Ini dibuat bukan karena anak-anak butuh, tapi karena pemerintah perlu menghabiskan stok susu untuk prajurit. Indonesia menelan narasi ini mentah-mentah. Padahal, sekitar 68 persen populasi dunia mengalami intoleransi laktosa, termasuk banyak orang Indonesia. Alih-alih sehat, susu justru membuat perut kembung, kram, atau diare. Jadi, mengapa kita masih rela menjadi “sapi perah” industri global?
Catatan Cak AT
JERNIH–Pernahkah Anda melihat rusa menyeruput susu dari induk babi? Tidak pernah, bukan? Sepertinya hewan lebih paham tata cara hidup alamiah dibanding manusia modern, yang malah ngotot mengadopsi susu hewan sebagai makanan pokok. Sesama hewan saja tidak mau saling seruput susu masing-masing, kok manusia malahan mau. Aneh jika susu dimasukkan ke menu Makan Bergizi Gratis (MBG).
Terdapat sejumlah bukti ilmiah yang menunjukkan perut manusia tak selalu cocok mengonsumsi susu sapi. Namun, anehnya lagi, di tengah himpitan narasi gizi global, kita justru menyulap susu sapi menjadi simbol kemewahan gizi, yang dikemas dengan indah, meskipun harga impornya bisa bikin kantong bolong.
Ambil contoh Indonesia. Setiap tahunnya, kita mengimpor lebih dari tiga juta ton susu cair, setara dengan Rp12 triliun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Dibutuhkan 30 kapal Aframax seluas 245×40 meter untuk mengangkutnya.
Ironisnya, alokasi sebesar ini tak banyak menyentuh golongan yang paling butuh: anak-anak sekolah, termasuk pesantren. Lauk harian mereka selama ini paling hanya sebatas tempe setipis kartu SIM atau telur dadar campur tepung agar “tampak lebih besar.”
Untungnya, sains punya kabar baik. Ternyata, dua sendok teh basil kering bisa bersaing dengan segelas susu sapi dalam hal kandungan kalsium. Berdasarkan penelitian dari The American Journal of Clinical Nutrition, basil kering mengandung 168 mg kalsium per 100 gram.
Daun basil mungkin terdengar asing bagi banyak orang, terutama di Indonesia. Basil (Ocimum basilicum) adalah tanaman herbal yang biasanya digunakan dalam masakan Italia, seperti pesto atau topping pizza. Namun, di balik rasanya yang khas, daun basil memiliki kandungan gizi yang luar biasa.
Anda tahu, satu gelas susu sapi (sekitar 240 ml) mengandung rata-rata 300 mg kalsium. Jumlah ini cukup signifikan, karena mencakup sekitar 25 persen dari kebutuhan remaja atau lansia (1200 mg). Untuk mengganti satu gelas susu sapi ini, Anda membutuhkan sekitar 178 gram daun basil kering. Yang kering ya, bukan yang basah.
Selain kalsium, basil juga kaya magnesium, vitamin K, dan antioksidan yang mendukung kesehatan tulang dan fungsi tubuh secara keseluruhan. Namun, bagi Anda yang kesulitan mendapatkan basil, jangan khawatir. Ada alternatif lokal yang tak kalah hebat, seperti daun kelor (Moringa oleifera) yang sudah dinobatkan sebagai miracle tree (pohon penuh mukjizat) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Bayangkan, daun kelor mengandung hingga 252 mg kalsium per 100 gram, lebih tinggi dibanding basil dan susu sapi. Tanaman ini mudah tumbuh di berbagai daerah di Indonesia. Tanaman ini ramah kantong, menjadikannya kandidat kuat pengganti susu dalam menu bergizi.
Untuk mendapatkan kandungan kalsium setara dengan satu gelas susu sapi (300 mg), Anda akan membutuhkan sekitar 119 gram daun kelor kering. Jika menggunakan daun kelor segar, jumlah yang dibutuhkan akan lebih banyak karena kandungan kalsium dalam daun segar lebih rendah dari daun yang sudah dikeringkan.
Lalu, bagaimana dengan protein? Tak perlu repot-repot menyedot isi tetek sapi. Telur rebus adalah jawaban murah dan bergizi. Dengan kandungan enam gram protein per butir, telur juga membawa kalsium, kolin, dan vitamin D. Dikombinasikan dengan daun basil atau kelor, kebutuhan nutrisi anak-anak bisa terpenuhi tanpa harus bergantung susu impor.
