Mendudukkan Kembali Prasangka Negatif Atas Gerakan Islam
Deradikalisasi yang kerap kali digunakan baik oleh negara maupun kelompok bukan negara sebagai strategi membendung gerakan Islamis bukanlah strategi yang tepat. Untuk apa melakukan deradikalisasi terhadap gerakan Islamis yang memang tidak radikal sama sekali?
Oleh : Azhar Irfansyah dan Muhammad Azka Fahriza
JERNIH– “Apa yang terjadi sekarang adalah agama dipakai sebagai alat, dan saya kira itu yang harus dicegah. Tanggung jawab pemimpin-pemimpin Indonesia melakukan pencegahan tersebut,” ujar Sidney Jones, pakar keamanan dan konflik Asia Tenggara, pada sebuah diskusi menyoal aksi besar-besaran yang dilakukan gerakan Islamis untuk menjegal calon gubernur Ahok hari-hari ini.
Belakangan, himbauan “jangan bawa-bawa agama” atau “jangan gunakan agama” semakin mudah kita temukan dalam berbagai frasa. Setelah Ahok resmi menjadi cagub yang diusung PDIP, frasa yang paling ramai diucapkan dari himbauan itu adalah “Jangan gunakan Islam sebagai alat politik.”
Bukan hanya para pendukung Ahok saja yang menggunakan imbauan itu untuk menjawab orang-orang yang menentang Ahok lantaran beragama Kristen. Beberapa penentang Ahok pun turut menggunakan imbauan semacam ini. Ali Taher, anggota DPR Partai PAN yang mengusung pasangan Agus-Silvy, misalnya, meminta Ahok “Jangan menyalahgunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan politik.” Artinya, imbauan ini dapat digunakan oleh siapa pun yang menganggap lawannya off-side dalam urusan agama dan politik.
Persoalannya, bagi gerakan-gerakan Islam tertentu garis off-side ini tak pernah ada. Sebagaimana dicatat oleh Kumar (2012: 22-23), sejak awal abad ke-20, muncul gerakan Islam bertujuan politik mengembalikan supremasi Islam dari gerusan kolonialisme, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh muslim seperti Hasan Al-Bana, Abul Ala Al Maududi.
Gerakan yang kemudian kita kenal sebagai “Islam Politik” ini sejak lama telah berada di Nusantara, menjadi bagian dari apa yang telah kita pahami sekarang sebagai Islam Nusantara itu sendiri—dan kita bisa melihat mereka ada dalam demo hari ini sebagai salah satu kekuatan dominan.
Mengimbau varian gerakan Islam ini untuk “tidak menggunakan Islam untuk politik” sama dengan mengimbau “jangan gunakan oksigen untuk bernapas.” Maka pertanyaannya, siapkah kita—baik sepakat maupun tidak sepakat—menerima gagasan “Islam politik” sebagai bagian dari khazanah pemikiran politik di Indonesia?
Apa yang mengkhawatirkan dari kebangkitan gerakan Islam, dengan “Islam Politik” sebagai salah satu eksponennya, di Indonesia hari ini adalah ia hadir di tengah kekosongan kekuatan politik berbasis kelas, neoliberalisasi ekonomi yang semakin gila-gilaan. Terlebih di kota seperti Jakarta. Berman dan Rose, menjelaskan bahwa neoliberalisasi ekonomi yang membawa ekses pada kehidupan sehari-hari nan keras di masyarakat urban, pada akhirnya menciptakan lingkungan ideal yang memunculkan solidaritas dan identitas komunal berbasis agama.
Percepatan industri yang berlangsung sejak Orde Baru menciptakan lumpenproletariat dalam jumlah besar. Merekalah, sebagai bagian dari masyarakat Muslim yang sekian lama ditindas dan dihisap secara ekonomi oleh pemerintahan sekular, yang kemudian diwadahi aspirasi dan keluhannya oleh gerakan Islam secara populistik (Vedi R Hadiz, 2016: 43)
Ditambah perang melawan terorisme di tataran global, dua konteks di atas telah membentuk persepsi (negatif) kita terhadap “Islam politik”. Terlebih lagi “Islam politik” yang diekspresikan di jalanan.
Ada banyak prasangka tidak sehat yang dilancarkan terhadap gerakan Islamis. Salah satu yang paling sering dikemukakan di media sosial adalah bahwa gerakan ini tidak pas dengan ekosistem Nusantara dan harus diasingkan ke Timur Tengah. Ini pandangan yang sama keblingernya dengan kelompok rasis ultra-kanan Golden Dawn di Yunani yang menganggap semua kekerasan berasal dari Arab dan harus dikembalikan ke Arab.
Ada pula prasangka merendahkan yang menganggap setiap aksi massa “Islam politik” merupakan kerumunan pengangguran yang mengharap nasi bungkus. Pertama, prasangka semacam ini telah mengalihkan perhatian dari biang keladi pengangguran yang sebenarnya, yaitu Kapitalisme. Seolah-olah gerakan Islamis itulah yang telah bertanggung jawab pada semakin mencemaskannya tingkat penangguran, padahal kita sedang menghadapi rezim perburuhan yang mengimani fleksibilitas tenaga kerja.
Kedua, dengan merendahkan massa gerakan Islamis sebagai massa yang hanya termotivasi imbalan, maka kita tidak akan bisa memahami perspektif politik mereka beserta kontradiksi-kontradiksinya. Tidak akan ada diskusi yang dapat berlangsung demokratis dan dewasa jika prasangka ini terus dipertahankan.
