Kalah Debat, Tantrum Kumat
Cercaan Prabowo, yang diduga kuat ia tujukan ke Anies, sebenarnya membingungkan. Pertama, mengacu sekian banyak survei, Prabowo (dan Gibran) terus bertengger di puncak. Dengan hasil survei sedemikian rupa, semestinya Prabowo kalem-kalem saja kendati ia habis dilumat Anies dari satu sesi ke sesi debat berikutnya.
Oleh : Abdul Rachman Thaha*
JERNIH–Para pengamat menyebut joget gemoy Prabowo sebagai taktik copy-paste strategi Bongbong, putra Ferdinand Marcos. Strategi itu kemudian disimpulkan sebagai kunci terpilihnya Bongbong sebagai Presiden Filipina. Jogetnya Bongbong dianggap berhasil membuat publik Filipina lupa akan watak koruptif trah Marcos.
Berhenti joget, Prabowo belakangan ini identik dengan sumpah serapah. Seperti ‘ndasmu‘ dan ‘goblok‘. Penggunaan kosakata kasar Prabowo itu sekarang justru mirip gaya bertutur Presiden Filipina lainnya, Rodrigo Duterte.
Gaya berkomunikasi politik semacam itu memang bisa mencairkan suasana. Juga memperkuat citra Prabowo sebagai politisi tangguh. Tapi tidak ada manfaatnya jika siasat brutal itu dimaksudkan untuk menarik suara para pemilih. Teatrikal, ya. Tapi efek elektoralnya tidak nyata. Mudharatnya malah jauh lebih besar.
Pemakaian bahasa dengan intensitas tinggi berupa caci-maki oleh politisi diketahui berasosiasi dengan amarah, sakit hati, frustrasi, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Pada Prabowo, tutur kata vulgar beruntun muncul pasca-debat sesi pertama dan sesi kedua. Jadi, bisa disimpulkan, bahasa yang mengabaikan kesantunan memang mencerminkan suasana batiniah Prabowo yang gagal menjuarai panggung debat.
Juga bisa diramal: kalau hari ini Anies berhasil menaklukkan kontestan lain di panggung debat, esok hari pasti giliran Anies yang babak belur dihina-dina oleh rival politiknya itu.
Itu sekaligus mengingatkan Anies agar tidak bersenang-senang terlalu lama. Dalam waktu beberapa jam sesudah debat usai, Anies harus siap-siap tebal telinga.
Penting diinsafi, penggunaan kata-kata kasar bersifat menular. Baik vertikal maupun horizontal. Vertikal berarti menular dari atasan ke bawahan. Dari tokoh ke pengikut. Horizontal, peniruan oleh sesama. Bisa antarpolitisi.
Berkat sifat menularnya itu, kata-kata kotor bisa berdampak langsung maupun tidak langsung. Langsung, yakni menyakiti hati pihak yang menjadi sasaran umpatan. Tidak langsung, memantik proses kekerasan berantai.
Dari situ dapat dipahami pentingnya pasal 280 ayat 1 butir c UU Pemilu. Di samping untuk mendorong terciptanya suasana yang beradab dan rukun, juga untuk mencegah eskalasi dan sambung-menyambungnya kekerasan.
Mengapa murka?
Cercaan Prabowo, yang diduga kuat ia tujukan ke Anies, sebenarnya membingungkan.
Pertama, mengacu sekian banyak survei, Prabowo (dan Gibran) terus bertengger di puncak. Dengan hasil survei sedemikian rupa, semestinya Prabowo kalem-kalem saja kendati ia habis dilumat Anies dari satu sesi ke sesi debat berikutnya.
Tapi ketika agresivitas lisan Prabowo dari waktu ke waktu semakin kasat telinga, tafsiran yang muncul adalah capres 02 itu ternyata tidak percaya pada hasil survei yang mengunggulkannya. Secara tidak langsung, Prabowo sendiri–bukan pesaingnya–yang mempersoalkan validitas survei tentang dirinya.
Kedua, banyak alat peraga kampanye menampilkan wajah Prabowo disertai kalimat “Diejek, Difitnah, Dijelekin, Senyumin Aja”. Namun apa hendak dikata: frasa itu tidak otentik, melainkan mengada-ada, karena tindak-tanduk Prabowo hari demi hari justru mengindikasikan ia terluka dan murka.
Pada titik itulah sangat relevan bagi Prabowo untuk tidak semata-mata didampingi oleh konsultan politik. Penasehat psikologis, guru spiritual, atau sejenisnya penting untuk dihadirkan agar Prabowo menemukan ketenangannya kembali. Otak bagian depan perlu lebih diaktifkan, sementara limbik direndam, agar Prabowo lebih artikulatif dan–lebih penting lagi–substantif dari satu forum ke forum publik selanjutnya. Tanpa itu, penjatuhan sanksi sosial maupun sanksi pidana terhadap Prabowo akan menjadi diskursus publik saban kali kata-kata buruk kembali menyembur dari panggung 02.
Ketiga, deja vu! Oleh sebab Prabowo, suasana hati saya pekan-pekan terakhir ini persis sama dengan perasaan saya sekitar enam tahun silam dan seterusnya ke belakang. Pada masa sebelum Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI itu, Jakarta “dipimpin” oleh figur berlidah api. Enteng betul “sang pemimpin” memuntahkan sumpah serapah kepada banyak pihak, termasuk kepada warganya sendiri.
Jakarta yang panas terasa semakin gerah akibat ulah “si pemimpin”. Berstatus sebagai orang nomor satu ternyata tidak menyadarkannya untuk berbudi perangai kelas satu. Selanjutnya, malas cerita! Cuma bikin sakit hati. Dan terlepas dari vonis bersalah yang majelis hakim timpakan ke “sang pemimpin”, saya masih butuh waktu untuk benar-benar pulih dari kata-kata tak senonohnya.
Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar dari pengalaman orang lain. Pembelajar ilmu jiwa menyebutnya vicarious learning. Lidahmu harimaumu, itulah judul bacaan yang mendesak untuk dikhatamkan oleh setiap orang, khususon calon presiden, yang gemar mengobral caci maki. Allahu a’lam. [INILAH.Com]
*Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sulawesi Tengah