
Pernyataan, sikap, langkah dan kebijakan yang dijalankannya jelas bukan sekedar menjalankan pemerintahan untuk membangun jalan, fasilitas pendidikan, kesehatan, dst.; atau sekedar mengatasi masalah-masalah yang ramai di ruang publik seperti banjir, kemacetan, inflasi, dst.; tetapi membangun sebuah gerakan yang tidak sekadar mengubah permukaan, melainkan sampai ke akar-akarnya, mulai dari sumber atau hulunya, dan bersifat esensial dan prinsip. Disebut radikal karena KDM seperti sedang melawan arus besar yang tengah mengalir dengan amat deras.
Oleh : Medrial Alamsyah*
JERNIH– “Sekarang banyak orang Indonesia ter-dedi-dedi,” kata seorang ustad di Sumatera Barat seraya bertanya apakah gubernurnya, yang dipanggil buya, bisa berbuat seperti Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Ustad tersebut tidak berlebihan mengatakan Indonesia sedang ter-dedi-dedi, karena di beberapa daerah muncul gerakan menuntut agar gubernur mereka membuat kebijakan penghapusan tunggakan pajak kendaraan seperti dilakukan Gubernur Jawa Barat. Bukan tidak mungkin tuntutan akan meluas, tidak saja ke banyak daerah lain, tetapi juga pada kebijakan-kebijakannya.
Apa gerangan yang telah diperbuat gubernur yang popular dipanggil KDM (Kang Dedi Mulyadi) itu, sehingga Indonesia bisa ter-dedi-dedi? Menurut penulis, karena KDM melakukan “radikalisasi” dalam banyak aspek kehidupan di Jawa Barat lalu menyiarkannya ke seluruh negeri sehingga “radikalisasi” menyebar ke daerah lain.

Orang-orang yang terpapar “radikalisasi” KDM itu ada yang hanya mendukung melalui media, terutama media sosial, seperti dikatakan di muka, ada juga yang membuat gerakan menuntut kepala daerah mereka melakukan hal sama. Tetapi ada juga kepala daerah yang berusaha meniru kebijakan dan gaya kepemimpinan KDM; entah karena setuju atau bisa juga sekedar mengikuti trend. Apa makna dan seperti apa “radikalisasi” yang dilakukan KDM itu?
Kata dasar radikalisasi adalah radikal, yang punya banyak makna. Salah satunya dari The Concise Oxford Dictionary (1987), yang memaknainya sebagai “akar”, “sumber”, atau “asal mula”. Dalam konteks lebih luas radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).
Dengan demikian radikalisasi berarti proses atau gerakan yang dimulai dari akar, sumber atau asal mula; atau sebuah gerakan melawan arus yang mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas berbagai gejala.
Sejatinya radikal itu istilah bermakna netral, tidak terkait dengan ideologi tertentu, tetapi karena sempat dimaknai berbeda dan tendensius sebelumnya, supaya tidak disalahartikan, kata “radikalisasi” dalam judul terpaksa penulis beri tanda petik.
Sepak terjang KDM sebagai kepala daerah memang sangat radikal dibandingkan arus utama yang sedang berlangsung. Pernyataan, sikap, langkah dan kebijakan yang dijalankannya jelas bukan sekedar menjalankan pemerintahan untuk membangun jalan, fasilitas pendidikan, kesehatan, dst.; atau sekedar mengatasi masalah-masalah yang ramai di ruang publik seperti banjir, kemacetan, inflasi, dst.; tetapi membangun sebuah gerakan yang tidak sekadar mengubah permukaan, melainkan sampai ke akar-akarnya, mulai dari sumber atau hulunya, dan bersifat esensial dan prinsip. Disebut radikal karena KDM seperti sedang melawan arus besar yang tengah mengalir dengan amat deras.
