SolilokuiVeritas

Madagaskar, Negeri Indah yang Akrab dengan Kudeta

Kudeta di Madagaskar tahun 2025 bukanlah yang pertama dalam sejarah negara itu. Ironisnya, Presiden yang digulingkan, Andry Rajoelina, sendiri pernah naik ke tampuk kekuasaan lewat dukungan militer pada 2009. Kini, ia menjadi korban dari pola yang sama.

JERNIH –  Madagaskar, pulau besar di Samudra Hindia yang selama ini dikenal lewat keindahan alamnya, kini menjadi sorotan dunia karena gejolak politik yang mengguncang negeri itu pada Oktober 2025. Di tengah krisis ekonomi, layanan publik yang kacau, dan kekecewaan rakyat yang menumpuk, negeri berpenduduk sekitar tiga puluh juta jiwa itu kembali menghadapi babak kelam dalam sejarahnya — sebuah kudeta militer yang menggulingkan Presiden Andry Rajoelina dan mengantarkan Kolonel Michael Randrianirina ke tampuk kekuasaan.

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Rajoelina bukanlah hal yang muncul tiba-tiba. Selama beberapa tahun terakhir, rakyat Madagaskar hidup di bawah tekanan ekonomi yang berat. Pemadaman listrik yang berkepanjangan, kelangkaan air bersih, dan maraknya korupsi membuat rakyat frustrasi. Situasi itu diperburuk oleh tingginya angka pengangguran dan minimnya peluang bagi generasi muda.

Pada akhir September 2025, amarah itu akhirnya meledak. Ribuan warga, sebagian besar dari kalangan muda yang disebut sebagai “Generasi Z Madagascar” turun ke jalan di ibu kota Antananarivo. Mereka menuntut perbaikan kondisi hidup dan mendesak Presiden Andry Rajoelina untuk mundur. Protes ini segera menyebar ke berbagai kota, menandai awal dari krisis politik paling serius di negara itu dalam satu dekade terakhir.

Presiden Andry Rajoelina, yang telah berkuasa sejak 2018 dan kembali terpilih pada 2023, mencoba meredam situasi dengan langkah-langkah politis. Ia membubarkan kabinetnya, berharap dapat menenangkan rakyat. Namun, kebijakan itu datang terlambat.

Rakyat menganggap tindakan Rajoelina sekadar manuver untuk mempertahankan kekuasaan, bukan solusi nyata terhadap penderitaan mereka. Ketika aparat keamanan mulai bertindak keras terhadap para demonstran, situasi semakin memburuk. Laporan PBB menyebutkan sedikitnya dua puluh dua orang tewas dan lebih dari seratus terluka akibat bentrokan. Citra pemerintah semakin terpuruk, sementara kepercayaan publik runtuh.

Di tengah kekacauan itu, muncul sosok yang kemudian menjadi tokoh kunci dalam perubahan kekuasaan: Kolonel Michael Randrianirina. Ia adalah komandan unit elit militer CAPSAT, pasukan yang sebelumnya dikenal loyal kepada negara namun juga memiliki sejarah keterlibatan politik. Randrianirina bukan wajah baru dalam arena kekuasaan — pada tahun 2023, ia sempat ditahan atas tuduhan melakukan pemberontakan, tetapi kemudian dibebaskan dengan hukuman percobaan.

Ketika protes rakyat meluas dan aparat mulai enggan menembak sesama warga, Randrianirina mengambil langkah berani. Ia menyatakan bahwa unitnya menolak menindas rakyat sendiri dan menuntut Presiden Rajoelina untuk mundur. Dalam hitungan hari, pernyataannya menggema di seluruh negeri. Sejumlah komandan lain mengikuti langkahnya. Momentum berbalik — dari protes sipil menjadi gerakan militer yang terorganisir.

Pada 14 Oktober 2025, titik balik sejarah itu tiba. Pasukan CAPSAT dan militer yang berpihak pada rakyat mengepung gedung-gedung pemerintahan. Tanpa banyak perlawanan, kekuasaan berpindah tangan. Rajoelina melarikan diri ke luar negeri dengan alasan keselamatan diri, sementara parlemen segera mengajukan pemakzulan terhadapnya.

Dalam suasana yang tegang namun euforia di sebagian kalangan rakyat, Randrianirina mengumumkan pembentukan pemerintahan sementara. Ia menegaskan bahwa tindakan militer bukanlah perebutan kekuasaan, melainkan “refoundation” — sebuah upaya membangun kembali negara dari kehancuran moral dan ekonomi. Beberapa hari kemudian, pada 17 Oktober 2025, Pengadilan Konstitusional Tinggi melantiknya sebagai Presiden sementara Republik Madagaskar.

Masyarakat internasional segera bereaksi. Uni Afrika menangguhkan keanggotaan Madagaskar sebagai bentuk penolakan terhadap perubahan kekuasaan yang dianggap tidak konstitusional. PBB menyerukan agar pemerintahan baru segera memulihkan tatanan hukum dan hak asasi manusia.

Randrianirina, dalam pidato pelantikannya, berjanji akan membentuk pemerintahan transisi dan menyelenggarakan pemilu dalam 18 hingga 24 bulan ke depan. Ia juga menekankan pentingnya dialog nasional untuk menyembuhkan luka sosial akibat konflik politik yang berkepanjangan. Namun, banyak pihak skeptis — pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa janji transisi sering kali menjadi alat untuk memperpanjang kekuasaan militer.

