SolilokuiVeritas

Membuka Tabir Kata “Moderasi dan Moderat”– Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Ungkapan “Moderatio in omnibus est virtus” adalah sebuah frasa dalam bahasa Latin yang berarti “Moderasi dalam segala hal adalah kebajikan”, menggambarkan keyakinan klasik bahwa moderasi atau keseimbangan dalam segala aspek kehidupan adalah suatu kebajikan yang penting.

Oleh : Fahmy Lukman*
JERNIH–Sebagai seorang peneliti bahasa, saya merasa tergelitik untuk menggali pengertian makna kata “moderasi” dan “moderat”. Rasa penasaran itu muncul setelah saya menggunakan dan memanfaatkan Google Trends, sebuah cara penelurusan yang disediakan Google untuk mendeteksi aspek-aspek yang menjadi trending topics pada kurun waktu tertentu.

Saya mencoba berselancar untuk mendeteksi dua kosa kata, yaitu “moderasi” dan “moderat” dengan kurun waktu saya batasi dengan jangka waktu lima tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan bahwa orang yang mencari dengan keyword kedua kosa kata tersebut di kawasan Provinsi Jawa Barat sebanyak 59 persen : 41 persen, Daerah Khusus Jakarta 59 persen : 41 persen, Sulawesi Tengah 61 persen : 39 persen, Banten 63 persen : 37 persen, dan Kalimantan Timur 64 persen : 36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan mencari diksi “moderasi” lebih dominan dibandingkan dengan “moderat”. Masalahnya adalah ada apa dengan kedua kosa kata itu sehingga terdapat sejumlah orang yang mencoba menelusurinya? Hal inilah yang menarik dibahas bagi seorang pemerhati bahasa untuk menelusuri kedua kata itu secara etimologis.

Prinsip relativitas linguistik memberi tahu kita bahwa bahasa secara langsung memengaruhi cara orang memandang dunia dan cara berfikirnya. Antropolog dan ahli bahasa, Edward Sapir (1884-1939), mengatakan bahwa kebiasaan bahasa kelompok masyarakat tertentu membangun dunia nyata. Dia lebih lanjut menambahkan bahwa tidak ada dua bahasa yang serupa sedemikian rupa sehingga mereka akan mewakili satu masyarakat. Dunia untuk setiap masyarakat berbeda. Beda peradaban maka beda pula bahasa dan peristilahan yang digunakan untuk menjelaskan sebuah konsep atau tentang sesuatu. Hal ini berarti bahwa berbicara pengunaan bahasa menunjukkan orang tersebut berasumsi dengan cara budaya dan peradaban yang terdapat pada bahasa itu. Tentu saja, mengetahui peradaban dan budaya lain, berdasarkan prinsip ini, pada tahap awal melalui bahasanya. Kita perlu berkomunikasi untuk menyoroti interpretasi dan representasi dunia itu. Inilah sebabnya mengapa hubungan antara bahasa dan budaya sangat penting ketika belajar bahasa baru (Sapir, 2004).

Dalam kaitan inilah maka, peradaban dan budaya membentuk keyakinan dan etika tentang cara bagaimana menghadapi orang lain; berhubungan dengan orang-orang yang berpikiran sama dan berbeda. Bahasa adalah sumber daya yang memungkinkan kita mengomunikasikan budaya kita miliki. Pada kenyataannya, bahasa telah digunakan untuk menyampaikan ide-ide peradaban, budaya, dan keyakinan. Selain itu, budaya dan bahasa memungkinkan kita untuk melihat ke belakang dalam konteks sejarah dan membantu membentuk pikiran kita. Nilai-nilai budaya kita memengaruhi cara kita memandang, berbicara, dan berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa juga mempengaruhi pikiran manusia sehingga bahasa, budaya, dan kepribadian kita, terus berkembang.

Oleh sebab itu, peradaban yang dibangun dengan basis sekularisme dapat dipastikan berbeda dengan peradaban Islam. Hal ini berdampak pada bahasa dan peristilahan yang melatarbelakangi bahasa ini pun akan menjadi berbeda karena terdapat perbedaan fundamental, mendasar, dan radikal antarkeduanya.

Etimologi Kata “Moderate” dan “Moderation”

Etymology adalah the study of the origin and history of words or a study of this type relating to one particular word (lihat https://dictionary.cambridge.org/dictionary/ english/etymology). Berdasarkan definisi ini maka kata “moderate” dan “moderation” berasal dari kata moderatus bentuk kata kerja “moderari”, “moderatio” yang berarti ‘mengendalikan’, ‘menahan diri’, ‘membimbing’, ‘mengatur dengan bijak’, ‘keseimbangan’, ‘tidak berlebihan’.

Kata ini sendiri berakar pada “modus”, yang berarti “ukuran, cara, batas”. Kata ini mulai masuk ke dalam berbagai bahasa Eropa melalui pengaruh Latin Gerejawi (bahasa resmi Gereja Katolik) pada Abad Pertengahan. Dalam bahasa Inggris, kata ini diadaptasi menjadi “moderation” (kata benda) dan “moderate” (kata sifat atau kata kerja) pada abad ke-14 hingga ke-15. Kata Moderation muncul pertama kali dalam bahasa Inggris sebagai istilah yang merujuk pada ‘praktik menahan diri’ atau ‘menyeimbangkan emosi dan tindakan’.

