Nasib Suku Anak Dalam dan Karakter Bangsa Ini
Melibatkan warga masyarakat setempat juga bisa menjauhkan investasi dari petaka yang disebut Richard M Auty “kutukan sumber daya alam” atau resources curse. Ini sebuah kondisi manakala kekayaan alam yang ada justru membuat warga masyarakat wilayah itu terjerumus dalam kemiskinan, kekurangan, dan konflik.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Saya punya seorang teman, lebih tepat kawan junior. Satu hal yang saya terus berupaya belajar kepadanya adalah keberanian dan komitmennya yang kuat untuk senantiasa jujur, dalam tindakan dan perkataan. Karena itu saya senang menyebutnya ‘Abu Dzar’, sahabat yang menurut Nabi SAW merupakan umatnya yang terjujur di dunia.
Akhir pekan lalu, dalam sebuah obrolan, dia bilang bangsa ini tak pernah punya sejarah sebagai bangsa yang besar karena urusan (mem)produksi. Alhasil, nenek moyang kita pun tak pernah tertulis dalam sejarah sebagai bangsa produktif. Tidak Sriwijaya, tidak pula Majapahit, kalau kita sepakat dua negara itulah yang menjadi tonggak-tonggak kebanggaan dalam sejarah Tanah Air.
Merunut lebih tua lagi, kita akan sampai pada Kerajaan Lobu Tua di Barus, Tapanuli Selatan. Konon, kerajaan ini sudah berhubungan dengan kebudayaan tua Mesir sejak tahun 5000-3000 SM dalam perdagangan kapur barus yang banyak digunakan orang Mesir untuk pengawetan mayat alias mumifikasi. Kisah soal Barus bahkan tertulis dalam “Geographike Hyphegesis”, kitab ilmu bumi susunan Claudius Ptolemius, ilmuwan terkemuka yang tinggal di Alexandria, Mesir, yang terbit sekitar tahun 160.
Belakangan, penjelajah asal Italia, Marco Polo, yang pada 1281-1295 menyusuri Jalur Sutra, menyebutkan bahwa Barus merupakan penghasil kapur barus terbaik. Kota Barus disebutnya bukan hanya pengekspor kapur barus terbesar di dunia, melainkan pula bandar pelabuhan internasional yang banyak didatangi kapal-kapal pedagang India dan Arab.
Pada periode sejarah yang lebih muda lagi, wilayah kita dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terkemuka dunia hingga dijuluki land of spices. Rempah-rempah itu pula yang menarik kedatangan orang-orang Eropa, untuk berdagang hingga akhirnya menjajah karena sifat rakus yang tak tertahankan.
Lihatlah, sejak lama pun penduduk wilayah yang kini disebut Indonesia itu lebih dikenal sebagai komunitas yang berbudaya ekstraktif, alias mengekspoitasi alam. Bukan komunitas berbudaya pembuat atau produsen.
Nah, menurut teman saya itu, daripada tidak fokus dan akhirnya gagal, sebaiknya bangsa ini memfokuskan diri pada urusan eksploitasi itu. Eksploitasi hutan, tambang-tambang dan mineral di dalam bumi, serta laut dengan aneka ragam hasilnya, termasuk hingga rumputnya sekalian. “Karena terlalu banyak program dan tidak fokus, akhirnya laut kita pun hanya jadi bancakan para perompak, baik perusahaan maupun negara asing,” kata teman saya.
Tinggal, kata dia, pengaturan yang ideal dan ketat tentang bagaimana mendistribusikan apa yang didapat dari ekstraksi itu secara lebih adil dan lebih merata kepada semua warga.
“Bagaimana kalau semua hasil alam itu akhirnya habis?” tanya saya, sok kritis. Malu juga saya sebagai wartawan, bila sama sekali tak menyela laiknya para host di semua acara bincang-bincang di televisi itu.
“Insya Allah, akan ada sumber alam lain,”kata teman saya itu. “Tuhan menjamin rejeki manusia di setiap generasi. Lihat saja Nikel sebagai contoh. Dulu biasa, sekarang tiba-tiba jadi bahan tambang yang nilainya meroket naik, seiring perkembangan teknologi.” Saya diam. Apalagi yang bisa saya bantah kalau orang sudah melibatkan keyakinan, bukan?
***
Apa yang diyakini teman saya itu seketika mencelat manakala sebuah artikel tentang malangnya nasib Suku Anak Dalam, Orang Rimba, atau Orang Kubu, sempat saya baca. Warga Suku Anak Dalam (SAD) telah kehilangan area hidup berupa hutan, yang sejak ratusan tahun mereka warisi dari nenek moyang. Kini, dalam tata cara hidup yang belum bergeser jauh dari cara-cara nenek moyang manakala hutan menyediakan segalanya itu, mereka harus mengais rejeki di antara sempitnya peluang di kebun-kebun kelapa sawit yang dulunya rimba raya. Hasilnya tentu saja hanya kemelaratan, nestapa dan lebih jauh lagi, ironi.