BACA JUGA: Gen-Z Gelar Aksi Protes, Pemerintahan Madagaskar Bubar

Dalam enam dekade terakhir, setidaknya lima kali kudeta besar mengguncang negara itu, meninggalkan jejak panjang ketidakstabilan dan campur tangan militer dalam pemerintahan.

Awal Keterlibatan Militer: Kudeta 1972

Kudeta pertama di Madagascar terjadi pada tahun 1972, ketika Presiden Philibert Tsiranana, pemimpin sipil pertama setelah kemerdekaan, dipaksa menyerahkan kekuasaan kepada militer. Ketika itu, rakyat melancarkan protes besar-besaran menentang korupsi, ketimpangan ekonomi, dan ketergantungan yang terlalu besar pada Prancis. Dalam situasi yang memburuk, Jenderal Gabriel Ramanantsoa mengambil alih pemerintahan dengan dalih menstabilkan negara.

Meski berlangsung tanpa pertumpahan darah besar, kudeta ini membuka pintu bagi militer untuk ikut menentukan arah politik nasional. Sejak saat itu, hubungan antara rakyat, militer, dan pemerintah sipil di Madagascar tidak pernah benar-benar pulih.

Kudeta 1975 dan Lahirnya Rezim Ratsiraka

Tiga tahun kemudian, pada 1975, negara itu kembali terguncang. Kolonel Richard Ratsimandrava, yang baru enam hari menjabat sebagai presiden, tewas dalam sebuah serangan bersenjata yang diduga kuat terkait upaya kudeta. Setelah itu, Dewan Militer mengambil alih kekuasaan dan menunjuk Didier Ratsiraka, seorang perwira muda angkatan laut, sebagai pemimpin negara.

Ratsiraka kemudian membangun rezim sosialis yang dikenal sebagai Republik Demokratik Madagaskar. Ia memperkenalkan ideologi “Revolusi Merah” dan menjalin hubungan erat dengan blok Timur. Namun, kebijakan ekonominya yang tertutup justru membawa kemunduran dan menimbulkan ketegangan sosial yang meluas.

Gelombang Reformasi dan Kudeta 1991

Memasuki awal 1990-an, angin demokratisasi yang melanda Afrika juga sampai ke Madagascar. Rakyat, yang sudah muak dengan kemiskinan dan pemerintahan otoriter Ratsiraka, turun ke jalan menuntut perubahan. Aksi demonstrasi besar-besaran mengguncang ibu kota Antananarivo sepanjang tahun 1991.

Tekanan dari masyarakat sipil dan sebagian militer membuat Ratsiraka kehilangan dukungan. Akhirnya, ia menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan transisi yang dipimpin Albert Zafy. Kudeta ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Madagascar, meskipun stabilitas yang diharapkan tidak pernah benar-benar terwujud.

Kudeta 2009: Siklus yang Terulang

Tahun 2009 menandai kembalinya lingkaran krisis. Presiden Marc Ravalomanana, yang saat itu menghadapi tuduhan korupsi dan otoritarianisme, digulingkan oleh Andry Rajoelina, wali kota muda Antananarivo yang didukung oleh militer.

Kudeta ini semula dipicu oleh demonstrasi warga yang menolak kebijakan ekonomi pemerintah, tetapi dengan cepat berubah menjadi perebutan kekuasaan terbuka. Rajoelina kemudian memimpin pemerintahan transisi selama beberapa tahun, sementara komunitas internasional — termasuk Uni Afrika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa — mengecam pengambilalihan kekuasaan tersebut dan menangguhkan keanggotaan Madagascar.

Ironisnya, kudeta 2009 justru menjadi titik awal bagi Rajoelina untuk membangun karier politiknya. Ia kemudian kembali ke kursi kepresidenan melalui pemilu 2018 dan 2023 — hingga akhirnya ia sendiri menjadi korban kudeta berikutnya.

Kudeta 2025: Rajoelina Tersingkir oleh Militer

Pada Oktober 2025, sejarah kembali berulang. Gelombang protes rakyat meledak akibat krisis listrik, kekurangan air bersih, dan memburuknya ekonomi. Mayoritas pengunjuk rasa berasal dari kalangan muda yang menamakan diri sebagai Generasi Z Madagascar. Mereka menuduh Presiden Rajoelina gagal menepati janji reformasi dan membiarkan korupsi merajalela.

Ketika situasi semakin panas dan aparat mulai menolak perintah untuk menindak rakyat, Kolonel Michael Randrianirina, komandan unit elit CAPSAT, muncul sebagai tokoh kunci. Ia menyatakan bahwa pasukannya menolak menindas warga sendiri dan menuntut agar presiden mundur. Dalam beberapa hari, unit-unit militer lain bergabung, dan pada 14 Oktober 2025, kekuasaan berpindah tangan. Rajoelina melarikan diri ke luar negeri, sementara Randrianirina mengambil alih pemerintahan dan kemudian dilantik sebagai presiden sementara.

Reaksi dunia kembali keras. Uni Afrika segera menangguhkan keanggotaan Madagascar, sementara PBB menyebut peristiwa itu sebagai “perubahan kekuasaan yang tidak konstitusional.” Meski Randrianirina berjanji akan mengadakan pemilu dalam dua tahun, banyak pihak skeptis terhadap niat tersebut.(*)

BACA JUGA: Presiden Venezuela Nicolas Maduro Tuduh Elon Musk Mengatur Upaya Kudeta

Back to top button