Mario Kempes di Zaman Bola Gembling Antikempes
Bila telat menyetrum ulang, tiba-tiba kita akan menyaksikan gambar bergoyang dan kepala penyiar TVRI kala itu, Yassir Denhas, seketika peang, dagunya pun memanjang. Tak hanya itu, suaranya yang mantap berwibawa serta merta ikut melempem, sengau dengan irama memanjang, sebelum layar menghitam dan tv mati
JERNIH– Pertama kali saya mengenal keriuhan sepak bola, sepertinya dimulai saat kelas dua Sekolah Dasar. Tahun 1978, waktu Piala Dunia Argentina. Benar-benar Piala Dunia Argentina, karena selain digelar di Argentina, juaranya Argentina pula!
Meski di kampung saya-–Kampung Putat Kulon, Desa Kadipaten, Kabupaten Daerah Tingkat Dua Majalengka—pesawat televisi hanya ada di dua rumah saja, demam Piala Dunia tak kurang hebatnya. Saya masih ingat, merk tv milik Mang Olik yang sering kami tonton satu RW itu Telesonic. Televisi milik Pak RT lingkungan kami itu kecil saja. Mungkin hanya 17 inchi kalau diingat setelah saya akil baligh.
Meski hitam putih, itu tak membuat kami kecil hati. Apalagi sebenarnya saat itu kami yang menonton—artinya juga para bapak yang tak jarang berusia di atas 50-an, belum tahu ada televisi berwarna. Saya pertama kali menonton tv warna itu tiga tahun kemudian, di rumah mendiang Bambang Ginanjar, cucu seorang saudagar yang konon punya saham di Pasar Atom, Surabaya. Itu pun dengan mulut tak henti menutup. Ya karena ternganga kagum kepada gambar yang lebih nyata, ya juga sibuk terus memasukkan aneka makanan yang menurut saya di rumah itu alangkah berlimpahnya!
Pesawat tv Mang Olik itu berfungsi dengan tenaga aki (accu). Bila telat menyetrum ulang, tiba-tiba kita akan menyaksikan gambar bergoyang dan kepala penyiar TVRI kala itu, Yassir Denhas, seketika peang, dagunya pun memanjang. Tak hanya itu, suaranya yang mantap berwibawa serta merta ikut melempem, sengau dengan irama memanjang, sebelum layar menghitam dan tv mati. Saat itulah biasanya para penonton akan berteriak kecewa,”Huuuuuuu!”, seolah mereka membayar saja. Padahal para bapak yang ikut nonton, mengeluarkan rokok untuk diisap bersama tuan rumah pun tidak.
Mang Olik sang pemilik biasanya akan menggerutu. Ia dobel kecewa: kecewa karena accu mati dan harus dibawa ke Pasar Kadipaten yang jaraknya lumayan dan perlu menunggu berjam-jam sebelum accu kembali terisi penuh. Kedua, ia sebal karena kalau sudah begitu, tak ada seorang pun di antara penonton yang mau membantunya. Moril nggak, apalagi materiil.
Tapi sempat suatu ketika accu mati, Mang Kirat mengusulkan agar Mang Olik tak usah ‘nyetrum’ accu ke pasar. “Jauh, percayakan saja pada saya,”kata dia. Mang Kirat yang kini sudah tiada itu memang dikenal rajin dan humoris. Di zaman judi massal Nalo (nasional loterij) dan toto Singapura (Tosing), Mang Kirat terkenal sebagai pengecer gigih kedua judi massal itu. Saya masih mengingatnya setiap pagi berkeliling kampung sambil berteriak-teriak, “Arisaan! Arisaan!”
Malam itu memang kami tetap bisa menonton World Cup meski tidak pakai accu. Ternyata Mang Kirat, dibantu para bapak lainnya, mencuri listrik PG Kadipaten, aliran listrik berdaya 110 KWH yang membentang ke beberapa rumah orang berpunya di desa kami. Caranya, dengan mencantel ke jaringan kawatnya! Saya tak yakin cara itu masih bisa dilakukan saat ini, dengan jenis kawat berbalut isolator yang pasti sangat lain.
Tentu saja pemain yang paling ngetop saat itu tak lain dari Mario Kempes. Penyerang Argentina berambut gondrong itu segera menjadi idola kami, anak-anak desa yang bermain bola tanpa alas kaki.
Hampir setiap kami tiap hari mengenakan kaos belang-belang Argentina, bernomor 10 dengan punggung bertuliskan Kempes. Bahkan kedua kiper kami pun, di masing-masing sisi, pakai kaos Kempes itu. Bukan karena orang tua-orang tua kami mampu membelikan kami semua kaos yang sedang ngetren itu. Tetapi kalau tak dibelikan, rata-rata kami saat itu pasti akan menangis berguling-guling karena tak bisa bermain bersama-sama yang lain, yang akan mengejek siapa pun yang tak memakai kaos Kempes itu.
Generasi kami memang tak lagi menggunakan jeruk Bali yang dibakar sebagai bola sepak, tetapi bola itu kualitasnya jauh di bawah bola yang dimainkan anak-anak zaman now. Bola yang kami pakai adalah bola karet tebal dan berat. Bola itu akan memantul keras bila jatuh dari ketinggian. Bola ini sangat antikempes, tak pernah kami temukan bola itu mengkerut kurang angin.
Memang struktur bola ini bukan bola yang diisi angin. Ia hanya dua lempeng karet berbentuk setengah bola yang disatukan. Entah dilem atau apalah. Di dalamnya mungkin ada semacam giring-giring, karena ia akan berbunyi nyaring bila ditendang. Bila bola itu pecah, ia akan terburai menjadi potongan-potongan karet, kalau tak jadi dua karena lepas lem. Biasanya bila pecah, selain giring-giring akan ada garam bulat yang terlempar dari dalam. Entah apa fungsi garam itu ditanam dalam bola jenis tersebut. Kami di Kadipaten saat itu menyebutnya bal (bola) gembling. [dsy]