Mengenang 6 Juni, ‘Hari Kemerdekaan’ Jawa Barat
Sejak hari itu rakyat Jawa Barat kembali merasa aman dan nyaman. Bisa menikmati malam-malam di rumah, tanpa harus sembunyi dalam bewak dengan risiko dipatuk ular atau mengisap bau sengak orang tak cebok.
Oleh : Usep Romli H.M.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, memang 17 Agustus 1945. Tapi bagi rakyat Jawa Barat, ada “hari kemerdekaan” lain, yaitu 4 Juni 1962, ketika warga Jawa Barat terbebas dari gangguan keamanan bersenjata yang berlangsung sejak tahun 1949.
Waktu itu, 7 Agustus 1949, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo memproklamasikan “Negara Islam Indonesia” di Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis. NII disebut “Darul Islam” (Negara Islam). Sedangkan Republik Indonesia dituduh “Darul Harbi”, negara musuh karena menggunakan dasar negara bukan Islam. Maka wajib diperangi, dimusnahkan. Jika ingin selamat, penduduk RI harus pindah ke NII, yang disebut “Darussalam” (Negara Keselamatan).
Untuk melaksanakan cita-citanya, Darul Islam membentuk pasukan “Tentara Islam Indonesia” (TII). Terjadilah bentrok selama 13 tahun terus-menerus, antara TNI dibantu rakyat, dengan TII yang sering menyerang ke kampung dan desa. Membakar rumah, membunuh penduduk sipil dan merampas harta benda.
Salah satu daerah terparah oleh serangan DI/TII, adalah Desa Cibugel, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang tahun 1959. Lebih dari seratus penduduk setem-pat terbunuh secara kejam.
Sejak “gorombolan” (sebutan untuk pasukan DI/TII), meranjah perkampungan dan perdesaan Tatar Sunda, timbul bermacam rumor sarkastis, yang menggambarkan kepedihan penduduk, derita hidup di bawah ancaman peluru. Yang berperang adalah TNI melawan DI/TII, tapi yang menjadi korban, pasti rakyat kecil. Ibarat gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Yang berseteru karena perbedaan ideologi negara, adalah Bung Karno (Ir.Soekarno, presiden RI), melawan Mas Karto (SM Kartosuwiryo, Imam/Panglima Tertinggi DI/TII), tapi yang menjadi korban adalah Mang Karna dan Kang Karta, orang pedesaan lugu sederhana yang tak tahu apa-apa.
Juga muncul istilah “Kongres”. Singkatan dari “ka hareup nyokong, ka tukang beres”. Artinya, kepada tentara (RI) membantu, kepada “gorombolan” pun, membantu pula. Jika tidak begitu, tewaslah sudah. Jika menampakkan wajah merengut ketika ada TNI patroli, pasti dituding sebagai antek DI. Jika kikir tak memenuhi permintaan DI, berupa “fa’i” (iuran wajib), pasti akan dianggap pro-TNI. Maka terpaksalah pasang “dua wajah”. Siang membantu TNI, malam mendukung DI.
Jika malam hari ada “gorombolan” menyerang, rakyat harus siap-siap menghindar. Tinggalkan rumah. Bawa barang seperlunya, seperti pakaian. Masuk ke dalam “bewak”. Yaitu lubang cukup besar, sedalam kurang lebih 1,5 meter, letaknya tersembunyi, agak jauh dari rumah. Di satu kampung, biasanya ada empat atau lima bewak. Begitu terdengar bunyi tembakan pertama, langsung orang-orang kampung berhamburan masuk “bewak” terdekat.
Di situ terbilang aman, daripada sembunyi di rumah. Siapa tahu rumah dibakar. Atau ada peluru nyasar menembus dinding yang rata-rata terbuat dari anyaman bambu alias “bilik”.
Tidak terpikir kemungkinan ada “gorombolan” menyerang “bewak”. Sebab belum pernah ada kejadian semacam itu. Mungkin ”gorombolan” terlalu sibuk bertempur dengan tentara. Atau sibuk mengumpulkan “ghonimah”, hasil rampasan dari penduduk. Sehingga tak terpikir di benak mereka untuk menyerang “bewak”.
Justru pernah terjadi, orang meninggal di dalam bewak bukan karena terkena peluru nyasar. Melainkan dipatuk ular belang. Persis bagian pahanya. Mengerang kesakitan semalaman, tanpa ada yang mampu menolong. Bagaimana dapat menolong? Di luar sana baku tembak sedang berkecamuk. Apalagi tak seorang pun tahu ada yang dipatuk ular. Maklum gelap gulita dan semua orang mencoba “ngadedempes”. Tak ada yang berani bicara sepatah katapun selain bunyi bibir membaca do’a dan wirid agar selamat mendapat perlindungan Allah SWT.
Pagi-pagi baru ketahuan, korban meninggal. Ular belang yang mematuknya masih menempel di paha korban.
Ada pula kejadian menggelikan sekaligus meyebalkan. Semua orang berloncatan ke dalam bewak karena tiba-tiba ada serangan mendadak. Beberapa jenak kemudian, di tengah bau kepulan mesiu dan benda hangus terbakar dari rumah-rumah yang mulai menyala-nyala, tercium bau kotoran manusia. Menyengat sumbernya dekat, semua sibuk, bertanya-tanya dengan bisik-bisik. Mempertanyakan bau itu.
Akhirnya ada yang mengaku.Seorang lelaki separuh baya. Ia sedang jongkok di “pacilingan” (WC sederhana di atas kolam), ketika tembakan pertama berbunyi. Tanpa ingat apa-apa, termasuk cebok. Langsung saja lari ke “bewak”.
Derita warga Jawa Barat baru berakhir setelah gorombolan bertekuk-lutut menghadapi gerakan Operasi Barata Yudha Divisi Sliwangi. Menurut buku “Siliwangi dari Masa Ke Masa” (1970), Operasi Barata Yudha melibatkan warga sipil untuk turut serta “Pager Bitis”. Gerakan pengepungan total. Sebuah kerja sama yang indah dan harmonis antara rakyat dengan Divisi Siliwangi dalam memulihkan keamanan di Jawa Barat. SM Kartosuwiryo berhasil ditangkap hidup-hidup di Gunung Rakutak, Majalaya, 6 Juni 1962, oleh pasukan Batalyon 328/Kujang 2 Siliwangi, pimpinan Letda Suhanda.
Sejak hari itu rakyat Jawa Barat kembali merasa aman dan nyaman. Bisa menikmati malam-malam di rumah, tanpa harus sembunyi dalam bewak dengan risiko dipatuk ular atau mengisap bau sengak orang tak cebok.
Kegembiraan warga ditunjukkan dengan penyelenggaraan “pesta rakyat” spontan. Pawai dadakan di jalan-jalan, diiringi aneka macam tabuhan : kendang, dogdog, angklung, tarompet, tambur dan segala macam bunyi-bunyian. Luapan kegembiraan dengan teriakan “Geus aman! Lembur geus aman!”.
Pesta “6 Juni” berlangsung hingga datang pesta “Agustusan”. Merayakan peringat-an proklamasi kemerdekaan ke-17 RI. [ ]