Arya Fernandes sudah mengingatkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikap lebih tegas lagi menindak transparansi aliran dana kampanye dari pengusaha ke calon penguasa di partai politik. Sebab tokoh-tokoh seperti Hary Tanoe, Surya Paloh, Prabowo, dan Tommy Soeharto memang sudah dikenal, namun siapa cukong bisnis di balik layar juga perlu disingkap.
JERNIH-Ketika Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menyerah dalam menangani persoalan kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng, tiba-tiba belakangan, partai-partai politik bisa mendapatkannya dengan mudah dalam jumlah ratusan bahkan ribuan liter, kemudian menjualnya dengan harga murah di kalangan masyarakat.
“Kok bisa ya?” begitu kira-kira pertanyaan seragam yang disodorkan masyarakat luas. Dan sampai saat ini, belum juga ada jawaban pasti. Adanya, cuma dugaan, dugaan dan dugaan.
Jernih akhirnya menelusuri melalui basis pencarian media sosial yang resmi dikelola partai-partai politik penjual minyak goreng murah dadakan. Setidaknya, ada empat partai yang terdeteksi melakukannya dengan harga jual di kisaran Rp 10 ribuan perliter.
Beberapa hari lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melakukan aksi serupa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dengan harga jual eceran Rp 10 ribu perliter. Padahal, harga di pasaran sudan ada di posisi Rp 17 hingga Rp 18 ribu perliter. Banyak yang mempertanyakan dari mana partai ini mendapatkan barang sebanyak ratusan liter dan menjualnya jauh di bawah harga eceran tertinggi yang tidak ditetapkan Pemerintah tersebut.
Ketua DPD PSI Kabupaten Bekasi Muhammad Syahril bilang, pihaknya mendapatkan komoditas itu dengan cara memborong dari 10 pedagang di pasar tradisional yang dibeli secara bergantian dengan harga Rp 17 sampai Rp 18 ribu.
Selanjutnya, melalui cara urunan pengurus, kader dan donasi dari simpatisan, kekurangan sebesar Rp 7 hingga Rp 8 ribu disubsidi partai tersebut. Makanya mereka bisa menjualnya jauh di harga pasaran saat ini.
Syahril juga bilang, setidaknya PSI Kabupaten bekasi sudah menjual hampir 2 ribu liter minyak goreng seharga Rp 10 ribu tiap liternya. Ini berarti, partai tersebut sudah menalangi kewajiban pemerintah mensubsidi komoditas tersebut senilai Rp 16 juta.
“Dan puji syukur alhamdulillah sampai saat ini sudah hampir 2.000 liter kami jual dengan harga subsidi,” kata Syahril.
Di kawasan Pejagalan, Jakarta Utara, PDIP juga sempat menggelar aksi serupa dengan menjual di harga Rp 10.500 tiap liter minyak goreng. Di lokasi lain, partai ini juga mengerahkan kader termasuk Walikota Bandar Lampung, Eva Dwiana untuk mendistribusikan migor di 126 kecamatan.
Sementara Partai NasDem, menggelar operasi pasar pada 24 sampai 26 Februari 2022 di tiga Kabupaten di Sumatera Utara dengan menggelontorkan enam ton minyak goreng dalam 6 ribu kemasan yang dijual murah oleh Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung beserta pasukannya.
Di lain pihak, Partai Demokrat juga tak mau ketinggalan. Wakil Ketua Umum partai yang juga adik kandung dari Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum parpol itu, menggelontorkan 16 ribu liter migor kepada masyarakat di Pacitan, Ngawi, Jawa Timur, untuk dijual seharga Rp 11.500 tiap liternya.
“Kami serap aspirasi masyarakat tidak hanya dari pemberitaan, tapi kami melihat langsung di lapangan bahwa benar mereka merasa kesulitan dan mengeluhkan mahalnya harga kebutuhan pokok, seperti kedelai, lombok (cabai), daging dan yang paling gaduh adalah minyak goreng,” kata Ibas dalam keterangannya pada Rabu (9/3) lalu.
Politis
Analis politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam mengatakan, sah saja parpol menjual minyak goreng dengan harga murah. Namun seharusnya, aksi yang dilakukan lebih dari itu yakni, mengubah kebijakan jika merugikan masyarakat.