Dalam politik KDM tampak sedang melawan pragmatisme politik, kendati pragmatisme bagi politisi kita bukan saja telah dianggap sebagai hal tak terelakkan, lebih dari itu –bahkan , seakan–telah jadi kewajaran bagi rakyat banyak. Bagi KDM berpolitik harus memiliki dasar filosofis yang jelas atau ideologis, yang kemudian diturunkan dalam program-program terstruktur dan aksi-aksi kepemimpinan (leadership actions) berpola. Dalam hal ini KDM tegas memilih nilai-nilai budaya leluhurnya, yaitu Sunda, sebagai dasar dia berpijak dan bergerak. Dia tidak sekedar meyakini, tetapi juga memahami dengan baik pedoman praksis dari leluhurnya itu seperti dalam bidang lingkungan, tata ruang, hubungan sosial, pembangunan desa, dsb. Dia tegas menyebut sedang membangun identitas Indonesia berbasis budaya Sunda.
KDM tampak totalitas menjalankan ideologi kesundaannya itu seperti tampak mulai dari cara berpakaian, arsitektur dan ornament dalam rumah, disain ruangan kerja, sampai dalam memberi nama anak. Dalam pidato-pidato politiknya, baik saat kampanye maupun setelah menjabat, dia bukan saja tidak segan-segan mengungkapkan kesunda-annya itu, tetapi juga mengeritik masyarakatnya yang abai dengan tradisi leluhurnya dan menyerang secara terbuka pihak-pihak yang getol melawannya. Totalitas KDM juga tampak ketika dia menangis menyaksikan hutan di Puncak dirusak dan tanpa berpikir panjang memerintahkan membongkar bangunan-bangunan yang merusak lingkungan tersebut.
Pada hari pertama dilantik, KDM mencopot jabatan Kepala Sekolah SMA 6, Depok, karena melanggar Surat Edaran Pj Gubernur yang sudah digagas dan diserukan KDM sebelum dilantik. KDM tidak bergeming walaupun ada protes dari pemangku kepentingan pariwisata. Studi tour, kata KDM, harus ada studinya, yaitu yang mendorong kreativitas dalam bidang seni dan pendidikan itu sendiri; tidak justru dijadikan alat penopang sektor pariwisata.
Ada yang mencurigai itu hanya sekedar pencitraan, tapi menilik penjelasan yang diberikan, langkah dan kebijakan berikutnya dalam sektor pendidikan, itu hanya awal koreksi mendasar dari KDM atas praktik (pengelolaan) pendidikan selama ini yang sudah salah arah.
Semisal, KDM mengumumkan kebijakan yang terlihat sederhana dan diabaikan selama ini, tapi sangat penting dalam membentuk karakter anak, seperti mendorong anak jalan kaki atau bersepeda ke sekolah, melarang anak di bawah umur membawa motor, memakai hp, mengembalikan digitalisasi pendidikan ke manual, memuliakan guru dan mewajibkan anak ikut pekerjaan orang tua di rumah; sehingga pendidikan kelak jadi membumi.
KDM menargetkan membangun sekolah yang cukup agar semua anak Jawa Barat tidak ada yang putus sekolah, serta mengatur ulang bantuan Pemda ke PTN di Jawa Barat menjadi beasiswa di jurusan yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Di sektor kesehatan, KDM menggagas pembangunan yang berorientasi pada kesehatan masyarakat dengan memperbaiki lingkungan mereka menjadi lebih sehat, mengkampanyekan pola hidup sehat dll., seraya mengeritik keras pembangunan kesehatan yang selama ini berorientasi pada pembangunan fisik sehingga mengeruk sumber daya pemerintah dan masyarakat untuk keuntungan industri kesehatan. “Model pembangunan kesehatan seperti itu tidak akan mampu menyehatkan masyarakat sampai kapan pun,” seru KDM.