Jika akhirnya hanya akan seperti itu, mengapa misalnya tidak sejak awal warga SAD dilibatkan dalam pembangunan perkebunan sawit tersebut? Tentu saja, yang mungkin menjadi mediator tak lain pemerintah. Investor langsung melibatkan warga SAD sebagai ‘pemilik’ lahan, atau bahkan memberikan pengetahuan budi daya kelapa sawit untuk melibatkan mereka lebih jauh sebagai pemilik-pengelola kebun. Investor berfungsi sebagai bapak angkat para warga SAD yang kini beralih menjadi petani sawit, dan sebagai pembeli bahan baku manakala sawit dipanen.
Kalau pun kita tak bisa memutar ulang waktu, tak ada salahnya jika pemerintah saat ini menebusnya dengan sesuatu yang lebih melibatkan dan—otomatis—bersama investor memperlakukan mereka lebih manusiawi.
Eksploitasi, menurut saya, bahkan jauh lebih baik dibanding membiarkan hutan apa adanya tanpa pengelolaan. Telah menjadi hukum besi bahwa tanah dan lahan adalah benda pemenuh kebutuhan yang langka dan terbatas (scarcity). Seiring peradaban—atau ketidakberadaban?—manusia, ia akan makin sulit. Pencarian manusia akan tanah–di mana hutan berdiri—akan membuat deforestasi sebagai kenyataan yang makin sulit dihindari.
Sementara sebagai bagian dari umat manusia, warga SAD pun berhak hidup layak sesuai standard modern. Berhak, artinya mereka bisa mengambil kesempatan, atau tidak mengambil kesempatan untuk itu. Namun setidaknya, kita sebagai sesama harus memberi mereka kesempatan dan pilihan tersebut. Bukankah dalam diktum ‘panta rei’–semua mengalir, segalanya berubah—yang dicetuskan Heraklitos, di sana secara tersirat ada ungkapan popular Maxim Gorky, “Manusia harus hidup untuk sesuatu yang lebih baik”?
Mengapa eksploitasi bisa lebih baik bagi SAD dibanding menjadikan hutan hanya sebagai wilayah konservasi? Paling tidak warga SAD bisa mengatur penghasilan mereka sesuai kerja-kerja ekstraktif mereka, daripada terus menjadi objek pembohongan sekian banyak pihak. Buktinya, berdasarkan studi terbaru, selama bertahun-tahun masyarakat adat memelihara dan melindungi hutan, mereka menerima hanya sekitar satu persen (sekitar 46 juta dolar AS) dari sekitar 270 juta dolar AS pembiayaan perubahan iklim untuk perlindungan hutan.
Sementara, upaya itu sulitnya bukan alang kepalang. Baik karena dorongan dari dalam warga masyarakat adat sendiri seiring perkembangan kehidupan, apalagi gangguan dari luar. Belum lagi ‘gangguan’ dari negara (baca: pemerintah) sendiri atas nama investasi. Di masa pemerintahan Presiden Jokowi saja, atas nama kemudahan berinvestasi meluncurlah mulai dari paket kebijakan ekonomi I-XVI, pembatalan sekitar 3.143 peraturan daerah yang dianggap menghambat investasi, hingga lahirnya UU Cipta Kerja yang disebut banyak pihak menabrak sekian banyak hal penting terkait pemeliharaan hutan dan lingkungan, yang ironisnya di sisi pemerintah dianggap menghambat investasi.
Artinya, sebenarnya akan lebih baik, lebih berguna tak hanya bagi warga SAD melainkan juga untuk negara secara keseluruhan, untuk melibatkan sebanyak dan sedalam mungkin keterlibatan warga SAD—dan masyarakat adat lainnya di lahan yang berbeda—dalam investasi yang akan mengubah hutan dan kehidupan mereka.
Sudah bukan saatnya negara terus menjadi makelar, calo, atau bahkan tukang catut dalam investasi dan pembangunan di daerah. Lebih terhormat bila negara berdiri sebagai mediator, untuk memberikan kebaikan dan kelancaran bagi investor di satu sisi, dan menjamin kesejahteraan warga masyarakat adat di sisi lain. Toh kebaikan bagi negara tak hanya datang lewat besaran dana pajak. Kebaikan itu bisa datang lewat meningkatnya kesejahteraan masyarakatnya.
Kebaikan cara itu juga menjanjikan kelancaran usaha dan terjaganya hubungan baik serta harmoni antara investor dan warga masyarakat di mana investasi terselenggara. Hingga tak akan ada lagi kejadian seperti beberapa hari lalu, saat warga masyarakat adat Tano Batak mendatangi Kantor Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, minta agar PT Toba Pulp Lestari ditutup. Warga menilai kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dulu bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) dan sudah beroperasi di Tano Batak 30-an tahun itu, hanya membawa malapetaka.
Melibatkan warga masyarakat setempat juga bisa menjauhkan investasi dari petaka yang disebut Richard M Auty “kutukan sumber daya alam” atau resources curse. Ini sebuah kondisi manakala kekayaan alam yang ada justru membuat warga masyarakat wilayah itu terjerumus dalam kemiskinan, kekurangan, dan konflik. Sementara kesejahteraan tetap dinikmati para pengusaha rakus bersama kambrat-kambratnya, penguasa korup, yang melindungi mereka. Naudzubillah! [ ]