Jawa Barat Selatan, dari Sukabumi hingga Ciamis, memiliki potensi luar biasa yang belum dimanfaatkan. Berdasarkan data 2022, sekitar satu juta hektare lahan di wilayah ini tidak dikelola dengan optimal, termasuk 300 ribu hektare lahan perkebunan yang terlantar. Ini adalah peluang emas.
Oleh : Kurnia Fajar*
JERNIH–Indonesia telah menjadi bagian dari komitmen global dalam mengatasi perubahan iklim melalui ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dalam UU No. 16 Tahun 2016, yang kita kenal dengan Perjanjian Paris. Dunia kini sepakat untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, biomassa, dan geothermal.
Ini bukan sekadar wacana global, tetapi juga peluang besar bagi Indonesia untuk menciptakan masa depan ekonomi yang lebih hijau dan sehat. Selama bertahun-tahun, perekonomian Indonesia terkesan stagnan, hanya bergantung pada ekspor komoditas primer seperti mineral dan hasil pertanian tanpa menciptakan nilai tambah.
Berkaca pada Korea Selatan, yang berhasil mengembangkan K-Pop dan berbagai produk industri berteknologi tinggi, Indonesia seharusnya memiliki cita-cita yang lebih tinggi. Saat ini, ekspor terbesar kita adalah “tenaga kerja” ke luar negeri, bukan produk atau teknologi dalam negeri. Hal itu mencerminkan keterbatasan lapangan kerja dan lemahnya sektor industri dalam negeri. Ironisnya, pendidikan, hukum, dan kesehatan pun bertransformasi menjadi industri komersial, sementara lapangan kerja produktif semakin sulit dicari.
Fenomena seperti penemuan uang Rp921 miliar di rumah seorang pegawai Mahkamah Agung menunjukkan bagaimana hukum pun telah “dikomersialisasi.”
Dalam konteks pemilihan kepala daerah ini, penting bagi para calon pemimpin untuk menawarkan visi konkret yang dapat membuka lapangan kerja dan menciptakan pertumbuhan ekonomi baru bagi masyarakat. Jawa Barat Selatan, dari Sukabumi hingga Ciamis, memiliki potensi luar biasa yang belum dimanfaatkan. Berdasarkan data 2022, sekitar satu juta hektare lahan di wilayah ini tidak dikelola dengan optimal, termasuk 300 ribu hektare lahan perkebunan yang terlantar. Ini adalah peluang emas.
Bayangkan jika lahan-lahan tersebut ditanami pohon Kaliandra, Gamal, dan tanaman biomassa lainnya. Setidaknya, 1,5 miliar pohon dapat ditanam secara bertahap. Ini bukan hanya akan menyediakan bahan baku biomassa yang ramah lingkungan, tetapi juga bisa memberikan Indonesia peluang besar dalam memperoleh kredit karbon. Dari estimasi investasi, penanaman pohon di lahan seluas ini bisa menarik dana sebesar USD 3 miliar, pabrik pengolahan biomassa sekitar USD 15 miliar, dan industri hilirnya sekitar USD 15 miliar.
Sudah saatnya para calon pemimpin di Pilkada ini memikirkan cara menjadikan Jabar Selatan sebagai pusat energi baru terbarukan, yang dapat memperbaiki indikator ESG (Environmental, Social, Governance) Indonesia. Jika langkah ini terwujud, posisi Indonesia di panggung global akan meningkat, dan kebutuhan untuk mengekspor tenaga kerja ke luar negeri bisa berkurang. Pada 2030, kita harap Jawa Barat Selatan akan berkembang sebagai pusat ekonomi baru di Jawa Barat, sekaligus menjadi pilar energi hijau di Indonesia. [ ]
*) Warga Jawa Barat, anggota Pramuka, dan Mahitala Unpar