Caranya, dengan membentuk panitia khusus di DPR bila punya perwakilan di sana. Dengan begitu, publik bisa tahu sabab musabab masalah dan apa saja kerja Pemerintah dalam menangani persoalan minyak goreng yang sudah terjadi sejak Natal tahun 2021 lalu sampai detik ini.
Kuat dugaan, aksi jualan minyak goreng murah ini lantaran ada motif politik menjelang Pemilu agar parpol mereka dipilih termasuk menjaga kesetiaan pemilihnya.
“Meski demikian kita tentu harus mengapresiasi karena bagaimana pun partai politik harus bekerja di masyarakat dan mereka juga berharap mendapat simpati sehingga mendapat dukungan di Pemilu,” kata dia.
Setiap langkah politisi dan partai politik, selalu dibaca sebagai tindakan politik. Makanya selalu ada motif politik. Sementara Dosen Komunikasi Politik Universitas Telkom Dedi Kurnia Syah menyebutnya, sebagai aksi mengejar publikasi.
Mengutip Tirto, Dedi menilai setidaknya dengan aksi tersebut ada peluang pemberitaan dan membawa dampak kepada pemilih. Dan akan semakin berdampak lagi jika ada pembagian minyak goreng secara cuma-cuma, sebab kalau tetap berbayar punya kesamaan dengan parpol lain.
Meski begitu, lantaran cuma memanfaatkan momentum, dalam upaya menggaet pemilih melalui aksi tersebut, metode ini tak begitu besar dampaknya.
“Hanya saja, dalam kasus ini bisa saja justru publik lakukan perlawanan persepsi, karena kelangkaan minyak bukan bencana yang di luar kontrol negara,” kata Dedi.
Sebab faktanya menurut Dedi, ketika minyak goreng langka bagi masyarakat umum, tapi tidak bagi parpol dan mulai dari sini perlawanan tadi bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada Pemerintah hingga menurun ke parpol mitra koalisi.
Lebih jauh lagi, dengan memainkan momen kelangkaan minyak goreng malah menjadi pencitraan buruk bagi partai yang melakukan aksi tadi. Sebab meski menikmati manfaat dari harga migor murah, tak ada simpati terhadap parpol dari publik.
“Meskipun lebih banyak masyarakat yang menerima manfaat operasi, tidak lantas mereka simpatik karena ada pemahaman jika masalah ini karena gagalnya kebijakan dan kerja pemerintah, di mana mitra koalisi adalah bagian dari pemerintah itu sendiri,” kata Dedi.
Makanya, meski membagikan minyak goreng secara cuma-cuma sekalipun belum tentu menguntungkan secara politik, apalagi berbayar.
Kongsi Parpol dan Perusahaan
Di lain pihak, pegiat media sosial Nico Silalahi malah mengatakan kalau kelangkaan minyak goreng lantaran ada praktek main mata antara partai politik dengan perusahaan produsen komoditas itu. Pernyataan ini, keluar setelah sebelumnya Kementerian Perdagangan juga mengatakan bahwa kelangkaan barang akibat masyarakat membeli melebihi kebutuhan.
Soalnya, menurut Didid Noordiatmoko, Irjen Kemendag, tingkat produksi migor di kalangan produsen masih berjalan dengan seharusnya dan sudah memenuhi kebutuhan domestik. Akhirnya, masyarakatlah yang dituduh melakukan penimbunan di rumahnya masing-masing.
Akibat pernyataan Kemendag itu, Nico pun mengeluarkan komentar di akun Twitter-nya yang sebaiknya tak ditampilkan di sini. Dia bilang, pernyataan pejabat itu sangat bertolak belakang dengan kondisi nyata di kalangan masyarakat. Jangankan menimbun, untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit didapatkan.
Dengan maraknya parpol menggelar operasi penjualan minyak goreng dengan harga murah bahkan dibagikan cuma-cuma, Nico curiga kalau penimbun sebenarnya adalah perusahaan yang berkongsi dengan partai politik.
“Yang nimbun itu perusahaan dan Partai Politik, ia ga sih ?” ujar Nicho.
Soalnya, dia juga bilang, ketika konglomerat penguasa perkebunan kelapa sawit raksasa disubsidi Rp 7,5 triliun, hasilnya adalah kelangkaan minyak goreng di pasar domestik.