KDM juga melakukan perubahan radikal dalam hal penganggaran, yang merupakan kunci dari berbagai perubahan yang dicanangkannya. KDM mengatakan tidak mau membuat anggaran berbasis pagu, yaitu membiarkan SKBD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) mengatur anggaran sendiri menghabiskan pagu yang mereka dapat, karena biasanya dihabiskan lebih banyak untuk kepentingan ASN belaka, dalam bentuk kegiatan yang relatif tidak berubah dari tahun ke tahun seperti FGD, supervisi, seminar, rapat, dsj .
KDM memulai penganggaran dengan melihat kebutuhan program prioritasnya seperti membangun infrastruktur jalan, sekolah dll., baru kemudian menelusuri jumlah anggaran yang tersedia, memotong anggaran yang tidak perlu, lantas mengalihkannya pada program prioritas tsb. Dengan demikian, bila dalam sistem sebelumnya efisiensi anggaran hanya diartikan memotong berbagai anggaran tanpa memperhatikan efektivitas atau manfaat untuk rakyat, KDM mengartikannya sebagai mengalihkan anggaran yang tidak produktif menjadi produktif.
Gaya kepemimpinan KDM benar-benar melawan arus, tidak hanya dalam cara berpakaian yang santai, tetapi juga dalam proses pengambilan keputusan, tempat kerja dan mobilitas. Kecuali dalam acara-acara for-mal, KDM selalu berpakaian ala Sunda berupa baju dan celana warna putih yang disebut pangsi, plus ikat kepala khas Sunda yang disebut iket, totopong atau udeng.
Sehari-hari KDM jarang ada di kantor, selalu berkeliling melihat apa yang terjadi di lapangan, berkomunikasi dengan masyarakat dan perangkat daerah dengan sangat informal. Di era teknologi komunikasi seperti saat ini, menurut KDM, kepala daerah tidak terlalu butuh kantor. Soal administrasi cukup diurus oleh Sekda, sedangkan kepala daerah turun ke lapangan memastikan kebijakan berjalan sesuai rencana, menyelesaikan masalah di lapangan, berorientasi kinerja, bukan administratif dan formalitas.
Pola kerja dan gaya kepemimpinan atau yang saya sebut sebagai radikalisasi KDM seperti diuraikan di atas memerlukan kemampuan bertanya yang rasional dan kritis; kemampuan berkomunikasi yang baik, dan efektif; pemahaman lapangan yang mumpuni, serta keberanian mengambil keputusan (jelas dan tegas}. KDM tampak memiliki itu semua.
Akan tetapi, radikalisasi ala KDM tersebut, yang “nyeleneh” dan melawan arus itu, sangat berpotensi mendapat perlawanan setidaknya dari tiga pihak: birokrasi, politisi dan pihak-pihak eksternal. Mekanisme penganggaran KDM sangat di satu sisi berpotensi mengurangi pendapatan ASN, pada sisi lain menuntut kerja nyata; politisi tidak lagi mudah mengatur proyek; dan pihak eksternal seperti pengusaha, pejabat sipil, militer dan polisi di belakang para pengusaha pasti juga banyak yang terganggu oleh ketegasan dan keberanian KDM. Ketiganya bisa berkoalisi melawan KDM, baik diam-diam maupun secara terbuka.
Pertanyaannya kemudian apakah KDM akan mampu mengatasi perlawanan itu? Masih terlalu pagi untuk menilai keberhasilan KDM, namun kita bisa mengukur dari pemahaman dan langkah antisipasi yang dilakukan KDM, baik taktis maupun strategis.
Penulis melihat MoU dengan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD), Jendral TNI Maruli Simanjuntak, di samping untuk mengefektifkan pembangunan infrastruktur bisa juga dilihat sebagai upaya meredam pihak eksternal. Sedangkan publikasi intensif KDM melalui sosmed miliknya, di samping sebagai upaya sistematis membangun transparansi, memberi contoh cara kerja baru ke aparat dan menginspirasi masyarakat, bisa berguna untuk mendapatkan dukungan massa menghadapi perlawanan ASN dan politisi. Sebuah langkah awal yang cerdas, taktis-strategis, dan menarik untuk ditunggu hasilnya. [ ]