Selain telur, ikan menjadi salah satu sumber protein yang sangat baik dan mudah diakses. Beragam jenis ikan menawarkan kandungan protein yang tinggi dengan tambahan manfaat berupa asam lemak omega-3, vitamin D, dan mineral penting lainnya. Sebagai contoh, ikan teri kering mengandung 36 gram protein per 100 gram.
Artinya, hanya dengan 17 gram ikan teri kering, seseorang sudah mendapatkan jumlah protein yang setara dengan satu butir telur. Sementara itu, ikan tuna segar, dengan kandungan 30 gram protein per 100 gram, hanya membutuhkan sekitar 20 gram untuk menyamai protein dari satu butir telur.
Ikan kembung juga merupakan pilihan yang menarik. Dengan 21 gram protein per 100 gram, seseorang hanya memerlukan sekitar 29 gram ikan ini untuk mendapatkan manfaat yang sama seperti dari satu butir telur.
Alternatif lain seperti ikan patin dan lele, meskipun kandungan proteinnya sedikit lebih rendah—masing-masing 17 gram dan 15 gram protein per 100 gram—masih bisa menjadi pilihan, terutama karena harganya yang lebih terjangkau. Untuk menyamai protein dalam satu butir telur, sekitar 35 gram ikan patin atau 40 gram ikan lele sudah cukup.
Selain ikan, ada juga sumber protein nabati yang bisa menjadi alternatif, seperti tempe dan tahu yang terbuat dari kedelai. Tempe, misalnya, mengandung sekitar 19 gram protein per 100 gram. Hanya dengan 32 gram tempe, seseorang sudah mendapatkan protein setara dengan satu butir telur.
Begitu pula tahu, meski proteinnya lebih rendah, yaitu 10 gram per 100 gram, tetap bisa menjadi pilihan ekonomis, meski membutuhkan sekitar 60 gram untuk menyamai protein dari satu butir telur.
Pilihan lain yang kaya protein adalah kacang tanah, yang mengandung sekitar 26 gram protein per 100 gram. Untuk mendapatkan manfaat yang sama dengan satu butir telur, hanya diperlukan sekitar 23 gram kacang tanah.
Semua alternatif ini menunjukkan bahwa dengan diversifikasi pangan lokal, kebutuhan protein masyarakat dapat terpenuhi tanpa bergantung secara berlebihan pada telur, apalagi susu impor. Pilihan-pilihan ini tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga lebih mendukung kemandirian pangan nasional.
Fakta berikut mungkin akan membuat Anda tercengang. Jika Anda mengira susu adalah takdir manusia, sejarah berkata lain. Program susu di sekolah (Milk in School) bermula di Amerika saat Perang Dunia I. Ini dibuat bukan karena anak-anak butuh, tapi karena pemerintah perlu menghabiskan stok susu untuk prajurit. Setelah perang usai, industri susu meluncurkan slogan seperti “Got Milk?” untuk menjaga laju bisnis.
Dan begitulah, Indonesia menelan narasi ini mentah-mentah. Padahal, sekitar 68 persen populasi dunia mengalami intoleransi laktosa, termasuk banyak orang Indonesia. Alih-alih sehat, susu justru membuat perut kembung, kram, atau diare. Jadi, mengapa kita masih rela menjadi “sapi perah” industri global?
Kini mari menengok ke sekolah. Anak-anak sering kali harus puas dengan menu seadanya. Jika program Makan Bergizi Gratis (MBG) benar-benar ingin membantu, susu impor bukanlah jawabannya. Sumber pangan lokal seperti telur, kelor, atau bahkan ikan kecil seperti teri jauh lebih realistis —murah, bergizi, dan tersedia di sekitar kita.
Program MBG harus berhenti mengagungkan susu sebagai simbol gizi. Sebagai negara agraris, Indonesia punya sumber daya lokal yang lebih berkelanjutan, seperti daun basil, kelor, telur rebus, dan puluhan jenis ikan. Ini bukan sekadar tentang nutrisi, tetapi tentang kedaulatan pangan dan efisiensi anggaran.
Lupakan propaganda Got Milk? Kita punya slogan sendiri: Got Kelor!. Karena sebenarnya, mengandalkan susu impor hanya menjadikan kita sapi perah bagi industri global. Sudah saatnya kita berdiri di atas kaki sendiri, menatap masa depan yang bebas dari mitos gizi gratis. Mari bersama-sama berseru: Jangan Ada Susu! []
Cak AT -Ahmadie Thaha. Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 13/1/2025