Menghidupkan Rasulullah dalam Kalbu, Sedalam Cinta Nabi Kepada Kita
Betapa murninya terpelihara rasa rindu itu saat kita bersendiri di tengah malam yang melelapkan banyak orang, tiba-tiba kita rasakan. Kerinduan yang tak terbendung, yang membuat kita ingin sekali menghadirkan Rasulullah di bilik kalbu setiap saat.
JERNIH—Cuaca di Madinah terasa pekat oleh panas. Angin yang melintas gurun tak sedikit pun membawa uap air, kering membuat gerah. Angin itu terkadang berembus keras, menimbulkan suara siuran bagai gumam tangis kesedihan.
Tetapi suasana hening di Masjid Nabi benar-benar merisaukan banyak orang. Sebuah keheningan yang mencekam! Celakanya, hal itu berlangsung tidak sebentar. Detik ke detik seperti hendak menggerogoti kesabaran dan menikam hasrat ingin tahu manusia-manusia yang hendak memfokuskan pikiran mereka kepada satu figure yang duduk bagai hamba sahaya tanpa mempedulikan kegelisahan orang-orang di sekelilingnya.
Ini sebuah siksaan. Sementara kita bertanya-tanya terhadap sebuah gejala di hadapan mata, sang sumber jawaban membisu bagai patung kaca. Keringat mengalir dari bibir pemilik yang rasanya ingin sekali membuka.Apakah akan timbul kemarahan andai kebisuan ini dipecah dengan sebaris pertanyaan? Akhirnya kesabaran itu jebol dan runtuh. Seseorang memberanikan diri bertanya untuk mengusik sang junjungan.
“Wahai Rasulullah, apakah yang tengah engkau pikirkan? Kami semua merasa sedih melihat keadaan engkau seperti ini. Seolah-olah ada yang mengusik ketenangan kalbumu, ya Rasulullah..”
Yang ditanya segera mengubah cara duduknya. Kini yang tampak adalah figur pemimpin besar yang sederhana. Betapa kecil sesungguhnya perbedaan ini bila dibandingkan figure sebelumnya yang duduk mengiba seperti seorang hamba sahaya. Dan lihatlah matanya yang buram. Bahkan ada genangan air yang tak dapat disangkal lagi sebagai air mata lambang kedukaan.
“Kalian tentu tak tahu apa yang pada hari ini mengusik hatiku.”
Para sahabat yang selalu setia duduk bersama rasulullah sama-sama mengganggukkan kepala. Bahkan ada yang menahan nafas lantaran sebentar lagi bakal mendengar jawaban yang dalam menit-menit sebelumnya amat mereka tunggu-tunggu.
“Aku sedang memikirkan saudaraku. Hari ini aku sangat merindukan mereka.” Ucapan itu keluar dari bibir Rasulullah satu-satu, sehingga tak satu patah kata pun terlewat dari kuping para sahabat. Dan ucapan “aku sangat merindukan mereka” keluar dengan perasaan sedih yang dalam dan berat sehingga membuat beberapa sahabat mulai terisak-isak, bahkan ada yang langsung mencucurkan air mata karena tak kuasa lagi membendungnya.
“Tapi,” kata para sahabat yang duduk paling dekat dengan Rasulullah membuka mulutnya. “Bukankah kami ini saudaramu ya Rasulullah? Bukankah Islam mengikat ikrar persaudaraan itu? Nah, sekarang kami berkumpul di sini,ya Rasulullah. Bagilah kerinduan itu untuk kami reguk bersama.”
“Kalian memang saudaraku. Bahkan kalian adalah sahabat-sahabatku. Segala suka dan duka kita bagi bersama. Setiap ada masalah kita rembukkan bersama. Setiap ada kendala kita hadapi dengan hasil musyawarah. Dan hal seperti ini tak akan terjadi atas saudara-saudaraku kelak.”
“Lalu siapakah mereka, ya Rasulullah?”
