
Fakta menunjukkan, pengalaman krisis moneter 1998 dan pandemi COVID-19 memperlihatkan UMKM lebih adaptif dan lebih cepat pulih dibanding sektor besar tertentu.
JERNIH – Indonesia punya alasan kuat untuk menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai basis pembangunan. Bukan hanya secara ideologis (amanat konstitusi), tapi juga secara praktis dan strategis.
Sistem ekonomi kerakyatan menempatkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat (khususnya kelompok menengah-bawah, pelaku UMKM, petani, dan pekerja informal) sebagai tujuan utama. Prinsipnya meliputi pemerataan akses terhadap sumber daya, pemberdayaan usaha kecil dan menengah, keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan ekonomi, serta orientasi pada kebutuhan sosial ketimbang semata akumulasi modal. Konsep ini berakar pada pasal-pasal konstitusi yang mengamanatkan ekonomi berasas kekeluargaan dan kedaulatan rakyat.
Pasal 33 UUD 1945 jelas menyebut bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Pemaknaan historisnya adalah rakyat sebagai pelaku utama, bukan hanya sebagai pasar atau tenaga kerja murah. Maka mengabaikan ekonomi kerakyatan berarti mengabaikan mandat dasar negara dan akar filosofis demokrasi ekonomi Indonesia.
Di sisi lain 99,9% pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM (sekitar 64 juta unit), menyerap lebih kurang 97% tenaga kerja, dan menyumbang lebih dari 60% PDB nasional. Jika pembangunan ekonomi hanya fokus pada sektor korporasi besar atau investasi asing, maka mayoritas pelaku ekonomi ini akan tertinggal. Membesarkan sektor rakyat otomatis berarti membesarkan basis produktivitas nasional.
Selanjutnya mari kita lihat bagaimana ekonomi kerakyatan mampu menopang ketahanan ekonomi nasional. Fakta menunjukkan, pengalaman krisis moneter 1998 dan pandemi COVID-19 memperlihatkan UMKM lebih adaptif dan lebih cepat pulih dibanding sektor besar tertentu. Kokohnya ekonomi kerakyatan berbasis produksi dan konsumsi domestik membuat Indonesia tidak terlalu rentan terhadap guncangan eksternal seperti fluktuasi harga komoditas global atau krisis keuangan luar negeri.
Sebegitu pentingnya ekonomi kerakyatan sehingga GREAT Institute memasukkannya desk tematik yang berfokus pada isu strategis. Ekonomi Kerakyatan berada dalam wilayah Desk Ekonomi, bersanding bersama desk Energi dan Ketahanan Pangan, desk Teknologi, serta desk Politik.
KONDISI SAAT PANDEMI
Hantaman pandemi Covid-19 terasa betul di berbagai sektor. Ekonomi jelas merupakan sektor paling memprihatinkan kala itu. Indonesia mengalami kontraksi ekonomi pada 2020 sebesar −2,07% (PDB) akibat pembatasan aktivitas dan penurunan permintaan global dan domestik.
Menurut Kementerian Koperasi & UKM kala itu, lebih dari 80% UMKM terdampak yakni mengalami penurunan permintaan, gangguan pasokan bahan baku, dan keterbatasan distribusi akibat pembatasan mobilitas. Banyak usaha mikro di sektor makanan, kerajinan, dan perdagangan tradisional kehilangan omzet hingga lebih dari 50% selama puncak pandemi 2020. Berbuntut berikutnya pada usaha berbasis pariwisata, transportasi lokal, dan pasar tradisional paling terpukul karena turunnya mobilitas dan wisatawan.
Hal tersebut berdampak pada sektor tenaga kerja. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) melonjak dari 5,23% (2019) menjadi 7,07% (Agustus 2020) — tertinggi dalam satu dekade. Banyak pekerja informal (pedagang kaki lima, buruh harian, ojol, nelayan kecil) kehilangan pendapatan secara mendadak tanpa jaminan sosial. Jam kerja rata-rata turun drastis, banyak pekerja beralih ke pekerjaan paruh waktu atau sektor dengan pendapatan lebih rendah.
Lebih jauh lagi dampak multiplier-nya kepada tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% (Sept 2019) menjadi 10,19% (Sept 2020), menambah ±2,76 juta orang miskin baru. Rumah tangga yang sebelumnya “hampir miskin” sangat rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan karena kehilangan pendapatan selama berbulan-bulan.
KONDISI PASCA PANDEMI
Seiring waktu berjalan, saat pandemi Covid-19 mereda, agaknya situasi belum sepenuhnya berangsur membaik. Makro-ekonomi nasional pulih, tetapi pemulihan belum sepenuhnya merata pada tingkat rakyat kecil, banyak UMKM dan pekerja informal masih rapuh. Ketika pemulihan berlangsung World Bank mencatat rebound kuat pada 2022 dan proyeksi pertumbuhan yang lebih stabil.
