SolilokuiVeritas

Menkeu Purbaya dan Hukum Kirchhoff: Saat Prinsip Dasar Fisika Dipakai dalam Ekonomi

Kebijakan Purbaya mengalirkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) di Bank Indonesia yang sebenarnya adalah kumpulan daripada Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) dari Pemerintah sebesar Rp 200 Triliun untuk disalurkan ke Bank-Bank milik Negara, pada dasarnya dapat dianalisis menggunakan Hukum Kirchhoff I. Uang yang diibaratkan arus listrik, dialirkan ke dalam Kementerian/Lembaga/Daerah dan bersisa dalam bentuk SILPA dan disimpan di BI dalam bentuk SAL. Menurut Purbaya, ini akan mengeringkan sistem keuangan secara umum yang ia sebut sebagai base money. Inflasi memang rendah tetapi perekonomian rakyat dicekik karena dihambat.

Oleh     :  Hanief Adrian*

JERNIH– Berkali-kali mendengar pidato Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dan para pengkritiknya dari kalangan ekonom aliran arus utama (mainstream), baik dari grup Aliansi Ekonom Indonesia maupun para solo player, seperti Rhenald Kasali dan Ferry Latuhihin, seharusnya membuat kita memahami satu hal: ada prinsip dasar yang berbeda dalam memahami persoalan ekonom antara para ekonom aliran utama tersebut dengan Purbaya yang latar belakang akademiknya memang bukan seorang ekonom.

Cara pandang Purbaya memang engineering wise, fokus pada penyelesaian problem, serumit apapun variabel yang menyumbang problem tersebut. Cara pandang engineering wise yang berlandaskan prinsip-prinsip fisika, kadang bersifat reduksionis (menyederhanakan) dan mekanistik, di mana dunia dipandang bagaikan mesin yang bekerja tanpa kesadaran layaknya manusia. Tetapi dengan perkembangan ilmu fisika menjadi ekonofisika dan sosiofisika, aktor kehidupan yang bernama manusia ternyata dapat dikuantifikasi, dimodelkan dan diekstrapolasikan ke mana kira-kira arah kehendak makhluk yang dipilih Tuhan menjadi Khalifatullah fil Ardh ini.

Demikian kira-kira prinsip-prinsip fisika (mungkin modern) yang digunakan Purbaya saat menggunakan Leading Economic Indicator berdasarkan peredaran uang dasar (base money) dan variabel lainnya untuk memprediksi stabilitas ekonomi dan politik. Prinsip ini juga yang dipakai para menteri keuangan sebelumnya yang berlatar belakang akademik non-ekonomi seperti Ir. Surachman, Ir. Juanda, Ir. Bambang Subianto dan Dr. Rizal Ramli. Prinsip mereka memang berbeda dengan prinsip keseimbangan (balance) dan kehati-hatian (prudence) yang digunakan para ekonom aliran arus utama.

Prinsip Bernoulli dalam Ekonomi

Selama 80 tahun Indonesia merdeka, kita pernah memiliki lima menteri keuangan berpandangan engineering wise. Menkeu pertama berlatar belakang insinyur adalah Ir. Surachman Cokroadisuryo, lulusan Teknik Kimia dari Technische Hogeschool te Delft tahun 1920 yang setelahnya bekerja di Departemen Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan (Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel) sebagai kepala laboratorium kimia di Bandung untuk pengembangan kerajinan batik dan perak.

Tidak terlibat sama sekali dalam aktivisme mahasiswa Indische Vereniging semasa kuliah di Belanda, jiwa nasionalismenya bangkit saat bergaul dengan Soekarno dan para mahasiswa pribumi Technische Hogeschool te Bandoeng pada 1921-1924, hingga akhirnya dipindahkan ke Bogor. Surachman menjadi anggota Komisi Pusat bidang Sosial Ekonomi di Algemene Volkscrediet Bank (Bank Kredit Umum Rakyat embrio Bank Rakyat Indonesia atau BRI) pada 1935 di bawah pimpinan Drs. Hubertus van Mook sebagai Ketua Komisi.

