Solilokui

Oligarki dalam Ekonomi Politik Indonesia: Penguasaan Sumber Daya Alam dan Implikasi terhadap Konstitusi

Dominasi oligarki di Indonesia menjadi tantangan besar bagi demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Selama aset negara hanya dikuasai segelintir elite, cita-cita Pasal 33 UUD 1945 tidak akan pernah tercapai.

JERNIH –  Sejak reformasi 1998, demokrasi Indonesia secara formal mengalami liberalisasi politik. Namun, dalam praktiknya, demokrasi prosedural tersebut justru membuka ruang lebih besar bagi oligarki untuk mengonsolidasikan kekuatan. Jeffrey A. Winters (2011) menyebut fenomena ini sebagai oligarchy persistence, di mana kekayaan dan kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite yang mampu mengendalikan kebijakan negara.

Fenomena oligarki Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah kolonialisme yang membentuk struktur ekonomi ekstraktif, dilanjutkan oleh Orde Baru yang menumbuhkan kroniisme, dan era reformasi yang memperluas privatisasi serta liberalisasi pasar. Akibatnya, sumber daya alam—yang semestinya dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat—lebih sering menjadi instrumen akumulasi modal elite.

Sejak era reformasi hingga hari ini, wajah demokrasi Indonesia masih dibayangi kekuatan oligarki. Oligarki dalam konteks politik-ekonomi merujuk pada segelintir elite yang menguasai sumber daya ekonomi sekaligus memiliki akses kuat terhadap kekuasaan politik. Mereka bukan hanya pebisnis, tetapi juga pemilik pengaruh dalam birokrasi, partai politik, dan bahkan regulasi negara.

Demokrasi yang idealnya berarti kedaulatan rakyat, kebijakan dibuat berdasarkan kepentingan mayoritas warga negara hanya termuat di atas kertas belaka. Oligarki diam-diam lebih mengemuka, kendati berada di balik layar. Meski demikian mereka mampu mengontrol kekuasaan yang terkonsentrasi pada segelintir elite dan memiliki kemampuan membeli pengaruh politik.

Oligarki seringkali kontradiktif terhadap demokrasi. Dalam konteks Indonesia, demokrasi prosedural (pemilu, partai politik) justru menjadi arena bagi oligarki untuk memperkuat kekuasaan mereka. Dengan modal besar, mereka membiayai partai, kampanye, bahkan membeli regulasi. Akibatnya, demokrasi hanya “kulit”, sedangkan substansinya dikuasai oligarki.

MEMBACA POLA OLIGRAKI

Oligarki-oligarki yang menumpangi kekuasaan ini menunjukkan pola yang sama. Mereka menguasai aset strategis (tambang, energi, lahan, perdagangan pangan). Guna menjaga stabilitas usaha-usahanya penting, mereka memiliki akses politik langsung, baik melalui jabatan publik, partai politik, atau hubungan dekat dengan elite pemerintahan. Bahkan dalam beberapa kasus –antara oligarki dan kekuasaan- berada dalam satu lingkup keluarga sedarah.

Dengan modal dua pola tersebut output yang paling diharapkan adalah regulasi yang dapat mengamankan bisnis yang merupakan inti dari aktivitas oligarki, mereka tetap dominan meskipun terjadi perubahan rezim.

Kekuatan modal itu pula yang membuat mereka menonjol. Ditambah akses yang eksklusif semakin menyuburkan tingkah seakan menjadi raja-raja di berbagai bisnis. Oligarki ibarat siluman, tak kasatmata di depan publik, tetapi menentukan arah negara. Bergerak senyap namun dapat menekan penguasa sekalipun.

OLIGARKI DAN PENGUASAAN SDA

Indonesia negeri yang kaya akan sumber daya alam: tambang emas, batu bara, minyak dan gas, perkebunan berskala besar serta hutan tropis yang luas. Namun, penguasaan terhadap sumber daya tersebut tidak terdistribusi secara adil. Data WALHI (2020) menunjukkan bahwa 70% izin pertambangan berada di tangan segelintir perusahaan besar yang berafiliasi dengan elite politik. Namun, pengelolaannya lebih sering dikuasai oleh korporasi besar yang memiliki jaringan erat dengan elite politik.

Mereka mendapatkan konsesi pertambangan, izin eksploitasi hutan, hingga monopoli perdagangan komoditas strategis. Penguasaan sumber daya alam ini seringkali dilakukan melalui regulasi yang berpihak, di mana undang-undang dibuat atau diubah agar menguntungkan pemilik modal besar. Legislasi seperti UU Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja dinilai memberikan karpet merah bagi investor besar.

Karena memiliki jaringan yang kuat –yang bahkan sampai ke pembeli- oligarki mengubah wajah menjadi kartel perdagangan. Keleluasaannya sampai pada penentuan harga dan distribusi pangan atau energi. Sebagai kartel mereka juga memonopoli perdagangan. Komoditas strategis, termasuk pangan dan energi, sering dikuasai oleh kartel yang menekan petani maupun konsumen.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berulang kali menemukan indikasi kartel pada perdagangan daging sapi, beras, hingga minyak goreng. Akibatnya, petani ditekan dan konsumen terjebak harga tinggi.

Privatisasi terselubung pada aset negara, termasuk BUMN strategis, secara perlahan masuk ke kepentingan swasta melalui skema investasi atau utang.

Praktik-praktik tersebut tentu saja mencederai cita-cita proklamasi. Dengan jelas dan telak Mohammad Hatta bilang, “Perekonomian Indonesia tidak boleh jatuh ke tangan segelintir orang, melainkan harus disusun sebagai usaha bersama.”

