SolilokuiVeritas

Mengelola Sampah; Mau Mulai dari Mana?

Almarhum Lendo Novo, konseptor sekolah alam yang saat itu menjadi staf khusus Menteri BUMN, di tengah acara formal, dengan santainya memungut sampah. Dikantongi, lalu dimasukkan ke tempat sampah. Begitu juga saat kami dan rombongan ke Jepang dalam rangka belajar lingkungan. Profesor Hattori Mina dari Nagoya University, yang menjadi partner kami tanpa sungkan membawa kantong sampah dan keliling di dalam bis untuk mengumpulkan sampah dari para penumpang. “Gomi…gomi…please….”

Oleh : Kunti Indra K*

JERNIH– Membahas sampah seringkali dilakukan dengan perspektif bahwa ada obyek/benda yang mengganggu kehidupan manusia sehingga benda tersebut harus diolah dan dimusnahkan. Kemudian muncullah beragam metode dan . Mulai dari yang sederhana dengan dibakar sampai diolah dengan teknologi menjadi energi.

Kita lupa, bahwa sampah itu hasil dari kegiatan manusia. Baik itu pribadi, rumah tangga maupun industri. Semuanya tergantung bagaimana manusianya. Sehingga mengelola sampah sesungguhnya adalah mengelola perilaku manusia. Masalah paling hulu dari persoalan sampah adalah perilaku manusia.

Karena itu menyelesaikan masalah sampah harus dimulai dari membangun kesadaran bahwa sampah itu berasal dari aktivitas diri manusia. Maka setiap manusia harus bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan. Baik sebagai pribadi maupun profesi. Entah itu guru, sopir, lawyer, artis, tentara, polisi ataupun politisi.

Dari kesadaran itulah kemudian ditumbuhkan kebiasaan-kebiasaan untuk peduli akan sampah. Dimulai dari aktifitas kecil yang paling sederhana yaitu tidak membuang sampah sembarangan. Kemudian meningkat dengan memilah sampah, lalu bahkan berfikir mengolah sampah. Lebih maju lagi dengan melihat peluang bisnis dari sampah itu sendiri.

Kesadaran dan kepedulian yang menjadi kebiasaan individu itu akan berkembang pada tingkat rumah tangga, lingkungan dan bahkan negara. Semakin banyak orang yang sadar, peduli dan memiliki kebiasaan mengurus sampah. Itulah yang dinamakan budaya.

Tentu tidak mudah membangun budaya itu. Kuncinya ada pada proses pendidikan. Mulai dari balita sampai akil baligh. Ketika kami dan teman-teman guru memulai bank sampah di sekolah, banyak muncul pertanyaan bernada protes.
“Kok anak kami dididik jadi pemulung?”
“Bukannya belajar, kenapa malah disuruh bawa sampah dari rumah?”
“Wah, ini tidak standar internasional.” Dan banyak lagi.

Perlahan, sambil terus membangun kesadaran di kalangan orang tua, program itu jalan terus. Anak-anak lebih mudah mengerti. Dan mulai menikmati prosesnya. Sekarang, sudah biasa pemandangan anak-anak turun dari mobil-mobil mewah dengan bangga dan gembira membawa potongan kardus, bekas botol air mineral, kertas sisa, plastik bekas makan dan lain-lain. Mereka timbang di bank sampah, hasilnya berupa tabungan. Kecil memang, tapi Insya Allah bermakna. Doa kami kelak ketika mereka dewasa dan menjadi pemimpin, pengalaman ini tetap melekat dan menjadikan mereka terus konsisten untuk peduli lingkungan.

Ini hal kecil membangun kesadaran dan kebiasaan. Ada orang tua siswa cerita, bagaimana anaknya marah besar saat melihat dia membuang karcis tol sembarangan. Tapi dia bangga dimarahi. Baginya, perubahan karakter ini jauh lebih penting daripada sekedar capaian akademik. Yang lain juga sampaikan bahwa anaknya sudah merapikan sendiri bekas bungkus makanan di restoran. Untuk dibawa pulang, dipilah dan diserahkan ke bank sampah. Perilaku itu kadang terlihat aneh untuk anak usia SD.

Suatu ketika, almarhum Lendo Novo, konseptor sekolah alam yang saat itu menjadi staf khusus Menteri BUMN di tengah acara formal, dengan santainya memungut sampah. Dikantongi, lalu dimasukkan ke tempat sampah. Begitu juga saat kami dan rombongan ke Jepang dalam rangka belajar lingkungan. Profesor Hattori Mina dari Nagoya University, yang menjadi partner kami tanpa sungkan membawa kantong sampah dan keliling di dalam bis untuk mengumpulkan sampah dari para penumpang. “Gomi…gomi…please….”

Awalnya terasa aneh dan membuat kami sungkan. Tetapi sesudah melakukan riset dan akhirnya banyak melakukan kerja sama pendidikan dengan Jepang, kami berkesimpulan bahwa kunci sukses pengelolaan sampah di Jepang adalah budaya manusianya. Yang dibangun dari proses pendidikan yang panjang. Dari proses pendidikan inilah dihasilkan konglomerat, menteri, jenderal, gubernur dan presiden. Bayangkan kalau mereka semua berkarakter peduli lingkungan.

Tentu yang paling populer adalah perilaku yang ditunjukkan suporter sepakbola Jepang. Di manapun bertanding, selalu membawa kantong sampah. Datang bersih, kembali bersih. Dan mereka melakukan dengan ceria dan ketawa. Bukan beban sama sekali. Luar biasa.

Tentu Jepang tidak perlu diragukan soal teknologi. Kami bahkan melihat lokasi incinerator sudah seperti mall bertingkat. Namun Jepang paham, kunci teknologi ada di pemilahan. Yang itu dilakukan di hulu. Baik rumah tangga maupun industri. Bukan dikumpulkan di TPA seperti di sini, baru kemudian dipilah oleh pemulung. Pemilahan adalah proses individu yang sulit digantikan oleh mesin/teknologi. Sehingga kesadaran dan kepedulian individu menjadi faktor penting dalam proses pemilahan.

Di sini, sudah banyak juga teman-teman penggiat yang peduli lingkungan. Baik dari generasi senior seperti Prof. Emil Salim sampai ke anak-anak muda sekarang dengan gerakan yang kreatif semacam waste4cange, armada kemasan, e-waste dan sebagainya. Juga oleh birokrat seperti bupati Banyumas dan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang sangat peduli lingkungan. Gerakan ini semakin membesar. Di dunia pendidikan nasional juga dulu ada program Adiwiyata. Entah sekarang.

Senang mendengar pemerintah akan membentuk Satgas untuk mengelola sampah. Mari dimulai dari yang paling hulu, yaitu membangun perilaku manusia yang peduli sampah. Mulailah dari pendidikan. Ganbatte! []
*Edulandscaper, guru Sekolah Alam Cikeas, co-founder Guru Bumi dan pengurus Lendo Novo Foundation

Back to top button