
Ini dia perempuan diplomat AS yang menggunakan hak veto di sidang Dewan Keamanan PBB. Kontan, ia jadi “musuh” dunia yang tengah bersatu mendukung penyelesaian persoalan Palestina dan Israel.
JERNIH – Morgan Ortagus adalah figur yang sulit dilupakan dalam dunia diplomasi Amerika Serikat. Ditunjuk sebagai Wakil Alternat AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah pemerintahan Trump, penampilannya yang percaya diri dan latar belakangnya yang tidak biasa langsung menarik perhatian. Namun, di balik karirnya yang cemerlang, Ortagus juga menjadi magnet kontroversi, menghadapi serangan dari berbagai pihak, baik dari oposisi politik maupun dari dalam partainya sendiri.
Kontroversi yang melingkupi Ortagus datang dari beberapa hal mendasar. Mulai latar belakangnya yang dianggap “bukan diplomat karier”, pernyataan-pernyataannya yang provokatif, dan kesetiaannya yang tak tergoyahkan kepada Donald Trump.

Berbagai kritikan mampir baik secara langsung di depan wajahnya maupun lewat media sosial. Kritik ini terutama muncul dari pendukung pro-Palestina, kelompok anti-Israel, dan sebagian basis MAGA (Make America Great Again) yang menganggapnya tidak loyal.
Di media sosial X misalnya, ia dituduh sebagai “pengkhianat AS” karena prioritas Israel di atas kepentingan Amerika, terutama setelah veto resolusi gencatan senjata Gaza di PBB tempo hari. Disebut “whore of Israel” atau “blow-up doll in heels” yang “deep-throating Israel’s propaganda”.
Kritikan pedas dan menyakitkan terus menyiram Ortagus. Pemegang gelar sarjana dalam hubungan internasional dari University of South Florida dan dua gelar master, salah satunya dalam bidang kebijakan publik dari Harvard University ini dikritik karena mendukung Netanyahu dan menolak resolusi PBB untuk gencatan senjata. Apa boleh buat netizen pun menjulukinya “baby killer”, “murderer”, “genocide enabler”, dan “devil with blood on her hands”. Video konfrontasi di PBB menjadi viral, dengan seruan “May God’s curse be upon her”.
Masih sederet lagi hujatan. Namun agaknya Ortagus tak peduli. Morgan Ortagus adalah produk dari era politik yang terpolarisasi. Ia adalah seorang wanita berprestasi dengan karir yang multidimensi, namun jalan pintasnya ke puncak diplomasi melalui loyalitas politik menjadikannya figur yang divisif.

Bagi banyak pengamat, ia dilihat sebagai simbol dari transformasi Departemen Luar Negeri AS di bawah Trump, di mana loyalitas kepada presiden lebih dihargai daripada keahlian teknis dan pengalaman diplomasi. Hal ini membuatnya dikritik oleh mereka yang menginginkan birokrasi yang netral dan profesional.
Sebelum menjadi diplomat, perjalanan karir Ortagus sudah sangat beragam. Ia tidak mengambil jalan linear yang umum ditempuh para diplomat karier. Ia menjabat sebagai Deputy Assistant Secretary for Public Affairs di Departemen Keuangan AS, di mana ia terlibat dalam urusan komunikasi strategis terkait kebijakan ekonomi dan sanksi. Berikutnya barulah ia pindah ke PBB.
Ortagus adalah seorang Republikan yang jelas-jelas konservatif. Ia aktif mendukung kebijakan luar negeri yang tegas, khususnya terhadap Iran dan Venezuela, serta merupakan pendukung setia Israel. Ia bahkan menikah dengan Jonathan Weinberger, seorang pengusaha yang pernah bekerja di kampanye Trump.

Banyak diplomat karier dan pakar kebijakan luar negeri tradisional, termasuk yang konservatif, meragukan kredensialnya. Mereka memandangnya sebagai “orang politik” yang ditunjuk karena loyalitasnya kepada Trump, bukan karena keahlian diplomasi yang mumpuni. Pengalamannya di media dan militer dianggap tidak cukup untuk posisi strategis di PBB.
Beberapa kalangan neokonservatif atau realis di Partai Republik merasa bahwa retorikanya yang konfrontatif di PBB terkadang merusak hubungan dengan sekutu tradisional, sebuah pendekatan yang berbeda dengan diplomasi yang lebih halus.
Dari kalangan Demokrat mengkritik gaya Ortagus di Dewan Keamanan PBB. Mereka menilai pernyataannya sering kali terlalu agresif, dogmatis, dan tidak mencerminkan semangat kerjasama internasional yang menjadi dasar PBB.
Kekesalan pada Ortagus bahkan kerap kali bersifat seksis terkait penampilannya. Beberapa komentator media sosial dan publik memfokuskan kritik pada cara berpakaiannya, alih-alih pada substansi kebijakannya, sebuah hal yang kerap dialami wanita dalam politik.
Pada akhirnya publik menilai, kinerja perempuan 43 tahun ini tidak dinilai berdasarkan keahlian diplomasi teknis, tetapi sejauh mana setuju atau tidak setuju dengan agenda politik Donald Trump. Tindakan “penolakan dan veto” yang dilakukannya adalah perwujudan dari kebijakan tersebut, dan respon publik pun mengikuti garis pemisah politik yang sama.(*)
BACA JUGA: AS Kembali Bela Zionis, Memveto Resolusi DK PBB Menuntut Gencatan Senjata Permanen di Gaza