Benarkah seperti itu?
Dari hasil penelusuran Jernih, sepanjang Januari hingga September 2017, disebutkan bahwa lima perusahaan sawit raksasa mendapat suntikan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebanyak Rp 7,5 triliun. Mereka antara lain, Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company.
Wilmar Group, disebut-sebut kebagian subsidi sebanyak Rp 4,16 triliun. Padahal, setoran yang diberikan perusahaan ini kepada negara cuma senilai Rp 1,32 triliun.
Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden nomor 24 tahun 2016 tentang penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit, pada pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa dana itu diperuntukkan bagi pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan perkebunan sawit, promosi, peremajaan tanaman dan prasarana perkebunan sawit.
Sementara pada ayat 2 dijelaskan bahwa penggunaan dana itu juga diperuntukkan bagi kebutuhan pangan, hilirisasi industri dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Dan ayat 3 menyatakan kalau BPDPKS dapat menentukan prioritas penggunaan dana berdasar program pemerintah dan kebijakan Komite Pengarah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada waktu itu mengeluarkan peringatan bahwa, penggunaan dana yang berlebihan bagi perusahaan biodiesel bisa menimbulkan ketimpangan dalam pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit. Sebab nilai subsidi tak sebanding dengan setoran yang diberikan perusahaan-perusahaan penikmat subsidi.
KPK menyebutkan, Darmex Agro Group menerima subsidi Rp 915 miliar dengan setoran cuma Rp 27,58 miliar. Musim Mas dapat Rp 1,54 triliun tapi setorannya Rp 1,11 triliun. First Resources kebagian Rp 479 miliar dan setorannya hanya Rp 86,95 miliar dan LDC dijatahi Rp 410 miliar dan setorannya RP 100,30 miliar.
Dengan begitu, selisihnya sangat besar sekali. Dari Wilmar Group saja ada selisih Rp 2,84 triliun antara subsidi dan setoran yang diberikan.
Dono Boestami, Dirut BPDPKS tak terima jika dikatakan bahwa dana yang diterima perusahaan-perusahaan itu sebagai subsidi. Dia bilang, yang penting diperhatikan adalah siapa penikmat biodiesel yakni, masyarakat. Karena biodiesel juga dibeli PLN dari Pertamina.
Sementara terkait selisih kelewat besar antara subsidi dan setoran yang diberikan, Wilmar Group menampiknya. Menurut MP Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, subsidi yang didapat tetap berdasar jumlah penjualan produk turunan minyak sawit sebagai campuran solar.
Master Parulian Tumanggor, adalah seorang politikus yang oernah menjabat sevafai Bupati Dairi ke 18 dari tahun 1999 sampai tahun 2009. Sebelum jadi Bupati, dia pernah duduk sebagai pejabat Eselon II di Kantor Menteri Negara BUMN.
“Wilmar dapat bayaran sejumlah FAME yang dijual ke BPDP. Bahkan bisa terjadi nilai dana pungutan yang kami bayarkan ke BPDP lebih besar dari dana yang kami dapatkan dari penjualan Fame ke Pertamina,” ujarnya pada Rabu 17 Januari 2016 lalu.
“Harus bisa bedakan perusahaan eksportir CPO dan turunannya dengan perusahaan produsen biodiesel,” katanya melanjutkan.
Pengusaha Berkuasa
Sejak Pemilu tahun 2004, dunia politik di Indonesia menurut Ubedilah Badrun, pengamat politik Universitas Negeri Jakarta, sudah bergeser dari politik nilai menjadi politik pragmatis sehingga ranah ini menjelma menjadi industri baru. Pemilik modal, dikatakan mendapat ruang untuk mendirikan partai politik.
Ketika menjadi sebuah industri, maka proses kapitalisasi antara pemilik modal dan kader partai akan mendorong untuk mengincar tiga keuntungan besar. Pertama benefit berupa akses terhadap kekuasaan. Kedua, terakomodasinya kepentingan bisnis dalam regulasi yang diproduksi di lembaga legislatif. Ketiga, keuntungan kemudahan akses dan kepastian dijalankannya regulasi yang menguntungkan oknum.
