Solilokui

Kebahagiaan Otentik dalam Kereta Menuju Bandung

JAKARTA— Alhamdulillah, senior saya, Yudi Latif, membantu saya membuka hari ini menjadi hari yang benar-benar bernas. Tulisan yang ia bagikan melalui Whats’up Grup, begitu inspiratif.

Yudi menulis, dalam perjalanan keretanya menuju Bandung, dirinya larut ditemani buku ‘Authentic Happiness’ karya Martin Seligman (2017). Selama setengah abad terakhir, kata Yudi, perhatian psikologi terkuras oleh persoalan “sakit mental” (mental illness): depresi, schizophrenia, alkoholisme, dll.  Arus besar yang melupakan kenyataan bahwa kehendak manusia bukan sekadar mengoreksi kelemahan, tapi juga menumbuhkan kekuatan-makna hidup yang lebih positif.

“Perjalanan kehidupan bukan sekadar bergerak dari minus lima ke minus tiga, lalu merasa lebih kurang menderita; tapi lebih dikehendaki bisa bergerak dari plus dua ke plus tujuh; terus tumbuh mengoptimalkan potensi dalam Bahagia,” tulis Yudi.

Baginya, dengan buku itu, telah tiba saatnya bagi psikologi untuk berusaha memahami emosi positif, membangun kekuatan dan kebajikan (virtue), dan menyediakan panduan untuk menemukan apa yang disebut Aristoteles sebagai “good life”.

Dalam kaitan ini, tulis Yudi, tidak ada bukti bahwa kekuatan dan kebajikan berasal dari motivasi negatif. Kekuatan dan kebajikan tumbuh dari motivasi positif. Bukan keberhasilan yang mendorong optimisme, tapi optimisme-lah yang mendorong keberhasilan. Psikologi positif dibangun di atas tiga pilar: 1.Studi tentang emosi positif: seperti kepercayaan diri, harapan, trust. 2. Studi kepribadian (traits) positif: kebajikan (virtues), kemampuan (abilities), inteligensia. 3. Studi tentang institusi-instusi positif: demokrasi substantif, keluarga sakinah, kebebasan pers yang sehat, keagamaan welas asih.

Bagi saya, apa yang dibaca dan kemudian disebarkannya kepada kita lewat WAG itu teramat berguna bagi negeri ini. Yudi memang tak menunjuk Indonesia telah berada dalam kondisi itu. Namun, kalau pun memang belum sampai separah itu, Indonesia tengah memerlukan pikiran sehat (common sense) agar terhindar dari krisis, terutama krisis kepercayaan. Ketidakpercayaan akan kita satu sama lain, ketidakpercayaan antarwarga masyarakat, atau bahkan ketidakpercayaan warga akan para elit negara, yang benih-benihnya sudah tak mungkin lagi kita nafikan.

Yudi menulis,” Pada saat masyarakat yang dilanda krisis, kemampuan mengembangkan ketiga hal itu bisa menjadi pengungkit rasa saling percaya, yang dapat mendorong kekuatan positif menuju kehidupan bersama yang lebih bermakna dan bahagia.”

Shadaqta, ya Akhi….[ ]

Back to top button