SolilokuiVeritas

Negara Tanpa Negarawan

Dulu, ucapan para pemimpin adalah janji yang diikat dengan kehormatan. Kini, kata-kata melayang seperti daun kering dan rapuh; lekas jatuh sebelum sempat melahirkan buah. Kursi-kursi kekuasaan semakin kerap dan rampak, tetapi jembatan menuju hati rakyat semakin renggang.

Oleh : Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, dari demonstrasi ‘Indonesia Gelap’ terpancar kenangan dan impian tentang Indonesia bercahaya. Tentang masa lalu yang penuh gagasan besar, tentang masa depan yang penuh harapan. Tentang pemimpin tercerahkan yang luas wawasan, kaya hati, cakap bertindak. Tentang para negarawan yang menyalakan cahaya keteladanan, bukan sekadar politisi yang mengejar ambisi.

Dulu, ucapan para pemimpin adalah janji yang diikat dengan kehormatan. Kini, kata-kata melayang seperti daun kering dan rapuh; lekas jatuh sebelum sempat melahirkan buah. Kursi-kursi kekuasaan semakin kerap dan rampak, tetapi jembatan menuju hati rakyat semakin renggang.

Yudi Latif

Paceklik negarawan bukan sekadar kekurangan figur, tetapi hilangnya jiwa yang memimpin dengan cinta pada rakyat dan ibu Pertiwi, bukan cinta pada kekuasaan. Bukan sekadar hilangnya sosok, tetapi meredupnya nyala keberanian, kecakapan dan ketulusan melayani rakyat.

Kita melihat panggung yang penuh suara, tetapi kosong makna. Kata-kata yang terucap sering kali berakhir sebagai gema hampa, tak menyentuh akar masalah, tak menyembuhkan luka bangsa.

Di tengah hiruk-pikuk ambisi, nilai luhur seperti keadilan dan kebijaksanaan menjadi barang langka. Kepentingan pribadi dan golongan berkelindan, menutupi pandangan akan tujuan besar: kebahagiaan rakyat.

Rakyat, yang dulu menjadi pusat perjuangan, kini sering hanya menjadi angka-angka dalam statistik. Mereka bertanya dalam keheningan: di mana mereka yang rela berkorban, bukan demi jabatan, tetapi demi kehidupan yang lebih baik untuk semua?

Di jalan-jalan, rakyat bertanya dalam diam: di mana mereka yang berani berdiri untuk kebenaran dan keadilan, bukan untuk kepentingan? Di mana mereka yang tak gentar membongkar gurita kerakusan dan kejahatan, meski harus melawan arus kekuasaan?

Betapa pun, harapan tak boleh padam. Sebab di sudut-sudut negeri, masih ada hati yang jujur, masih ada pikiran yang tajam, masih ada jiwa yang memimpikan Indonesia yang adil dan bermartabat. Mungkin, dari keterpurukan ini, kita akan belajar. Bahwa menjadi negarawan bukan soal gelar dan jabatan, tetapi soal keteguhan komitmen mengutamakan rakyat di atas segalanya. []

Back to top button