Pada Maret 2023, World Bank juga melaporkan angka kemiskinan turun kembali ke sekitar 9,36%. Namun begitu kerentanan dimana orang mudah jatuh kembali ke kemiskinan tetap besar.
Pemerintah memfokuskan pada penyehatan UMKM sebagai kebijakan pemulihan. Namun banyak UMKM menghadapi masalah likuiditas, akses pasar, dan adaptasi digital.
Ada perhatian tentang pelemahan kelas menengah pasca-pandemi. Beberapa laporan internasional menyebut penyusutan proporsi kelas menengah yang mengurangi daya beli dan permintaan domestik. Hal ini berisiko bagi model pembangunan yang bergantung pada konsumsi rumah tangga.
Lewat diskusi yang rutin digelar oleh desk Ekonomi Kerakyatan GREAT Institute, muncul pemikiran bila sistem ekonomi terlalu timpang dapat menciptakan kesenjangan pendapatan. Akibat lebih jauh akan memicu ketidakpuasan sosial dan instabilitas politik.
Maka akar yang mesti diselesaikan dan diperkuat adalah kebijakan yang pro pada ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan mengedepankan pemerataan akses modal, teknologi, dan pasar, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak hanya terkonsentrasi di segelintir wilayah atau kelompok.
Bahkan menurut Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono pada salah sebuah diskusi di GREAT Institute, ekonomi berbasis rakyat akan memperkuat fondasi perekonomian nasional dalam menghadapi dinamika global.
LANGKAH STRATEGIS
Meski sudah terlepas dari pandemi Covid-19 ada beberapa gagasan yang dapat dipilih sebagai kerangka kerja kebijakan yang bersifat objektif, terukur, dan strategis, terutama untuk menopang pilar ekonomi kerakyatan.
Pelajaran sulitnya permodalan di level UKM contohnya mulai diperluas berupa kredit mikro dengan skema jaminan kredit yang disubsidi untuk usaha mikro, dan instrumen pembiayaan non-bank (crowdfunding lokal, modal ventura mikro). Targetnya menurunkan kesenjangan akses modal antara usaha formal dan usaha mikro/informal.
Dari sisi akses ke pasar, langkah strategisnya adalah membuat program pelatihan digital skala besar (e-commerce, manajemen keuangan sederhana, pemasaran online), infrastruktur logistik mikro-regional untuk menurunkan biaya distribusi. Ada insentif bagi platform e-commerce untuk membangun on-boarding dan logistik khusus UKM di daerah.
Mengingat karakter dan struktur masyarakat Indonesia yang kuat di daerah, selayaknya terjadi penguatan ekosistem lokal dan rantai nilai berbasis daerah. Hal ini dapat mendorong klaster produksi lokal (agro-processing, kerajinan, pengolahan hasil laut) guna meningkatkan nilai tambah daerah dan menyerap tenaga kerja. Apalagi bila didukung kebijakan pembelian lokal (local procurement) oleh daerah/instansi negara untuk menyerap produk UMKM lokal.
Hadirnya infrastruktur dasar yang telah ada diberdayakan dengan prinsip pro-rakyat. Sebut saja infrastruktur listrik, internet, jalan desa yang berfokus pada peningkatan produktivitas rumah tangga ekonomi kerakyatan maupun menurunkan biaya transaksi.
Untuk mengorkestrasi seluruh rangkaian langkah strategis tersebut pran think tank adalah mengimplementasikan melalui berbagai cara. GREAT Institute dapat menyediakan evidence base berupa analisis biaya-manfaat tiap intervensi, pemetaan daerah prioritas, dan indikator monitoring. Lalu, mendesain pilot dengan membantu desain dan evaluasi program skala kecil, lalu memberi rekomendasi berskala nasional.
Bahkan sebagai lembaga think tank dapat memfasilitasi dialog multi-stakeholder. Dialektika ini akan menghubungkan pemerintah, donor, swasta, dan komunitas lokal agar intervensi sesuai kebutuhan riil.
Pemerintah dapat menugaskan think tank dan universitas untuk evaluasi program secara berkala. Menggunakan data untuk alokasi anggaran berbasis hasil (outcome-based budgeting). Lembaga seperti GREAT Institute bisa menjadi mitra untuk menyiapkan kajian, pilot, dan advokasi. (*)
BACA JUGA: GREAT Institute Bahas Prabowonomics di Tengah Ancaman Perang Global