Benar, Van Mook sang Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat Surachman diangkat Presiden Soekarno sebagai Menteri Kemakmuran dalam Kabinet Presidensial (2 September-14 November 1945) dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir sebagai Menteri Keuangan (8 Desember 1945-2 Oktober 1946). Kebijakan Van Mook yang memban-jiri perekonomian rakyat dengan mata uang rupiah NICA yang dikenal dengan ‘uang merah NICA’ untuk mengganti uang rupiah zaman Jepang sejak 2 Oktober 1945. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Tentara Pendudukan Sekutu (Alllied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI) dan tidak konsisten, sehingga menimbulkan inflasi hebat.

Menkeu Surachman rupanya memahami jalan pikiran Van Mook, yang notabene adalah bekas atasannya sendiri. Pertama, ia mengumumkan kebijakan obligasi nasional yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat untuk membiayai Pemerintahan Republik dengan target pengumpulan dana sebesar Rp. 1.000.000.000,- dengan dua tahap dan jangka waktu pengembalian maksimal 40 tahun. Kebijakan ini berhasil membuat rakyat berbondong-bondong membeli surat berharga dari Pemerintah, sehingga dalam 45 hari terkumpul dana hingga Rp. 400.000.000,_ , dan dalam enam bulan terkumpul Rp 500.000.000,_ untuk tahap pertama. Tahap kedua gagal terlaksana karena Belanda melakukan Agresi Militer pertama pada 21 Juli 1947.

Kedua, pemerintah melalui Menkeu Surachman yang dilanjutkan Menkeu Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengeluarkan kebijakan penerbitan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang berlaku mulai 3 Oktober 1946. Dan tentu saja, ORI sebagai mata uang diterbitkan berdasarkan cadangan emas yang dimiliki bank sentral saat itu yaitu Bank Negara Indonesia yang didirikan Pemerintah atas inisiatif Margono Djojohadikoesoemo, kakek Prabowo. Tentu saja Pemerintah tidak hanya berani mengumpulkan uang dan emas milik rakyat untuk menggerakkan perekonomian, tetapi juga memiliki langkah strategis dan tepat untuk menghadapi ancaman blokade ekonomi Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia.

Apa cara pandang Ir. Surachman dalam merumuskan kebijakan tersebut saat menjadi Menkeu? Kita dapat membaca dua kebijakan Menkeu Surachman dalam cara pandang hukum fisika yaitu prinsip Bernoulli, bahwa semakin cepat fluida mengalir akan menurunkan tekanan udara, sebaliknya semakin lambat fluida mengalir maka akan meningkatkan tekanan udara. Prinsip ini dipakai dalam pembangunan gedung yang memerlukan kelancaran aliran udara dan air untuk utilitas, desain pipa dalam kilang minyak hingga rancangan sayap pesawat terbang.

Dalam fisika juga dikatakan bahwa gerakan benda termasuk fluida bergantung pada momentum yaitu perkalian massa dan kecepatan, yang cenderung lembam, baik dalam bentuk benda itu diam atau kecepatan konstan alias begitu-begitu saja, hingga diberi gaya berbentuk tumbukan dari benda berkecepatan tertentu.

Maka kita perlu melihat dua kebijakan Menkeu Surachman sebagai gaya atau intervensi di mana segala hambatan ekonomi akibat intervensi Belanda dilawan dengan obligasi nasional dan penerbitan mata uang ORI, yang tentunya digunakan untuk meningkatkan sektor-sektor produksi rakyat untuk memperlambat laju inflasi.

Prinsip Bernoulli juga dapat digunakan untuk membaca bagaimana Menteri Pertama merangkap Menteri Keuangan Ir. Juanda Kartawijaya (aktivis dan ketua pertama Indonesische Studenten Vereniging tahun 1930 dan lulusan TH Bandung 1933) berupaya melaksanakan Deklarasi Juanda untuk memperlancar arus lalu lintas barang dan menjamin keamanan pelayaran dengan mengklaim laut sekitar pulau Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah Republik Indonesia.

Kebijakan Menkeu Ir. Bambang Subianto (lulusan Teknik Kimia ITB 1973) dalam Pemerintahan Presiden Prof. Dr-Ing. B.J. Habibie (lulusan RWTH Aachen 1965) dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat dan investor kepada perbankan melalui demokratisasi (percepatan Pemilu, kebebasan pers, pembebasan tapol) juga dapat dibaca berdasarkan prinsip Bernoulli. Kelancaran likuiditas perbankan ternyata berkaitan dengan situasi politik yang demokratis yaitu transparansi dan akuntabilitas.