Kata ini terutama dipopulerkan oleh para penulis gerejawi dan filsuf yang mencoba mengadaptasi kebajikan klasik ke dalam doktrin Kristiani. Sementara, Moderate, dalam konteks sosial dan politik, muncul untuk menggambarkan pendekatan yang menghindari ekstremitas dalam pendapat, keyakinan, atau tindakan. Ungkapan “Moderatio in omnibus est virtus” adalah sebuah frasa dalam bahasa Latin yang berarti “Moderasi dalam segala hal adalah kebajikan”. Frasa ini menggambarkan keyakinan klasik bahwa moderasi atau keseimbangan dalam segala aspek kehidupan adalah suatu kebajikan yang penting. Mari kita telusuri makna, konteks, dan relevansi frasa ini dalam pemikiran klasik.

Frasa tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran klasik, terutama dalam tradisi Stoik dan filsafat Yunani-Romawi. Meskipun tidak ada sumber tunggal yang secara definitif mengaitkan frasa ini dengan seorang filsuf tertentu, frasa ini mencerminkan prinsip-prinsip yang dipegang oleh banyak pemikir klasik, seperti Aristoteles, Cicero, dan Seneca. Frasa ini mungkin merupakan ringkasan atau kutipan yang diambil dari ajaran-ajaran klasik tentang pentingnya moderasi dalam kehidupan.

Mencermati konteks dalam pemikiran klasik, Aristoteles dikenal dengan kosep “Golden Mean” sebagai konsep “jalan tengah adalah emas”. Dalam “Nicomachean Ethics”, Aristoteles berargumen bahwa kebajikan terletak pada keseimbangan antara dua ekstrem yang saling bertentangan, yaitu (a) keberanian adalah jalan tengah antara kepengecutan dan kecerobohan, (b) Kemurahan hati adalah jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan. Para pemikir Renaisans, seperti Erasmus dan Montaigne, menggunakan konsep “moderation” untuk menegaskan pentingnya pendekatan yang seimbang dalam berpikir dan bertindak. Frasa “Moderatio in omnibus est virtus” dapat dilihat sebagai ekspresi singkat dari prinsip ini.

Pada sisi lain, kita mengenal Filsuf Stoik, seperti Seneca dan Epictetus yang menekankan pentingnya pengenda-lian diri dan moderasi dalam menghadapi emosi dan keinginan. Mereka percaya bahwa hidup dengan moderasi adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan batin. Seneca, dalam “Letters to Lucilius”, sering menulis tentang pentingnya menghindari keserakahan dan kemewahan yang berlebihan, serta hidup dengan sederhana dan terkendali.

Demikian pula, Cicero dalam karyanya “De Offi-ciis” (Tentang Kewajiban), menekankan pentingnya moderasi dalam kepemimpinan dan kehidupan publik. Dia berargumen bahwa seorang pemimpin harus menghindari ekstremisme dan selalu mencari keseimbangan dalam mengambil keputusan. Polybius, seorang sejarawan Yunani, menulis tentang pentingnya moderasi dalam sistem politik untuk menghindari tirani dan anarki. Galen, seorang dokter Yunani-Romawi, menekankan pentingnya moderasi dalam diet dan gaya hidup untuk menjaga kesehatan. Dia percaya bahwa keseimbangan dalam makanan, olahraga, dan istirahat adalah kunci kesehatan yang baik.

Jadi, frasa “Moderatio in omnibus est virtus” adalah ungkapan yang mencerminkan keyakinan klasik tentang pentingnya moderasi dalam segala aspek kehidupan. Frasa ini memiliki akar dalam pemikiran filsafat Yunani-Romawi, terutama dalam ajaran Aristoteles, Stoikisme, dan Cicero. Meskipun frasa ini mungkin tidak secara langsung dikutip dari satu sumber klasik tertentu, namun, frasa ini merangkum prinsip-prinsip yang dipegang oleh banyak pemikir klasik tentang kebajikan, keseimbangan, dan pengendalian diri.

Pertanyaan penting adalah apakah frasa ini tetap relevan hingga hari ini sebagai pengingat akan pentingnya hidup dengan moderasi dan keseimbangan. Menjawab pertanyaan itu maka perlu dipahami bahwa bahasa mencerminkan peradaban dan kebudayaan suatu bangsa yang memiliki keyakinan tertentu dan latar belakang peradaban tertentu.

Artinya masing-masing peradaban memiliki worldview atau dalam bahasa politik disebu ideologi tersediri dengan tujuan tersendiri. Menyamadudukan dan menyamaratakan sebuah peristilahan sebuah peradaban maka mengandung makna menyamakan sejarah peradaban semua bangsa. Padahal esensinya berbeda. Oleh sebab itu, cara berfikir seperti itu merupakan pola pikir yang tergesa, karena kita harus menelisik secara mendalam sejarah peradaban itu yang juga berujung pada sejarah makna dari peristilahan yang digunakan sebuah peradaban. Kita musti jeli, selidik, dan jeli melihat hal ini agar dapat meletakan kata tersebut secara proporsional dan tidak ceroboh. Ingat, setiap bahasa punya makna yang dipengaruhi oleh keyakinan dan ideologi peradabannya. []

*Ketua Umum Asosiasi Linguistik Hukum Indonesia (ALHI) dan dosen Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

Check Also
Close
Back to top button