SolilokuiVeritas

Kenangan dan Impian

Manusia sejati adalah homo imaginatus, makhluk pembayang, yang menjelajah dari hulu masa lalu ke samudera masa depan, melalui sungai masa kini. Ia bermitra bukan hanya dengan sesama penumpang perahu saat ini, tetapi juga dengan leluhur di masa lalu dan keturunan di masa datang.

Oleh     :  Yudi Latif

JERNIH–Saudaraku, elang terbang di langit tinggi, namun tetap bersarang di tanah. Begitu pun manusia luhur: kesadaran rohaninya menjulang tinggi, tapi tak pernah lupa berjejak di bumi.

Seperti elang, manusia sejati adalah penjelajah antarwaktu dengan sepasang sayap imajinatif: kenangan dan impian.

Kenangan adalah arus sungai yang mengalir dari hulu masa lalu. Ia menyimpan jejak asal-usul dan gema sejarah yang membentuk siapa kita hari ini. Tanpa kemampuan mengenang, manusia terjerumus dalam lorong sunyi dan gelap—kehilangan arah dan makna. Amnesia adalah luka batin dari keterputusan.

Impian adalah gelombang cahaya yang memancar ke depan. Ia menerangi cakrawala kemungkinan dan membimbing langkah ke pelabuhan masa depan. Tanpa impian, manusia menjadi penjelajah limbung, berlayar tanpa arah di samudera ketakterdugaan.

Dengan kenangan dan impian, kehidupan bertumbuh—seperti pohon yang meneguhkan akar di tanah sejarah dan merentangkan dahan ke langit harapan. Manusia sejati mengingat dari mana ia bermula, di mana ia berpijak, dan karunia apa yang diwariskan dari akar tradisi.

Ia pun membayangkan masa depan dengan mata terbuka—membaca tanda zaman, belajar dari segala penjuru, dan menyiapkan haluan dengan kesadaran kosmopolitan.

Namun jalan ke depan tak selalu lapang. Ancaman terbesar yang menguji kesejatian dan keberlangsungan kita adalah jebakan pandangan jangka pendek. Tekanan aji mumpung mencabut kita dari akar dan melupakan pelajaran sejarah. Kita pun kehilangan visi panjang yang menjaga kesinambungan yang baik.

Untuk pulih, jiwa merdeka harus menguatkan kembali sayap-sayapnya. Manusia sejati adalah homo imaginatus, makhluk pembayang, yang menjelajah dari hulu masa lalu ke samudera masa depan, melalui sungai masa kini. Ia bermitra bukan hanya dengan sesama penumpang perahu saat ini, tetapi juga dengan leluhur di masa lalu dan keturunan di masa datang.

Seperti elang yang kembali melipat sayap dan menukik ke bumi setelah lelah menjelajah langit, begitu pun pribadi bersinar: tahu kapan terbang, tahu kapan berhibernasi dalam sunyi—memulihkan tenaga, menyusun sayap kenangan dan impian. []

Back to top button