SolilokuiVeritas

Menciptakan Harmoni Kehidupan

Kerugian akibat banjir dan longsor di Sumatra Barat menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudistira, mencapai Rp 68,67 triliun per 30 November 2025. Lalu berapa kerugian akibat banjir dan longsor di Aceh dan Sumatra Utara? Agaknya kerugian di sana lebih besar dari pada kerugian di Sumatra Barat mengingtat rumah dan infrastruktur yang rusak sangat banyak.

Oleh     :  Ana Nadhya Abrar*

JERNIH– Hutan tidak pernah berdiri sendiri. Dia dibangun oleh beberapa pohon, tumbuhan dan satwa. Itulah sebabnya hutan menyimpan berbagai keanekaragaman hayati. Ya, setiap hutan dihuni oleh berbagai fauna dan flora.

Ketika hutan dirusak oleh penebangan dan pembalakan liar, keanekaragaman hayatinya berkurang.  Kemampuannya menahan air berkurang pula. Terjadilah banjir dan longsor. Kalau sudah begini, kerugiannya sangat banyak.

Lihatlah, kerugian akibat banjir dan longsor di Sumatra Barat. Menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudistira, kerugian itu mencapai Rp 68,67 triliun per 30 November 2025. Ini masuk akal mengingat banyaknya jumlah rumah dan infrastruktur yang rusak di sana.

Lalu berapa kerugian akibat banjir dan longsor di Aceh dan Sumatra Utara? Agaknya kerugian di sana lebih besar dari pada kerugian di Sumatra Barat. Bukankah jumlah rumah dan infrastruktur yang rusak sangat banyak? Mungkin kerugian itu bisa mencapai di atas Rp 75 triliun per provinsi.

Kenyataan ini membuat rakyat marah. Kemarahan ini terlampiaskan lewat media sosial. Masyarakat minta Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, mundur teratur. Anggota DPR, Usman Husin, juga marah. Dia minta Raja Juli Antoni mundur. “Saya pesan Pak Menteri, kalau Pak Menteri enggak mampu, mundur saja. Pak Menteri enggak paham tentang kehutanan,” kata Usman pada 4 Desember 2025, seperti dilaporkan tempo.co.

Apakah kemarahan masyarakat akan berhenti sampai di sini? Agaknya, tidak! Soalnya, mereka mengerti banjir dan longsor ini adalah sebuah akibat atau hasil. Sebab atau prosesnya sudah terjadi sejak Zulkifli Hasan dan Siti Nurbaya Bakar menjadi menteri kehutanan.

Kemarahan masyarakat makin besar tatkala melihat foto Zulkifli Hasan  memanggul sekantong beras mendatangi lokasi banjir di Sumatra Barat. Mereka merasa Zulkifli Hasan tidak ikhlas, tetapi untuk pencitraan. Soalnya, ketika menjadi Menteri Kehutanan dulu, dia mengeluarkan banyak izin pelepasan kawasan hutan untuk dialihfungsikan. Menurut laporan CNN Indonesia, 18 November 2018, dia mengeluarkan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit  seluas 2,4 juta hektare.

Apakah kemarahan masyarakat itu membuat mereka lega? Tidak! Sebenarnya mereka tidak ingin marah-marah kepada pemerintah. Mereka hanya ingin hidup harmoni bersama alam semesta.  Namun, mereka menilai pemerintah tidak menghargai keinginan mereka. Mereka pun marah.

Seperti biasa, pemerintah membela diri. Mereka berdalih. Dalihnya macam-macam. Masyarakat makin marah. Dengan tegas mereka minta agar polisi menangkap Zulkifi Hasan, Raja Juli Antoni, dan Luhut Binsar Panjahitan.

Memang kemarahan masyarakat itu baru muncul di media sosial. Namun, media sosial itu kini sudah menjadi ruang publik digital. Pesannya dengan cepat mengalir deras kepada pengguna media sosial. Kalau tidak diwaspadai, masyarakat bisa memberontak kepada negara.

Maka pemerintah mesti menjadikan kemarahan masyarakat itu sebagai peringatan agar mengelola hutan dengan baik. Ia mesti memahami hutan itu sebagai satu kesatuan yang hidup bersama masyarakat. Ia mesti membiarkan masyarakat hidup harmoni dengan hutan. Bukankah pemerintah mengerti masyarakat punya berbagai kearifan lokal yang bisa menjaga kelestarian fungsi hutan?

Sebuah kearifan lokal itu adalah “kelekak” di Bangka Belitung, yang bermakna “siapa menebang pohon wajib menanam kembali”. Ada lagi “sasi” di Maluku, yang berarti pembatasan pengambilan sumber daya alam. Melalui kearifan lokal ini kita mendapat pencerahan: masyarakat tidak pernah serakah. Mereka hanya ingin menciptakan harmoni kehidupan.[ ]

*Gurubesar jurnalisme UGM

Back to top button