SolilokuiVeritas

Kompleksitas Hubungan TNI-Polri dan Tudingan di Balik Kerusuhan

Dalam aksi protes bulan Agustus lalu, perbedaan citra ini kembali terlihat. Banyak saksi mata melaporkan bahwa prajurit TNI bersikap simpatik dan humanis terhadap demonstran. Marinir dan Kostrad, misalnya, berhasil mencegah massa menyerbu Markas Brimob Kwitang pada 29–30 Agustus tanpa menggunakan cara-cara kekerasan. Sebaliknya, Polri menuai kritik dalam penggunaan gas air mata, pentungan yang berlebihan dan penangkapan yang menimbulkan tuduhan pelanggaran HAM. Banyak tersebar di media sosial soal penangkapan pelaku aksi protes diperlakukan semena-mena oleh oknum Polisi.

Oleh     :  Beni Sukadis*

JERNIH– Hubungan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kerap menjadi sorotan publik, terutama ketika terjadi aksi massa berskala besar. Isu keretakan, gesekan di lapangan, hingga tudingan keterlibatan aparat dalam kerusuhan sering mencuat ke permukaan. Namun, bila ditilik dari aspek hukum dan struktur kelembagaan, sebenarnya hubungan TNI-Polri tidak memiliki persoalan fundamental.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, diperkuat oleh UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, sudah menegaskan perbedaan fungsi dan tugas kedua institusi. Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan. Sedangkan TNI berperan menjaga kedaulatan negara, mengatasi ancaman militer maupun non-militer, dan melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP).

Dalam konteks penanganan aksi protes, Polri adalah aktor utama, sementara TNI hanya dapat dikerahkan dalam rangka perbantuan sesuai dengan UU TNI Pasal 7 ayat (2) huruf b. Artinya, kendali operasi tetap berada pada Polri, sementara TNI hanya memperkuat melalui dukungan personel maupun aset logistik.

Meski secara formal tugas pokok dan fungsi jelas berbeda, dinamika di lapangan kerap menimbulkan gesekan. Beberapa faktor yang memicu ketegangan antara prajurit TNI dan anggota Polri di antaranya jalur komando yang berbeda, pola komunikasi yang tidak sinkron, hingga perbedaan pemahaman tentang hak-hak warga negara dalam berdemonstrasi. Polri sering dituding bertindak represif dalam menghadapi massa aksi, bahkan melanggar standar operasional prosedur maupun prinsip hak asasi manusia. Sebaliknya, TNI, terutama dalam dua dekade terakhir, berupaya menghindari pola represif dalam menangani aksi protes.

Perbedaan pendekatan ini memengaruhi citra publik. Dalam survei Indikator Politik pada Mei 2025, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap TNI mencapai 85,7 persen, sementara Polri berada di angka 72,2 persen. Survei yang sama menunjukkan hampir seperempat responden menyatakan sangat percaya kepada TNI, sedangkan mayoritas lainnya cukup percaya. Data dari LSI pada April 2025 juga konsisten, dengan TNI memperoleh kepercayaan publik hingga 84 persen.

Polri sendiri memang menunjukkan tren membaik setelah sempat mengalami krisis legitimasi, namun masih tertinggal dibanding TNI. Gambaran ini menegaskan bahwa persepsi masyarakat terhadap kedua institusi berbeda, dengan TNI dianggap lebih humanis, sementara Polri kerap mendapat sorotan karena tindakan represif.

Dalam aksi protes bulan Agustus lalu, perbedaan citra ini kembali terlihat. Banyak saksi mata melaporkan bahwa prajurit TNI bersikap simpatik dan humanis terhadap demonstran. Marinir dan Kostrad, misalnya, berhasil mencegah massa menyerbu Markas Brimob Kwitang pada 29–30 Agustus tanpa menggunakan cara-cara kekerasan. Sebaliknya, saat Polri menangani aksi protes 25-28 Agustus menuai kritik dalam penggunaan gas air mata, pentungan yang berlebihan dan penangkapan yang menimbulkan tuduhan pelanggaran HAM. Banyak tersebar di media sosial soal penangkapan pelaku aksi protes diperlakukan semena-mena oleh oknum Polisi.

Di sisi lain, muncul pula tudingan bahwa anggota TNI terlibat sebagai penyusup dalam kerusuhan, baik di Jakarta maupun Sumatera Selatan. Beberapa personel memang sempat diamankan di lapangan, namun hingga kini tidak terbukti membawa bahan berbahaya atau melakukan tindakan provokatif.

TNI menegaskan bahwa anggotanya sedang melaksanakan tugas pemantauan, bukan terlibat dalam kegiatan anarkis. Kasus ini menunjukkan pentingnya kehati-hatian dalam mengelola informasi. Penyebaran rumor bahwa intel TNI ditangkap Brimob, misalnya, terbukti tidak akurat dan hanya menimbulkan kecurigaan antaraparat. Wakil Panglima TNI bahkan mengingatkan agar isu sensitif semacam itu tidak disebarkan secara serampangan karena dapat merusak soliditas TNI-Polri.

Selain persoalan teknis di lapangan, gesekan antara TNI dan Polri juga berakar dari faktor internal. Kecemburuan terkait remunerasi dan kesejahteraan sering menjadi sumber ketidakpuasan. Polri, dengan posisinya sebagai aparat penegak hukum sipil, kerap dianggap memiliki fasilitas dan tunjangan yang lebih baik dibanding TNI. Hal ini memicu rasa iri di kalangan prajurit, terutama di level bawah, yang bisa memperbesar potensi konflik bila tidak dikelola dengan bijak. Selain itu, semangat korps yang tinggi membuat prajurit maupun anggota Polri mudah terpicu dalam membela kehormatan institusi masing-masing. Gesekan personal bisa dengan cepat melebar menjadi konflik antarkorps, meskipun secara kelembagaan hubungan keduanya tetap harmonis.

Kasus kerusuhan Agustus lalu menjadi pengingat betapa pentingnya sinergi TNI-Polri dalam menjaga stabilitas nasional. Polri seharusnya melaakukan evaluasi internl dan memperbaiki pendekatan penanganan aksi massa agar sesuai prinsip demokrasi, sementara TNI perlu menjaga konsistensi dalam peran perbantuan yang profesional dan sesuai koridor hukum. Kunci ke depan terletak pada komunikasi dan koordinasi yang lebih baik di lapangan.

Dengan memperkuat mekanisme kendali operasi, menyelaraskan prosedur, serta mengedepankan transparansi dalam setiap penanganan aksi, gesekan bisa diminimalkan. Lebih jauh, pemerintah juga perlu mengatasi kesenjangan kesejahteraan antarinstitusi agar kecemburuan sosial di level prajurit tidak menjadi bom waktu. []

*Konsultan keamanan di Marapi Consulting & Advisory

Back to top button