
Pertumbuhan adalah kata yang manis, mudah dijual, dan membuat publik bersemangat. Maka, setiap kali ditanya soal prospek ekonomi, Menkeu tergoda untuk menjanjikan surga: angka 6 persen, 7 persen, 8 persen. Padahal, instrumennya terbatas. Menkeu hanya bisa menyediakan ruang fiskal, menyiapkan insentif, atau mengatur subsidi. Itu pun dengan catatan: kalau utang membengkak, bunganya menelan lebih dari 500 triliun rupiah setahun, dan APBN sudah penuh tambalan, ruang untuk bicara pertumbuhan tinggal sekadar retorika.
Oleh : Rahmat Mulyana*
JERNIH– Di negeri ini, Menteri Keuangan sering tampil seperti pesulap di panggung besar. Dengan penuh percaya diri, ia mengangkat tongkat, tersenyum lebar, dan mengumumkan: “Pertumbuhan ekonomi kita tahun depan bisa 6 persen, 7 persen, bahkan 8 persen!”
Penonton bertepuk tangan, investor tersenyum lega, dan media menuliskan judul-judul optimistis. Padahal, kalau lampu panggung dimatikan, alat sulapnya sederhana saja: kata-kata indah yang keluar seperti asap.
Mari kita ingat kembali fungsi dasar fiskal. Dalam literatur ekonomi klasik, otoritas fiskal memiliki tiga tugas pokok: alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Pertama, mengalokasikan anggaran agar efisien—mana untuk pendidikan, kesehatan, atau proyek infrastruktur. Kedua, memastikan distribusi yang adil—agar pajak dan belanja negara tidak hanya menguntungkan elite. Ketiga, menjaga stabilitas—supaya inflasi tidak liar, defisit terkendali, dan utang tetap bisa dibayar. Itu saja.
Adapun pertumbuhan ekonomi? Itu wilayah kementerian teknis: investasi, perdagangan, perindustrian, pertanian, bahkan PUPR yang sibuk membangun jalan dan jembatan. Kalau ada pabrik baru berdiri, ekspor naik, sawah produktif, atau turis berbondong-bondong datang, di situlah sumber pertumbuhan sejati. Menkeu tidak menanam padi, tidak membangun pabrik, tidak mengekspor nikel, apalagi mengelola marketplace digital. Jadi, mengapa ia begitu sering dijadikan juru bicara pertumbuhan?
Jawabannya sederhana: pertumbuhan adalah kata yang manis, mudah dijual, dan membuat publik bersemangat. Maka, setiap kali ditanya soal prospek ekonomi, Menkeu tergoda untuk menjanjikan surga: angka 6 persen, 7 persen, 8 persen. Padahal, instrumennya terbatas. Menkeu hanya bisa menyediakan ruang fiskal, menyiapkan insentif, atau mengatur subsidi. Itu pun dengan catatan: kalau utang membengkak, bunganya menelan lebih dari 500 triliun rupiah setahun, dan APBN sudah penuh tambalan, ruang untuk bicara pertumbuhan tinggal sekadar retorika.
Maka jangan heran kalau publik sering merasa sedang menonton ilusi. Di podium, grafik pertumbuhan melesat ke atas. Di jalanan, harga pangan naik, pajak bertambah, dan subsidi berkurang. Menkeu bilang, “Pertumbuhan akan memulihkan kesejahteraan,” tetapi di pasar, pedagang kecil mengeluh dagangan sepi. Di layar presentasi, angka 6 persen terlihat kinclong; di lapangan, sopir ojek online tetap bekerja dua belas jam sehari untuk sekadar membayar cicilan.
Tentu, optimisme tidak salah. Negara butuh harapan, pasar butuh sinyal positif, dan pemimpin butuh narasi besar. Tapi masalahnya, kalau harapan yang dijual tanpa instrumen nyata, jadinya mirip iklan MLM: janji keuntungan tinggi, tapi sistemnya tidak jelas. Menkeu jadi seperti penjual mimpi berbalut angka. Investor global puas, tapi rakyat kecil geleng kepala.
Lebih ironis lagi, publik kita justru senang dengan model “menkeu tukang sulap” ini. Setiap kali angka pertumbuhan diumumkan, headline berita pun berbunyi riuh. Seolah-olah negeri ini sedang melaju cepat, padahal roda yang berputar adalah utang yang makin menumpuk. Kita melompat gembira melihat grafik naik, tapi lupa bahwa bunga utang saja sudah lebih besar daripada anggaran kesehatan.
Dalam konteks ini, barangkali kita memang perlu mengubah cara pandang. Menteri Keuangan seharusnya tidak dinilai dari seberapa tinggi ia bisa berjanji soal pertumbuhan, melainkan dari seberapa adil dan sehat ia mengelola uang negara. Bukan 6–8 persen yang harus dikejar di pidato, melainkan: apakah pajak dipungut dengan adil, apakah belanja berpihak pada rakyat, dan apakah utang tidak menjerat generasi mendatang. Itu lebih penting daripada sekadar angka makro yang membuat investor senang tapi rakyat tetap susah.
Pada akhirnya, sulap itu memang indah untuk ditonton, tapi tak bisa dimakan. Kita boleh terhibur sesaat oleh retorika pertumbuhan 8 persen, tapi di meja makan tetap saja lauknya sederhana. Mungkin sudah waktunya kita berkata: cukup sudah pesulap di panggung fiskal. Yang dibutuhkan negeri ini bukan ilusi pertumbuhan, melainkan keberanian mengelola fiskal secara jujur, adil, dan berpihak pada rakyat. [ ]
*Wakil Rektor Universitas Ummi Bogor