Mulianya Makna Berbagi Dalam “Askida Ekmek”
Ia hanya perlu dua potong ekmek yang memang berukuran besar itu. Dua lainnya, ia minta dimasukkan kembali ke keranjang gantung, yang mungkin saja akan sangat berarti bagi si lapar lain. Saya tercekat melihat sikap si miskin tadi. Ia miskin, tetapi hatinya kaya budi pekerti.
Oleh : Egy Massadiah*
Sambil sahur pada subuh ke-7 bersama Kepala Gugus Tugas Letjen Doni Monardo, di lantai 10 Graha BNPB, mata saya asyik menyaksikan sebuah tayangan di WA Grup. Sumbernya Diyanet TV, sebuah stasiun televisi yang dikelola kantor urusan agama Pemerintah Turki. Tayangan berdurasi 3:09 menit itu sungguh memberi bermakna dalam terhadap hakikat “berbagi”.
Baiklah, supaya lebih memahami bagaimana “berbagi” menjadi begitu mulia, saya kisahkan apa yang ada dalam film pendek itu.
Yakni pemandangan di sebuah kedai roti. Ini benar-benar kedai sederhana yang dikelola pria paruh baya berbadan subur. Letak kedai roti itu ada di tepi jalan besar. Bagian depan digunakan untuk memajang roti khas Turki yang dinamakan ekmek.
Orang Turki belum berasa makan kalau belum menyantap ekmek. Mirip nasi bagi orang Indonesia.
Sekilas kedai itu memang hanya ada dua bagian. Bagian depan untuk memajang ekmek. Tampak ada satu keranjang yang digantungkan di tiang sisi kanan. Bagian belakang adalah tungku besar untuk memanggang ekmek.
Datanglah seorang pria membeli delapan potong ekmek. Tapi pembeli hanya mengambil empat. Empat lainnya diamanahkan kepada penjual untuk disedekahkan kepada yang memerlukan.
Sang penjual lalu memisahkan empat ekmek amanah tadi, dan memasukkannya ke dalam keranjang gantung.
Tak lama kemudian, datang si “miskin” memohon sekerat-dua-kerat ekmek, yang barangkali ada bagian rezekinya di kedai itu. Penjual roti tadi melayani dengan baik.
Segera ia mengambil tas dan memasukkan empat potong ekmek, dan menyerahkannya kepada si miskin. Lalu, si “miskin” mengembalikan yang dua.
Benar. Ia hanya perlu dua potong ekmek yang memang berukuran besar itu. Dua lainnya, ia minta dimasukkan kembali ke keranjang gantung, yang mungkin saja akan sangat berarti bagi si lapar lain.
Saya tercekat melihat sikap si miskin tadi. Ia miskin, tetapi hatinya kaya budi pekerti.
Tak lama setelah kedatangan si miskin, datang seorang wanita membeli empat ekmek. Lagi-lagi, ia tampak mengeluarkan dua, dan mengamanahkan kepada penjual untuk dibagikan kepada yang membutuhkan.
Dengan senyum ramah, si penjual mengangguk dan memasukkan sedekah dua potong ekmek ke dalam keranjang gantung.
Seketika tersaji pelajaran budi pekerti yang sangat agung. Si kaya tidak kikir, si miskin tidak tamak, dan si penjual tidak khianat.
Begitu menyentuh tayangan tadi, membuat saya mencari tahu tradisi apa gerangan yang tampaknya begitu membudaya di kehidupan sehari-hari masyarakat Turki.
Dua kata saya dapat “askida ekmek”. Sebuah tradisi yang hidup zaman Kesultanan Utsmaniyah atau yang dikenal era Kekaisaran Ottoman (abad ke-XII). Saya pernah membaca seiris sejarah Turki di masa lalu.
Tradisi itu berawal dari seseorang yang datang membeli roti, lalu membayar seharga dua potong, meski ia hanya mengambil satu. Nah, roti yang satu oleh pembeli dibayar sebagai “askida ekmek” (roti yang ditangguhkan).
Kontribusi makanan bagi sesama itu akan terkumpul, hingga ada yang bertanya, “askida ekmek war mi?” (apakah ada roti yang ditangguhkan?). Si penanya niscaya langsung akan mendapatkan ekmek.
Tradisi mulia dari negeri “sejuta sejarah”. Ini pun mengingatkan saya akan sejumlah kunjungan saya ke negeri Eurasia itu. Satu kali, singgah di Ankara dan Istanbul, menyaksikan heroiknya anak-anak klub kebanggaan mereka, Galatasaray, menghadang laju raksasa Real Madrid pada laga Liga Champion tahun 2013. Saat itu, saya mendampingi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) M. Jusuf Kalla.
Berkali-kali juga saya transit di Bandara Atauruk Istanbul, untuk setidaknya ngaso sejenak saat akan melanjutkan perjalanan ke Amerika ataupun Eropa.