“Mereka adalah umat Islam yang lahir dan hadir di atas permukaan bumi ini jauh hari setelah kepergianku. Mereka tak pernah mengenal siapa aku. Hanya lewat bibir-bibir ulamalah mereka sedikit-sedikit memahami perwujudanku sebagai rasul mereka. Tetapi mereka dengan patuh dapat menanamkan rasa cintanya terhadapku. Mereka bangun, mereka tidur, mereka makan, mandi, berpakaian, berbicara dan sebagainya dengan tak pernah mengabaikan cara-cara yang aku lakukan saat ini. Wahai sahabat-sahabatku. Betapa suci hati mereka. Betapa tinggi loyalitas mereka terhadap ikrar keislaman yang mereka ucapkan saat menyebut kalimat syahadat yang dua, yakni mencintai aku setelah mencintai Allah yang menjadikan mereka dan semua alam ini. Inilah yang membuat aku rindu. Rindu yang parah sekali. Keterharuan membayangkan kepatuhan yang tanpa pamrih seperti itu…”
Ucapan Rasulullah yang tersendat-sendat itu akhirnya hilang sama sekali tertelan tangis. Semua yang mendengarkan ikut menangis. Mereka begitu paham dengan apa yang telah, bahkan yang belum terkatakan oleh Nabi junjungannya. Rindu itu pun pecah di dalam masjid yang tadinya hening.
Dan ternyata kerinduan inilah yang diwariskan Rasulullah kepada umat Islam hari ini. Siapa pun akan merasakan perasaan yang sama denagn perasaan para sahabat berabad-abad silam. Siapa pun tak bakal sanggup membendung air matanya bila kerinduan itu muncul. Inilah ciri manusia beriman. Manusia yang telah mendarahdagingkan kalimat tayyibah, laa illa ha ilallah, Muhammad rasulullah, sebagai bukti otentik keislamannya.
Memang Islam dibangun di atas fondasi kalimat tersebut. Mencintai Allah dan mencintai Rasul. Barulah kemudian Allah memberikan penekanan yang lebih tegas tentang tokoh panutan bagi kita yang mengaku umat Islam, misalnya dalam Surat Ali Imran yang berbunyi:
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.”
Dengan demikian jelaslah bahwa mencintai Muhammad SAW berarti mencintai manusia pilihan Allah. Merindukan Rasulullah samalah artinya dengan merindukan ridla Allah.
Dan dalam hari-hari berikutnya Rasulullah selalu berupaya semaksimal mungkin untuk memikirkan umatnya. Dilakukannya perjalanan dari rumah ke rumah. Dikhotbahinya suku-suku dari luar Mekkah yang setiap tahun berhaji di tanah kelahirannya itu. Dibinanya akhlak para sahabat sehingga melahirkan generasi andal yang hingga sekarang selalu dijadikan panutan. Dan pada detik-detik terakhir kehidupannya pun Rasulullah tetap merindukan umatnya dengan seruan yang terputus-putus lantaran nafasnya semakin pendek karena ditarik perlahan-lahan oleh Malaikat Maut: “Umatku…u..mat…ku…”
Kita tersentak. Betapa murninya terpelihara rasa rindu itu saat kita bersendiri di tengah malam yang melelapkan banyak orang, tiba-tiba kita rasakan. Kehidupan Rasulullah sangatlah bersahaja. Pengabdiannya kepada Allah yang tak terhingga. Semua menerbitkan rasa rindu tak terperi. Wahai, adakah pemimpin yang demikian di masa ini?
Kerinduan yang tak terbendung membuat kita ingin sekali menghadirkan Rasulullah di bilik kalbu setiap saat. Rindu akan bimbingannya. Maka rasulullah yang sungguh bijaksana jauh-jauh hari semasa hidupnya telah memberikan metode bagi umat terkemudian yang tak bisa lagi bertegur sapa dengannya di muka bumi ini melalui sebuah hadits:
“Barang siapa menegakkan sunnahku pada suatu masa yang kacau, berarti dia telah menghidupkan daku di hatinya. Dan untuk itu ia wajib memperoleh pahala serratus syahid.”
Masya Allah! Betapa rindunya kita akan berbuat demikian… [ ]
Dari “Hikmah Ketulusan” KH Abdurrahman Arroisi, PT Remaja Rosdakarya, 1990, dengan sedikit perubahan.