
Dari perjalanan kehidupan bernegara selama ini, setidaknya ada dua mesin politik yang sudah lama menjadi embrio. Perguruan tinggi (PT) dan ulama. Keduanya sudah lama eksis dalam kehidupan masyarakat. Bertahun-tahun. Namun, belum dibiarkan tumbuh dengan subur, kalau tidak dihambat menjadi mesin politik.
Oleh : Prof. Ana Nadhya Abrar
JERNIH– Segala puji bagi Allah Swt. Indonesia adalah ibarat mobil. Ia butuh tujuan, sopir dan mesin. Tujuannya sudah ada. Mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen. Sopirnya juga sudah ada. Presiden Prabowo Subianto. Mesinnya sudah ada pula. Pemerintah dan partai politik (parpol).
Sampai saat ini pemerintah dan parpol sangat dominan sebagai mesin politik. Simaklah berita yang disiarkan Tempo, 21-27 Juli 2025. Di sana disebutkan, Presiden Prabowo Subianto marah gegara keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu nasional dan daerah. Partai Nasdem bahkan menolak keputusan MK itu. Parpol yang lain masih belum bersikap.
Namun, akhirnya bisa diduga. Hanya pemerintah dan parpol yang akan merespons keputusan MK di atas. Salah satu respons yang muncul konon rencana revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Kalau ini benar-benar terjadi, pemerintah dan parpol menjadi hard feeling terhadap MK. Hubungan pemerintah dan parpol dengan MK tidak akan baik-baik saja.
Dilihat dari perspektif kemaslahatan orang banyak, sikap pemerintah dan parpol yang dendam terhadap MK tentu saja keliru. Sebab ia menunjukkan keduanya tidak memadai lagi sebagai mesin politik. Ia perlu dilengkapi. Agar menghasilkan tenaga yang kuat demi mengutamakan kepentingan masyarakat.
Bagaimana melengkapinya? Dengan merakit mesin politik yang baru. Baru di sini bisa bermakna belum pernah ada. Namun, bisa pula berarti baru berbentuk embrio.
Dari perjalanan kehidupan bernegara selama ini, setidaknya ada dua mesin politik yang sudah lama menjadi embrio. Perguruan tinggi (PT) dan ulama. Keduanya sudah lama eksis dalam kehidupan masyarakat. Bertahun-tahun. Namun, belum dibiarkan tumbuh dengan subur, kalau tidak dihambat menjadi mesin politik.
Lihatlah, pemerintah dan parpol sering mengamputasi keduanya. Ibarat tanaman, keduanya tidak dibiarkan tumbuh subur. Tidak diberi pupuk yang cocok. Tidak diberantas hama yang menggerogotinya. Apa buktinya?
Pemerintah menarik orang-orang hebat di PT untuk membantunya. Ia menjadikan mereka sebagai operator pemerintah. Melakukan pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh makelar atau calo.
Parpol merekrut jagoan politik di PT. Ia memanfaatkannya untuk meyakinkan rekrutmen politik dan sirkulasi elit yang masuk akal. Namun, ia tidak memberikan imbalan yang seimbang kepada PT asal mereka.
Tidak hanya sampai di situ. Pejabat-pejabat berkuasa dan berduit berkuliah di PT ternama. Tujuannya antara lain untuk mendapatkan doktor beneran. Ada juga di antara mereka yang memberikan tips ke PT agar dapat doctor honoris causa. PT pun jadi stempel kemampuan akademik pejabat berduit dan berkuasa.
Tanpa terasa terjadilah pembusukan PT. Akibatnya, masyarakat mulai bertanya-tanya tentang posisi terhadap PT sebagai penjaga moral masyarakat. Dalam keadaan begini, bagaimana mungkin PT berfungsi sebagai mesin politik?
Nasib ulama idem ditto. Sama menyedihkannya dengan PT. Beberapa ulama menjadi penasihat parpol. Mereka memperoleh uang yang tidak sedikit. Sebagai imbalannya, mereka patuh saja terhadap keinginan parpol. Beberapa ulama malah dimanfaatkan pemerintah untuk melegitimasi kebijakannya.
DPR memanfaatkan ulama yang lain lagi untuk mengkritisi pemerintah. Setiap ulama mengeluarkan fatwa. Lalu terjadilah perang fatwa. Dari perang fatwa itu ulama memperoleh uang. Namun, uang yang diperoleh ulama jauh lebih banyak daripada yang diperoleh pemerintah dan DPR.
Apakah ulama menyadari kondisi ini? Entahlah! Yang jelas ulama tidak lagi memperoleh simpati maksimal masyarakat. Mereka pun mengalami hambatan menjadi mesin politik.
Namun, itu dulu. Let by gone be by gone. Biarlah yang lalu itu berlalu. Sekarang saatnya membuat sebuah terobosan baru. Merakit PT dan ulama menjadi mesin politik. Keduanya bisa diajak untuk melengkapi mesin politik yang ada: parpol dan pemerintah. Kalau sudah berempat, mereka bisa membentuk sistem sosial, politik, ekonomi yang baru untuk segera mewujudkan mimpi Prabowo mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Persoalan yang menghadang adalah, apakah pemerintah dan parpol rela menambah kawan sebagai mesin politik? Apakah keduanya bersedia menyambut kedatangan PT dan ulama sebagai mesin politik dengan hati terbuka? Apakah keduanya ikhlas berbagi peran dengan PT dan ulama dalam menciptakan sistem sosial, politik dan ekonomi yang baru?
Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Hanya pemerintah dan parpol yang tahu persis jawabannya. Yang jelas, sekarang sudah zamannya bersinergi. Pemilik kendaraan bersinergi dengan pemilik aplikasi untuk mewujudkan ojol. Pemilik modal cekak bersinergi dengan pemain di lapangan untuk menciptakan sharing ekonomi. Kalau pemerintah dan parpol tidak mau bersinergi dengan PT dan ulama, sesungguhnya keduanya sudah ketinggalan zaman. Keduanya akan ditertawakan oleh Generasi Z (Gen Z).
Di atas itu, pemerintah dan parpol yang enggan bersinergi dengan PT dan ulama akan dianggap tidak memperkuat posisi tawar, misalnya terhadap oligarki. Keduanya akan dicap tidak sungguh-sungguh memperjuangkan keadilan dan kemakmuran yang beradab. Sebuah penilaian yang sangat menohok bukan?
Nah, sebelum citra jelek itu terjadi, sambutlah kedatangan PT dan ulama sebagai mesin politik baru. Bantu mereka merakit dirinya menjadi mesin politik yang baru. Berbarengan dengan itu, media pers mesti membantu membesarkan PT dan ulama menjadi mesin politik.
Yang terakhir ini penting. Paling tidak agar masyarakat punya kesadaran (sense), PT dan ulama bisa menjadi dapur pacu mesin politik. Sebagai pusat tenaga penggerak mobil yang bernama Indonesia. [ ]
*guru besar di UGM






