Menemukan Spirit Asli Buku Lawas
Salah satu semangat itu ialah justru kaum Muslim yang mencita-citakan Indonesia merdeka, menjadi negara berdaulat, memberdayakan bangsa. Tentu ironik dan salah bila ada yang menyatakan gerakan Islam Indonesia sekarang ingin memisahkan dari negara yang sah atau malah punya agenda ingin mendirikan negara baru.
Oleh : Anwar Holid*
JERNIH—Pada Ahad (13/2) lalu aku ikut kajian bakda subuh di Masjid Raya Bintaro Jaya (MRBJ). Topiknya: “Pergerakan Muslim 1900-1942 di Indonesia”. Pembahasnya Agung Waspodo, MPP.
Beliau secara khusus membahas buku sumber kajiannya, yaitu “The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942”, tulisan alm Deliar Noer. Ini buku lawas. Edisi pertamanya terbit tahun 1973. Versi terjemahannya: “Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942”. Subjeknya tentang gerakan Islam Indonesia dikaitkan dengan kolonialisme, kebangsaan, dan nasionalisme.
Untuk pembanding, Agung Waspodo mengutip dua buku lain, yaitu “Tradisi Pesantren” (Zamakhsyari Dhofier) dan “Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia 1596-1942” (Karel Steenbrink). Selain itu, dia juga sekilas menyebut buku “Jaringan Ulama” (Azyumardi Azra).
Awalnya aku kira Agung Waspodo akan lebih banyak mengungkapkan pikirannya sendiri, tapi dia ternyata memang sengaja banyak mengutip buku karya Deliar Noer itu, ditambah kritik dan paparan dari buku lain agar pemikiran Deliar tidak terasa terlalu subjektif dan konteksnya bisa dipahami lebih baik.
Begitu tahu yang dibahas ialah buku lawas, aku membatin: pasti ada hal khusus kenapa buku itu dipilih dan dibahas. Apa karena para peserta kajian kebanyakan belum baca buku itu, sehingga sekarang perlu dikasih tahu ada buku penting yang perlu dikaji?
Atau ada isu penting yang bisa dicari akarnya di buku tersebut. Misalnya, awal bangkitnya kesadaran berbangsa dan bernegara kaum Muslim di Nusantara seiring dengan perkembangan pesantren maupun organisasi yang dijalankan oleh para ulama waktu itu — ketika nama “Indonesia” belum ada, sementara kolonialisme sangat otoriter dan sangat jahat terhadap kaum Muslim.
Agung waspodo menyampaikan topik secara tenang. Dia menuliskan poin pemikiran, lantas mengomentari secukupnya. Dia tidak tampil a la booktuber yang berusaha atraktif membandingkan satu buku dengan buku lain atau mengupas isi buku lantas menyebutkan alasan kenapa buku ini penting, menarik, atau perlu dibaca ulang agar gerakan Islam Indonesia terus punya benang merah dan mewarisi semangat yang sama dengan para pendahulunya.
Salah satu semangat itu ialah justru kaum Muslim yang mencita-citakan Indonesia merdeka, menjadi negara berdaulat, memberdayakan bangsa. Tentu ironik dan salah bila ada yang menyatakan gerakan Islam Indonesia sekarang ingin memisahkan dari negara yang sah atau malah punya agenda ingin mendirikan negara baru.
Mendengarkan buku lawas dibahas membuatku berpikir: ternyata menarik membaca dan membahas ulang sari pemikiran dari buku yang disiapkan dengan sungguh-sungguh.
Buku Deliar Noer itu berasal dari karya akademik. Tentu bukan jenis buku yang bisa selesai ditulis dalam 6-7 hari. Belum lagi harus dikuatkan dengan penelitian, data, wawancara, argumen, banyak kunjungan ke berbagai tempat, diperkaya oleh banyak rujukan…. Pasti berat dan ribet energi yang harus beliau siapkan hingga akhirnya menghasilkan sebuah adikarya. Adikarya saja bukan berarti tidak punya celah buat dikritik.
Justru di situ poin pentingnya: buku lawas — dan karya apa pun yang baik — bisa dibahas lebih baik kala menemukan lagi momentumnya. Kita bisa melakukan review atau kajian ulang. Itu sebabnya media menyediakan “retrospective review”atas karya lawas, baik buku, album musik, film, juga fenomena dan gerakan sosial. Orang bisa menemukan hal baru di situ. Karya lama tetap punya pengkaji dan pasarnya. Apalagi jika itu karya langka dan dicari-cari — bahkan ada yang akhirnya terpaksa membeli versi bajakannya.
Contoh ada karya yang dulu dianggap gagal ternyata setelah dinikmati, diteliti ulang, dimaknai dengan semangat baru — atau mungkin “digoreng” — nilainya bisa jadi tiada tara dan sebagian khalayak tersadar betapa ada karya penting yang selama lepas dari radar dan terabaikan.
Mungkin yang perlu diperhatikan kala membahas karya lawas ialah cara menyampaikannya agar lebih menarik dan nyambung dengan kondisi kekinian. Membaca ulang perlu berusaha menemukan spirit aslinya. Tentu ini perlu persiapan khusus. Kala seorang barista berusaha meracik kopi hingga mampu mengeluarkan cita rasa khas terbaik bijinya, lantas disajikan begitu indah dan menggugah selera. Kemampuan itu seperti langsung membuat kopi tubruk jadi terasa kuno — kecuali kalau kita tak punya cara lain dan lebih suka menikmati begitu saja secara sederhana.[ ]
*Anwar Holid, kerja sebagai editor. Blog: http://halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.