Dus, tradisi lama yang baik, memang tampak langgeng di sana. Termasuk saat kami membahas “diplomasi kopi” yang serasa tak bertepi. April 2013, menemani Jusuf Kalla, kami sarapan di Restoran Gorkem Kilis Sofras, di tepi Laut Marmara. Pemilik restoran, Sadettin Ulubay, yang merupakan salah satu konglomerat di Istanbul, memperkenalkan cita rasa kopi Turki yang terkenal.
“Sebagai hidangan penutup, kami sajikan Turkish Coffea, yang kalau diminum cita rasanya akan Bapak kenang selama 40 tahun,” kata Ulubay sambil mengangkat sloki kopinya.
JK kemudian menyambut dengan mengatakan, “Kami juga di Indonesia memiliki macam-macam kopi yang terkenal, antara lain kopi luwak. Bedanya kalau kopi Turki bisa memberi kenangan selama 40 tahun, kopi kami di Indonesia cukup Anda kenang satu tahun saja. Karena itu, Anda harus datang ke Indonesia setiap tahun agar kenangan Anda tentang Indonesia tidak hilang,” kata JK, disambut tawa Ulubay.
Nah, bicara kopi, Anda harus melanjutkan membaca tulisan ini.
Secangkir Kopi di Dinding
Kisah roti Turki tadi mengingatkan saya pada tradisi “secangkir kopi di dinding” yang berkembang di Paris, Perancis. Mirip askida ekmek, bedanya ini terjadi di sebuah cofeeshop terkenal tak jauh dari Menara Eifel sebagaimana pernah saya baca dari sejumlah postingan di media sosial.
Bermula dari seseorang yang membayar dua gelas, atas segelas kopi yang ia minum. Oleh pelayan, segelas kopi –yang tak pernah disajikan—ditulis dalam selembar kertas, lalu ditempelkan di sebuah papan di dinding. Kertas tadi bertuliskan un verre de café yang artinya “segelas kopi”.
Kali lain bahkan ada yang membayar seharga tiga gelas kopi, meski ia hanya minum secangkir.
Syahdan, si pelayan akan menggantungkan dua kertas bertuliskan un verre de café di dinding.
Begitulah tradisi “membayar lebih” dengan maksud “berbagi”. Meski hanya secangkir kopi.
Tibalah suatu ketika, datang lelaki tua. Sambil menatap waiter lalu memalingkan pandangan ke dinding dan berkata, une tasse de café sur le mur yang artinya, “satu cangkir kopi di dinding”.
Waiter langsung berjalan menuju dinding, menarik satu lembar, meremas dan membuangnya ke tempat sampah. Sejurus kemudian ia pun menyajikan satu cangkir kopi kepada pria papa tadi.
Betapa lelaki tadi pun akhirnya bisa mereguk nikmatnya kopi, tanpa harus mengemis. Ia, waiter, bahkan pengunjung lain, bahkan tak perlu tahu, “siapa” gerangan yang telah memberinya secangkir kopi.
Sambil menanti Imsak, melayang angan-angan, “Alangkah indahnya kalau tradisi memuliakan ‘berbagi’ itu masif di Indonesia. Di negeri gemah-ripah loh jinawi dengan penduduknya yang terkenal ramah-tamah dan berjiwa sosial gotong-royong.”
Terbayang, restoran Padang seperti “Sederhana/Sari Ratu”, KFC, Mc Donald, Burger King, Dunkin Donat dan warung-warung lain, menyediakan “sebungkus makanan di dinding”.
Terbayang pula, gerai-gerai kopi mentradisikan “segelas kopi di dinding”. Atau bahkan retail-retail waralaba seperti Indomaret dan Alfamart juga menggantungkan “keranjang berbagi” di salah satu sudut dekat kasir. Misalnya, membayar tiga bungkus mie instan dan menyerahkan satu bungkus untuk diletakkan di “keranjang berbagi”.
Dalam penelusuran saya, konsep sejenis sudah tercipta di Kedai Kopi Ongga, berlokasi di Jalan Pasar Mudiak, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat. Tentu kita berharap, gerakan serupa bisa menular semakin getol dalam situasi saat ini, dari Sabang sampai Marauke.
Program Kopi Dinding menyentak kesadaran publik.Ternyata, berbagi segelas kopi kepada mereka yang membutuhkan itu membahagiakan.
Atas nama kebaikan, izinkan saya mengetuk Anda para pedagang (rumah makan, toko kelontong, dan lain-lain) mentradisikan “keranjang berbagi”.
Selanjutnya, atas nama tabungan akhirat, izinkan saya mengetuk hati Anda untuk rela membayar lebih, dan mendermakan kelebihan tadi untuk berbagi. Tabik, dan tetap disiplin dalam suasana melawan Covid 19. [ ]
*Penulis adalah wartawan senior dan aktivis teater