Di lain pihak, Arya Fernandes, pengamat politik dari Charta Politica menyebutkan, dalam memetakan adanya para pebisnis di dalam partai politik, bisa dilihat dari tiga pola.
Pertama, adalah pola pebisnis menjadi donatur satu partai tunggal. Kedua, pebisnis menjadi donatur beberapa partai sekaligus, dan kemudian pebisnis menciptakan partai itu sendiri.
Pola pertama dapat dilihat dari diangkatnya Oesman Sapta Oedang sebagai ketua umum Partai Hanura. Oesman sendiri merupakan pemilik dari konglomerasi OSO Group yang didalamnya terdapat PT Citra Putra Mandiri, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang agro bisnis, kelapa sawit, perikanan, properti hotel, tambang nikel, bauksit, batubara, perusahaan sekuritas, percetakan hingga penanganan bandara dan transportasi udara.
Masuknya Oesman ke dalam Hanura pada waktu itu, menurut Arya lantaran mendirikan partai baru sangat sulit meski dia berlatar sebagai pengusaha besar. Sebab harus ada perizinan, kaderisasi, dan keuangan. Jadi lebih baik mencari partai yang sudah eksis.
Selanjutnya, terkait pola kedua soal donatur, sulit sekali diidentifikasi sebab tak ada transparansi sumber dana parpol. Makanya, donasi dalam jumlah besar dari satu nama ke berbagai partai tak bisa dideteksi, meski ada kesan oportunis bagi sang penyumbang.
Menurut Ubedilah, cara terbaik untuk melihat pola ini bisa diselidiki melalui arah pembahasan Rancangan Undang-Undang APBN. Misalnya, dilihat partai mana saja yang ketika pembahasan memperjuangkan nomenklatur anggaran tertentu.
Sedangkan untuk pola ketiga dapat dilihat dari kisah dibangunnya partai Nasional Demokrat oleh Surya Paloh, Partai Gerindra oleh Prabowo Subianto, Partai Perindo oleh Hari Tanoesoedibjo dan Partai Berkarya dengan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.
Terkait efektifitas pebisnis di parpol, bisa dilihat dari besaran nilai sumbangan dan kontribusi tokoh pada partai politik. Sebab pengaruh langsung dari posisi para tokoh ini, bisa mengarahkan suara ribuan pegawai yang bekerja di bawah bendera perusahaan miliknya. Dan jangan lupa, penggunaan media massa mainstream maupun non mainstream sering dijadikan media kampanye.
Hary Tanoe Soedibjo dan Surya Paloh misalnya, dua tokoh pengusaha yang memiliki parpol Perindo dan NasDem ini punya kemudahan akses ke media massa sebab memiliki Metro Tv dan MNC Group.
Sementara Prabowo Subianto, sebelum mendirikan Gerindra diketahui memiliki perusahaan bernama Nusantara Group yang membawahi 27 perusahaan di dalam dan luar negeri.
Perusahaan-perusahaan yang dimiliki Prabowo bergerak di bidang perkebunan, tambang, batu bara, dan kelapa sawit. Sedangkan mantan adik iparnya yang juga putra bungsu presiden RI kedua yakni Tommy Soeharto, merupakan pemimpin dari grup Humpuss, yang bergerak di bidang Pengiriman, Perdagangan Udara, Pertambangan dan Pertambangan, Perdagangan dan Distribusi Minyak, Perdagangan Hasil Pertanian dan Produk, Petrokimia, Properti, Aset dan Manajemen Portofolio. Dia, diketahui mendirikan Partai Berkarya.
Arya Fernandes sudah mengingatkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikap lebih tegas lagi menindak transparansi aliran dana kampanye dari pengusaha ke calon penguasa di partai politik. Sebab tokoh-tokoh seperti Hary Tanoe, Surya Paloh, Prabowo, dan Tommy Soeharto memang sudah dikenal, namun siapa cukong bisnis di balik layar juga perlu disingkap.
Tapi, apa mampu KPU melalukan ini sebab para anggotanya juga dipilih para perwakilan parpol di Parleme yang notabene-nya sudah dimandatkan partainya yang bisa saja mendapat sokongan dari pengusaha dengan keengganan ada penyingkapan?
Kalau tidak, soal minyak goreng dan komoditi pokok lainnya ya bakal begini-begini terus.[]