang sebagai pembicara utama. Alhamdulillah, walaupun Uni Eropa tidak mengubah dekrit atau keputusan mereka, Presiden Austria memutuskan bahwa religious slaughtering tidak dilarang di negara itu. Ada sekitar 20 ribu orang Yahudi dan 600 ribu Muslim di Austria.
Oleh : Imam Shamsi Ali*
JERNIH–Tak dapat disangkal lagi bahwa interfaith saat ini telah menjadi sebuah fenomena global. Dari organisasi dunia (PBB) ke tingkat negara hingga ke kota dan kampung-kampung, kegiatan interfaith menjadi sesuatu yang ditradisikan. Tentu masing-masing pelaku dari agama yang berbeda punya pemahaman dan tujuan yang berbeda pula.
Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) New York misalnya bahkan ada kegiatan interfaith tahunan yang disebut “Week of Interfaith Harmony”. Ini dilaksanakan di awal bulan Februari setiap tahunnya. Yayasan Nusantara sendiri sejak tahun 2014 lalu telah menjadi co-sponsor, dan saya pribadi selalu diminta menjadi pembicara mewakili komunitas Islam. Yang terakhir dilaksanakan tanggal 3 Februari lalu.
Kegiatan interfaith saya pribadi yang bersifat gobal bermula sejak sekitar tahun 2002. Saat itu saya diundang oleh The Interfaih Center New York untuk menjadi pembicara pada sebuah pertemuan antaragama Amerika dan Eropa di Frankfurt, Jerman. Acara tersebut dikenal dengan “Trans Atlantic Interfaith Dialogue” yang melibatkan tiga agama samawi; Islam, Kristen dan Yahudi.
Di tahun-tahun berikutnya saya kembali mendapat kesempatan untuk hadir dalam berbagai kegiatan interfaith di berbagai negara. Di tahun 2005, misalnya, saya diundang sebagai peserta di pertemuan “Jewish-Muslim Dialogue” di Paris, Prancis. Lalu pada tahun 2007 saya kembali diundang sebagai pembicara pada acara yang sama di Seville, Spanyol.
Berbagai kegiatan antaragama yang saya lakukan saat itu baik secara domestik (di US) maupun di belahan Internasional mendapat pengakuan dari masyarakat dan pemerintahan Amerika. Beberapa penghargaan diberikan kepada saya sebagai pengakuan. Satu di antaranya adalah “Ambassador for Peace” dari Internasional Interreligious Federation yang berpusat di Korea Selatan di tahun 2002.
Di tahun 2003 juga saya kembali mendapatkan penghargaan dari Long Island Interfaith Coalition sebagai penggerak dialog antarkomunitas agama. Bahkan di tahun 2004, US Asian Federation, di mana saya sendiri sebagai wakil presidennya juga menganugerahkan penghargaan di bidang Peace Ambassador.
Berbagai kegiatan interfaith yang bersifat global juga terus berlanjut. Di tahun 2006 Uni Eropa (European Union) mengeluarkan dekrit pelarangan menyembelih hewan secara agama (ritual slaughtering). Alasannya karena tidak berperikehewanan (menyiksa hewan). Dengan sendirinya ada dua komunitas agama yang terdampak dengan keputusan ini; Yahudi dan Islam.
Maka di tahun itu melalui organisasi European Jewish Council menginisiasi pertemuan Muslim-Jewish di Vienna Austria. Pada acara itu mereka menghadirkan tokoh agama Amerika (Muslim dan Yahudi) untuk menjadi pembicara utama. Rabbi Marc Schneier, presiden Foundation of Ethnic Understanding dan partner saya dalam dialog Muslim-Yahudi, bersama saya diundang sebagai pembicara utama.
Alhamdulillah, walaupun Uni Eropa tidak mengubah dekrit atau keputusan mereka, Presiden Austria memutuskan bahwa religious slaughtering tidak dilarang di negara itu. Ada sekitar 20 ribu orang Yahudi dan 600 ribu Muslim di Austria.
Berbagai kiprah interfaith itu menjadikan majalah The New York memilih saya sebagai satu dari tujuh tokoh agama yang paling berpengaruh (NY Seven Most Influential Religious Leaders) di tahun 2006. Pemilihan sebagai salah satu dari tokoh agama paling berpengaruh di New York memberikan ruang tersendiri bagi saya untuk semakin memperluas jaringan.
Di tahun 2008, bersama beberapa tokoh agama New York kami mendirikan International Clergy Association. Melalui organisasi ini kami banyak melakukan berbagai kegiatan di forum internasional, khususnya di forum PBB. Ketika Turki dan Spanyol mensponsori resolusi tentang “Alliance among Civilization”, kami mengadakan UN Conference on Peace, bekerja sama dengan Peace Federation USA.
Setahun kemudian kami dianugerahi Ellis Island Honor Award, sebuah penghargaan tertinggi non-militer yang diberikan kepada imigran yang dianggap berjasa bagi Amerika. Dasar penganugerahan itu karena keaktifan saya dalam membangun komunikasi antaragama, baik di US maupun di belahan dunia lainnya.
Mungkin dari sekian banyak inisiatif interfaith saya di kancah internasional, ada dua hal yang paling menonjol.
Yang pertama adalah inisiasi Jewish-Muslim Dialogue di tahun 2005. Dari inisiatif ini terlahir ragam kegiatan seperti Salam-Shalom Sisterhood dan Twinning of Mosques and Synagogue. Kedua kegiatan ini telah menjadi sebuah gerakan internasional yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Eropa, Australia, Afrika dan bahkan Timur Tengah.
Kunjungan pimpinan agama-agama samawi ke Indonesia, Jordan dan Jerusalem, termasuk Ramallah di tahun 2011 lalu. Kegiatan ini disponsori oleh KBRI Washington bekerja sama dengan beberapa institusi interfaith Amerika. Kegiatan ini sebenarnya menjadi langkah awal melibatkan tokoh-tokoh agama dalam proses perdamaian Timur Tengah. Sayang, kunjungan pertama itu ternyata itu juga menjadi kunjungan terakhir, paling tidak sampai sekarang.
Banyak lagi kegiatan interfaith lainnya pada tataran global. Kerja sama dengan NY Buddhist Council mengurangi tensi yang terjadi antara Komunitas Buddha dan Muslim akibat kekerasan kepada masyarakat Muslim di Myanmar. Ketika itu sempat direncanakan kunjungan tokoh-tokoh Muslim dan Buddha Amerika ke Thailand untuk kunjungan kemanusiaan.
Demikian beberapa kegiatan interfaith di gelanggang internasional. Begitu banyak yang dilaksanakan termasuk di tahun-tahun terakhir. Tapi saya kira cukup saya menyebutkan beberapa contoh sekaligus menyebutkan “apresiasi” (penghargaan) agar dapat dipahami bahwa kegiatan ini mendapat sambutan positif.
Satu hal yang pasti adalah bahwa kegiatan interfaith pada tatanan internasional telah memberikan kontribusi untuk mengurangi tensi antar pemeluk agama di saat ada kasus-kasus konflik yang melibatkan sentimen agama di mana saja. Dan bagi Dakwah di Amerika hal ini menjadi krusial. Karena betapa seringkali kasus kekerasan di dunia Islam berdampak besar dalam kerja-kerja dakwah di AS. [ ]
* Presiden Nusantara Foundation