Banyak pula yang sebenarnya lebih menentang aksi massa ketimbang Islam politik. Selepas aksi gerakan Islam gelombang pertama pada 14 Oktober 2016, media sosial ribut berhari-hari soal taman-taman yang rusak di sekitar Monumen Nasional. Ini keributan yang sama tidak substantifnya dengan meributkan tumpukan sampah di dekat Istana Negara selepas demonstrasi Hari Buruh.
Beberapa orang yang meributkan taman-taman rusak dekat Monas adalah orang yang diam saja ketika perusahaan-perusahaan tambang merusak pegunungan Kendeng dan bertempik sorak ketika saudara-saudara kita di Papua dibunuhi dengan keji atas nama NKRI. Mereka ini sebenarnya adalah orang-orang yang menggandrungi ketertiban khas fasis. Orang-orang yang alergi terhadap demokrasi jalanan.
Mereka, kelas menengah urban yang sibuk mengecam kemacetan, taman rusak, dan tumpukan sampah selepas demonstrasi, tak pernah merasakan betapa berkomunikasi dengan massa dalam suatu aksi politik jalanan bukanlah perkara mudah.
Sikap alergi terhadap aksi massa semakin tampak ketika banyak yang mencibir aksi anti-Ahok di luar Jakarta dan menjadikan aksi-aksi tersebut sebagai bahan lelucon. Padahal ini sama juga dengan para pendukung Celtic FC yang mengibarkan bendera Palestina di Skotlandia, atau aksi solidaritas terhadap Papua yang digelar di Yogyakarta. Tidak ada yang konyol dari menggelar aksi lintas batas geografis.
Cibiran-cibiran banal terhadap gerakan Islamis mencerminkan ketidaksiapan kita menerima Islam politik sebagai bagian dari pemikiran politik di Indonesia. Padahal suka atau tidak, “Islam politik” sudah menjadi bagian dari pemikiran politik nusantara sejak lama. Jika memang kita siap menerima “Islam politik” sebagai bagian dari khazanah pemikiran politik di Indonesia, maka kita perlu memberikan kritik yang radikal terhadap kotradiksi-kontradiksi gerakan Islamis.
Deradikalisasi yang kerap kali digunakan baik oleh negara maupun kelompok bukan negara sebagai strategi membendung gerakan Islamis bukanlah strategi yang tepat. Untuk apa melakukan deradikalisasi terhadap gerakan Islamis yang memang tidak radikal sama sekali?
Radikal berarti juga mengakar, sehingga bertindak radikal artinya bertindak berdasarkan pamahaman yang mendalam. Mengumbar rasisme tanpa malu-malu dan mengobral tuduhan kafir seperti yang dilakukan gerakan Islamis seperti Front Pembela Islam tidaklah mencerminkan suatu tindakan yang berangkat dari pemahaman mendalam.
Kita sedang melihat gerakan Islamis bingung. Mereka menggelar aksi besar-besaran karena tuduhan penistaan yang kurang meyakinkan dengan barang bukti potongan video dari Facebook. Beberapa kelompok yang menolak demokrasi liberal sebagai produk kafir justru getol turun ke jalan pada momen-momen elektoral seperti sekarang. Hal ini menandakan karakter reaksioner mereka yang tidak punya agenda jelas.
Mereka mendesak Ahok ditangkap oleh polisi Indonesia dan diproses dengan hukum Indonesia. Artinya secara tidak langsung gerakan Islamis mengakui ketundukan mereka pada polisi dan hukum Indonesia yang dalam beberapa kesempatan mereka sebut sebagai sistem taghut. Belakangan banyak kaum Islamis menyerukan semboyan absurd seperti “NKRI bersyariah” dan beberapa kaum Islamis lain bersekutu secara politis dengan seleb Ahmad Dhani yang sudah kenyang dengan kemesuman dunia hiburan. Kita bukan sedang menghadapi gerakan Islamis yang radikal, kita sedang menghadapi gerakan Islamis yang dangkal dan kebingungan. Menanggapi mereka dengan cibiran-cibiran yang dangkal pula tidak akan memperbaiki apa pun.
Dalam situasi sekarang, kita justru membutuhkan gerakan Islam yang radikal. Kita membutuhkan gerakan Islam yang bergerak secara kolektif bersama ummat dengan pemahaman mendalam. Kita membutuhkan gerakan Islam radikal yang menentang Ahok bukan karena agama atau rasnya, tetapi karena kedzhalimannya meremehkan aspirasi rakyat miskin kota yang ia gusur. Kita membutuhkan Islam politik radikal yang bisa berseru lantang “tiada tuhan selain Allah” di hadapan tuhan-tuhan palsu kapitalisme.
Jadi terhadap saudara-saudara kita yang turut pada aksi pada 4 November tak perlu kita mencibir aksi mereka, atau menentang aksi massa mereka yang terbukti memang ampuh dalam kebuntuan demokrasi pasar seperti sekarang. Cukup kita ajukan pertanyaan: sedang apa kalian ketika para Kapitalis dengan rakusnya mengambil hak kelas pekerja dengan cara yang bathil? Bukankah itu menistakan Al-Baqarah ayat 188? Sedang apa kalian ketika perusahaan-perusahaan tambang hendak merusak pegunungan? Tidakkah itu menistakan Al-A’raf ayat 56? [Islam Bergerak]
*Tulisan lama ini pernah dimuat di situs Islam Bergerak pada November 2016