PENGINGKARAN KONSTITUSI

Secara prinsipil praktik oligarki semacam ini bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dominasi oligarki dalam praktiknya bertentangan dengan amanat tersebut.

Interpretasi yang menyempitkan frasa “dikuasai oleh negara” menjadi sekadar “diawasi oleh negara” telah membuka ruang bagi liberalisasi dan privatisasi sektor strategis. Dengan demikian, oligarki secara substantif menentang konstitusi meskipun secara formal menggunakan instrumen hukum yang sah.

Aset negara dalam bentuk lahan, tambang, infrastruktur, maupun kebijakan fiskal sering kali dijadikan instrumen untuk memperkuat dominasi oligarki. Mereka memanfaatkan akses politik untuk mendapatkan konsesi jangka panjang atas lahan dan sumber daya alam. Dari sisi subsidi dan insentif fiskal lebih menguntungkan korporasi besar dibanding UMKM. Mereka membangun kedekatan pada sistem trias politika dalam bentuk proteksi hukum dan politik melalui partai, parlemen, maupun birokrasi.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa negara bukan lagi aktor independen, melainkan arena tarik-menarik kepentingan di mana oligarki memiliki posisi dominan.

Mengapa oligarki tumbuh subur dalam praktik ekonomi dan politik di Indonesia?

Alasan utama adalah akumulasi modal dan kekuasaan. Dengan menguasai sumber daya alam, oligarki mendapatkan keuntungan ekonomi besar. Sementara dengan menguasai politik, mereka dapat memastikan regulasi dan kebijakan selalu berpihak kepadanya. Kombinasi modal dan politik inilah yang menciptakan siklus oligarki sulit diputus.

CITRA OLIGARKI YANG NEGATIF DAN EKSPLOITATIF

Oligarki di beberapa negara maju sebenarnya berperan besar pada pembangunan ekonomi negaranya. Mereka masuk pula ke dalam ranah politik dengan jenjang dan kedekatan yang berbeda-beda. Sejauh sistem demokrasi yang dianut tak disenggol, oligarki di negara luar dianggap memberi kontribusi kepada negara. Terlebih bila bentuknya nyata dan dapat dirasakan warga.

Di Indonesia berkebalikan. Oligarki menjurus berkonotasi negatif dan eksploitatif. Richard Robison & Vedi Hadiz dalam Reorganising Power in Indonesia (2004), menyebut negara Indonesia pasca-Orde Baru cenderung lemah di hadapan kepentingan bisnis. Aturan main hukum dan regulasi mudah dipengaruhi oligark melalui lobi, suap, atau kooptasi politik. Berbeda dengan Korea atau Jepang, di mana negara mengendalikan oligarki untuk industrialisasi, di Indonesia oligarki justru mengendalikan negara.

Dalam politik Indonesia, hubungan antara pengusaha dan politisi sering berbasis patron-klien (saling melindungi, bukan kontrak formal yang transparan). Akibatnya, oligarki tidak terdorong bersaing lewat inovasi, tetapi lewat kedekatan dengan kekuasaan. Hal ini memicu praktik monopoli, kartel, dan korupsi (misalnya dalam impor pangan, batu bara, dan minyak).

GAGASAN REDISTRIBUSI ASET NEGARA

 Indonesia membutuhkan pemikiran yang kritis dan jalan keluar soal dominasi oligarki terutama di sektor ekonomi dan politik. Lembaga-lembaga pemikir seperti GREAT Institute misalnya dapat membicarakan persoalan-persoalan tersebut di meja diskusi. Hal ini diperlukan semata untuk mengembalikan mandat UUD 1945.

Oligarki atas nama perusahaan-perusahaan kaya memang bukan untuk dilawan. Namun kuasa monopoli dan “permainan” politiknya harus dibatasi. Sumber utama oligarki menguasai ekonomi sesungguhnya mengacu kepada penguasaan terhadap aset negara.

Membatasi oligarki berarti ada kemauan kuat melakukan redistribusi aset negara. Redistribusi tersebut dapat melalui reformasi agraria sejati. Distribusi kembali tanah dan lahan kepada petani kecil dan masyarakat adat. Melakukan nasionalisasi sektor strategis. Sumber daya alam vital (energi, pangan, tambang) harus dikendalikan oleh negara melalui BUMN yang transparan.

Pengenaan pajak progresif dan pembatasan monopoli. Membatasi akumulasi kekayaan berlebih dan mendorong pemerataan. Masyarakat sipil atau publik diberdayakan dalam pengawasan. Sebab pengelolaan sumber daya mesti transparan dan terlepas dari kepentingan sepihak korporasi itu sendiri.

Guna menyeimbangkan dominasi korporasi, lembaga koperasi dengan konsep seperti yang dicita-citakan Bung Hatta sangat diperlukan. Koperasi menjadi basis usaha yang sesuai amanat UUD 1945. Bahkan dapat berjalan berdampingan bersama UMKM.

Upaya redistribusi aset negara, penguatan ekonomi rakyat, serta keberanian politik untuk membatasi oligarki adalah kunci menuju keadilan sosial dan kemakmuran bersama. Oligarki ada tapi tak menjadi penguasa. Oligarki bekerja untuk kemakmuran rakyat tapi tetap dikontrol oleh negara.

Ekonom asal Turki, Dani Rodrik (Harvard University), “Tantangan demokrasi modern bukanlah melawan pasar, melainkan memastikan pasar tidak dikuasai segelintir orang.” (*)

BACA JUGA: Peringatan 27 Tahun Reformasi: Syahganda Nainggolan Serukan Perlawanan Terhadap Ketimpangan

Back to top button