Literatur Humor Pesantren
“Ugalaul Majanien” susunan Abu Qasim an Naisabury, mengisahkan orang-orang yang dianggap gila namun pendapat-pendapatnya mengandung kebenaran melebihi orang waras.
Oleh : Usep Romli H.M.
Banyak Ajengan (Kiyai) dalam ceramah-ceramahnya suka menyelipkan humor. Sebagai penyegar materi, agar tak membosankan pendengar. Tentu saja humor yang sehat dan bermakna. Bukan sekadar untuk memancing tawa.
Salah seorang Kiyai yang terkenal jago humor, sebut saja Almarhum Gus Dur, sapaan akrab KH Abdurahman Wahid (1940-2009). Pada kesempatan apa saja, di mana saja, baik mengobrol santai, mengisi acara diskusi, maupun seminar serius, selalu saja menyelipkan humor-humor yang membuat semua pendengar tergelak. Minimal senyum simpul. Bahkan ketika menjadi presiden RI (1999-2001), Gus Dur tak pernah melupakan humor untuk mencairkan pidato-pidato resminya, agar tidak kaku dan membosankan.
Bagi orang sekelas Gus Dur, yang permah belajar di Mesir dan Irak, tentu sangat menguasai bahasa Arab, berikut segala perangkat keilmuannya. Seperti mahraj (phonetic), nahwu (syntaxis), sharaf (morphologi), dan balaghah (stylistic). Hingga tidak sulit menelusuri khazanah literatur Arab. Termasuk literatur humor yang nampaknya menjadi keahlian para penulis Arab untuk mengumpulkannya.
Memang tradisi kepenulisan di kalangan bangsa Arab, sudah mendarah-mendaging. Hampir setiap peristiwa besar, silsilah, sejarah, nama dan reputasi seseorang, selalu dicatat baik-baik. Dikembangkan dari generasi ke generasi. Umpamanya, peristiwa perang antara kabilah-kabilah Arab jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad Saw,kisahnya dapat terwariskan hingga kini melalui buku “Ayyamul Arab” (Hari-Hari Arab).
Begitu pula folklore (ceritera rakyat) berbentuk puisi, nyanyian, anekdote dan sebagainya, sebagian besar sudah terdokumentasikan. Beberapa di antaranya diadaptasi terus-menerus sesuai keadaan zaman. Diaktulisasikan sesuai kebutuhan.
Walaupun koleksi buku (kitab) di pesantren-pesantren sebagian besar berupa ilmu fiqh (hukum), tafsir Quran, hadits, aqidah, ahlak dan tatabahasa (Arab), namun ada juga buku/kitab di luar itu. Terutama buku-buku kumpulan humor tadi, yang berguna untuk mengasah kecerdasan, mempertajam pemahaman, dan melatih sikap kritis. Gus Dur sendiri, ketika memberi pengantar buku humor “Mati Ketawa Cara Rusia” (1986), menyatakan : “Rasa humor dari sebuah masyarakat, mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalh petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akanketerbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah sublimasi dan kearifan sebuah masyarakat. Mengapakah kemampuan menertawakan diri sendiri menjadi demikian menentukan ? Karena orang harus mengenal diri sendiri, sebelum mampu melihat yang aneh-aneh dari perilaku diri sendiri itu.” (hal.XI).
Dari penelusuran melalui berbagai katalog perpustakaan literatur Arab , terdapat banyak sekali buku-buku himpunan humor atau anekdote dalam bahasa itu. Ada yang satu jilid, ada yang mencapai tiga puluhan jilid. Antara lain “Akhbarul Hamqa wal Mughafalien”. Disusun oleh Jamaluddin Abdurahman bin Ali Ibnu Jauzi (abad 6 Hijrah/12 Masehi), mengisahkan ketololan dan kedunguan orang-orang di berbagai bidang professi (petani, pedagang, hakim, jaksa, ulama, akademisi, menteri, bahkan sultan atau raja).
“Ugalaul Majanien” susunan Abu Qasim an Naisabury, mengisahkan orang-orang yang dianggap gila namun pendapat-pendapatnya mengandung kebenaran melebihi orang waras. “Al Bukhala” susunan Jahidz, mengisahkan perilaku orang-orang kikir yang menyebalkan sekaligus menggelikan.
Dan banyak lagi buku-buku himpunan humor dengan beragam tema. Seperti “Jami’ul Jawahir” susunan Syekh Abu Ishaq Qairawani, “Al Kasykul” Bahauddin Amili, “Iqdul Farid” Ibnu Abi Rabih al Andalusi, “Uyunul Akhbar” Ibnu Qutaibah Dinwari, “Nihayatul Arab” Syihabudin Nuwairi, “Al Aghani” Abu Faraj an Nisaburi, dll.
Tokoh humor Arab, kemudian populer pada masa kini, antara lain Nasrudin Hoja, Juha al Arabi, Abu Nawas, Asy’ab al Majnuni, Bahlul, Qarahqus, dll., dengan berbagai modifikasi humor-humor mereka.
Pantaslah Gus Dur tak pernah kehabisan cadangan humor. Bacaan di pesantren, ditambah aneka macam referensi baru dan aktual, telah memperkaya wawasan pengetahuan dan penguasaan materi humor yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini, dalam berbagai versi pengungkapan dan penceritaan kembali. [ ]