Dr. Rizal Ramli, mahasiswa Fisika ITB 1973 dan penulis “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978” saat menjadi wakil ketua Dewan Mahasiswa ITB, walaupun menjabat Menkeu dalam waktu sangat singkat (Juli-Agustus 2001) tetapi sebelumnya menjadi Menko Perekonomian merangkap ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan atau KKSK (Agustus 2000-Agustus 2001). Hal penting yang dilakukan Rizal Ramli semasa menjabat Menko Perekonomian/Ketua KKSK adalah melawan intervensi IMF dalam soal kebijakan utang dengan melakukan restrukturisasi terhadap perusahaan-perusahaan negara untuk menghasilkan uang tanpa harus melalui mekanisme divestasi atau penjualan aset.

Purbaya dan Hukum Kirchhoff

Purbaya Yudhi Sadewa, lulusan Teknik Elektro ITB dan Ilmu Ekonomi dari Purdue University, memang agak berbeda dengan empat menteri keuangan berprinsip pengetahuan fisika. Semasa berkuliah, Purbaya masuk dalam jurusan arus lemah sehingga pada dasarnya ia adalah seorang electronic engineer. Seorang mahasiswa electronic engineering pada dasarnya mempelajari bagaimana sebuah rangkaian alat elektronik dapat dialiri arus listrik sehingga dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari.

Agar arus listrik yang mengaliri sebuah rangkaian dapat menghidupi alat tersebut, maka penting memahami Hukum Kirchhoff I yaitu, “total arus listrik yang masuk sama dengan total arus listrik yang keluar”, serta Hukum Kirchhoff II yaitu, “total aljabar semua tegangan dalam satu rangkaian tertutup sama dengan nol”. Hukum Kirchhoff I digunakan untuk menganalisis arus rangkaian listrik dengan banyak percabangan, dan Hukum Kirchhoff II digunakan untuk mencegah kerusakan pada alat elektronik ketika dialiri listrik.

Kebijakan Purbaya mengalirkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) di Bank Indonesia yang sebenarnya adalah kumpulan daripada Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) dari Pemerintah sebesar Rp 200 Triliun untuk disalurkan ke Bank-Bank milik Negara, pada dasarnya dapat dianalisis menggunakan Hukum Kirchhoff I. Uang yang diibaratkan arus listrik, dialirkan ke dalam Kementerian/Lembaga/Daerah dan bersisa dalam bentuk SILPA dan disimpan di BI dalam bentuk SAL. Menurut Purbaya, ini akan mengeringkan sistem keuangan secara umum yang ia sebut sebagai base money. Inflasi memang rendah tetapi perekonomian rakyat dicekik karena dihambat.

Ibarat arus listrik yang mengaliri sebuah rangkaian, alirannya diparkir di sebuah komponen yang memiliki hambatan tertentu. Jika saklar dimatikan, aman-aman saja, tetapi bagaimana jika saklarnya terus hidup sementara arus listrik tersebut tidak mengalir lancar? Tentu rangkaian listrik itu akan meledak.

Ledakan sebuah rangkaian yang arusnya tidak lancar kira-kira jika diibaratkan dalam situasi politik kita adalah protes Agustus 2025 yang menewaskan Affan Kurniawan dan sembilan warga negara lainnya yang sedang kering kantongnya. Ratusan orang ditangkap polisi karena dituduh menggerakkan aksi massa memprotes pemotongan anggaran dan berbagai kebijakan sosial lainnya.

Penutup

Purbaya baru 1 bulan 12 hari menjabat Menteri Keuangan. Kita tentu belum dapat menilainya berhasil atau gagal, apalagi ada satu fenomena Menteri-Menteri Keuangan berlatar pandangan engineering wise ini tidak sampai 1 tahun menjabat, karena sedemikian radikalnya kebijakan yang mereka rumuskan untuk memperbaiki keuangan negara.

Tentu saja, cara Purbaya yang agak berbeda dalam menyelesaikan persoalan keringnya perekonomian rakyat dengan cara yang relatif baru (bukan obligasi dan mobilisasi dana milik rakyat bentuk lainnya) mungkin akan memberikan hasil yang berbeda. Kita tunggu saja, dan tetap waspada dengan situasi yang semakin tak menentu di masa depan.

Deo Patria Veritas! [ ]

* Hanief Adrian, ST, MIP; Kepala Desk Politik GREAT Institute

Back to top button