SolilokuiVeritas

Paradoks Prabowo dalam Rencana Pembukaan 500 Fakultas Kedokteran

Kurangnya jumlah dokter seolah akan dapat diselesaikan dengan menambah pabriknya. Sebagai praktisi kedokteran, kuantitas bukan jawaban atas ketimpangan kronis dari sistem layanan kesehatan, jika kualitas pendidikan kedokteran “dikompromikan”. Alasannya, pendidikan kedokteran merupakan pendidikan profesi berbasis praktik, bukan sekadar ruang kelas. Standard mutu yang sangat penting adalah kapasitas dosen pendidik klinik dan paparan keterampilan klinis. Hampir keseluruhan pembelajarannya berada di rumah sakit pendidikan. Jika dosen pendidik klinis dan variasi kasusnya tidak memadai, lulusan FK atau calon dokter akan memiliki kompetensi yang diragukan, baik secara akademis maupun profesional.

Oleh     : Rizky Adriansyah*

JERNIH– Terdengar manis dan sangat ambisius. Tentu saja itu solusi dari para pembisik Presiden Prabowo. Pemerintah berencana membuka 500 fakultas kedokteran (FK) lagi. Jika berhasil, Indonesia akan menjadi juara satu dengan FK terbanyak di dunia, mengalahkan India, Brasil, dan Amerika Serikat, yang per tahun 2025 ini jumlahnya belum mencapai 400 fakultas kedokteran.

Tanpa standard mutu dan tata kelola yang baik, rencana tersebut hanya menjadi proyek mercusuar. Kurangnya jumlah dokter seolah akan dapat diselesaikan dengan menambah pabriknya. Sebagai praktisi dalam bidang kedokteran, menurut saya, kuantitas bukan jawaban atas ketimpangan kronis dari sistem layanan kesehatan, jika kualitas pendidikan kedokteran “dikompromikan”.

Alasannya, pendidikan kedokteran merupakan pendidikan profesi berbasis praktik, bukan sekadar ruang kelas. Standar mutu yang sangat penting adalah kapasitas dosen pendidik klinik dan paparan keterampilan klinis. Hampir keseluruhan pembelajarannya berada di rumah sakit pendidikan. Jika dosen pendidik klinis nya dan variasi kasus nya tidak memadai, lulusan FK atau calon dokter nya akan memiliki kompetensi yang diragukan, baik secara akademis maupun profesional. Pun jelas ini akan berimplikasi langsung pada keselamatan pasien dan kepercayaan rakyat.

Dunia internasional juga tidak sungkan meragukan kemampuan dokter-dokter Indonesia. Untuk menjadi FK yang diakui, apalagi ingin terakreditasi nasional dan internasional, ada standar-standar yang sangat khusus. Bersyukur, Indonesia mempunyai lembaga akreditasi untuk program studi kedokteran yang diakui internasional. Namanya Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAMPTKes). Jika ingin membuka FK, ada standard minimum yang juga sudah ditentukan oleh LAMPTKes sebagai lembaga yang independen.

Saat ini, pertumbuhan FK sangat cepat. Jumlah FK per 2024 sebanyak 114, dibandingkan tahun sebelumnya bertambah 23. Direncanakan tahun 2025 ini akan bertambah lagi 30 FK, sehingga total menjadi 144. Realitas ini sangat paradoks dengan teori ekonomi. Harusnya dengan jumlah FK yang meroket, biaya pendidikan kedokteran semakin murah dan terjangkau. Namun faktanya tidaklah demikian. Saya belum dengar ada pernyataan Presiden, bahwa dengan bertambahnya FK, pemerintah akan menggratiskan biaya sekolahnya. Yang terjadi adalah pendidikan kedokteran semakin komersial dan ladang bisnis yang menggiurkan.

Realitas saat ini, juga masih ada kesenjangan di berbagai FK dan Rumah Sakit (RS) Pendidikan, seperti kapasitas dosen pendidik klinis,  standar variasi kasus untuk pemenuhan kompetensi, standar keselamatan pasien, standar jejaring RS pendidikan. Di berbagai daerah, masih banyak FK yang belum memenuhi standar-standar tersebut. Dengan instrumen kualitatif yang saat ini diterapkan oleh LAMPTKes, saya meragukan jika banyak FK akan terakreditasi.

Di sisi lain, ada banyak lulusan FK yang tidak lulus ujian kompetensi nasional. Dahulu namanya Uji Kompetensi Dokter Indonesia UKDI), lalu berubah menjadi Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD), dan sekarang menjadi Uji Kompetensi Nasional (UKOMNAS). Namanya berubah-ubah, tapi kualitas lulusan tetap saja tidak dievaluasi secara komprehensif. Akibatnya, masalah lulusan FK yang tidak lulus ujian kompetensi terus berlangsung, seperti “bottleneck“, tidak pernah selesai setuntas-tuntasnya.

Presiden Prabowo tidak menyadari paradoks ini. Menambah FK di berbagai daerah justru berisiko memperlebar kesenjangan sosial. Biaya pendidikan kedokteran tidaklah semakin murah. Akses bagi calon dokter dari daerah tertinggal juga bukan hal yang mudah diatasi dengan kebijakan mercusuar membuka 500 FK. Akar masalah juga bukan hanya jumlah, tetapi distribusi. Ada banyak penyebab daerah 3T kekurangan dokter seperti faktor insentif, fasilitas, jenjang karier, dan keamanan. Kebijakan menambah 500 FK tidak otomatis membuat lulusan nantinya mau dan mampu bertugas di daerah dengan fasilitas terbatas.

Daripada menambah 500 FK untuk mengatasi kekurangan dokter, rasanya lebih baik pemerintah memperkuat FK yang ada. Salah satunya adalah menambah kuota calon mahasiswa kedokteran. Rasio satu dosen dan lima mahasiswa kedokteran masih dapat ditoleransi. Idealnya memang tidak lebih dari satu dosen untuk tiga mahasiswa kedokteran. Pemerintah juga dapat mengontrol biaya pendidikan kedokteran dan mendorong FK untuk mencari sumber pembiayaan lain. Dana operasional FK diupayakan tidak sangat tergantung dari uang sekolah mahasiswa kedokteran, misalnya membangun kerja sama dengan lembaga penyandang dana, membangun usaha-usaha non-pendidikan, dan lain-lain.

Untuk FK Negeri yang saat ini sedang berjalan, pemerintah perlu membantu memperkuat RS Pendidikan yang ada. Hubungan kerja sama antara FK dan RS Pendidikan harus diawasi bersama oleh dua kementerian, Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kementerian Kesehatan.

Pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan harus berjalan sinergis dalam suatu Rencana Strategis bersama. Yang terjadi saat ini, kedua kementerian ini berjalan sendiri-sendiri dan berkompetisi “rebutan program”. Sungguh memalukan, apalagi pakai jargon transformasi yang seolah-olah untuk kepentingan rakyat.

Sebagai penutup, kehebatan seorang Presiden bukan soal di angka 500, melainkan konsisten dengan Asta Cita-nya. Maldistribusi dokter dan ketimpangan layanan kesehatan adalah dua masalah yang akarnya satu. Presiden Prabowo perlu membenahi keduanya, tanpa harus merusak salah satunya. Cobalah mendengar masukan dari berbagai perspektif, terutama dari pakar-pakar pendidikan kedokteran. Memang penting bagi Presiden untuk mendengarkan laporan dari bawahan, namun berhati-hatilah dengan laporan “angin sorga” dan Asal Bapak Senang (ABS). Demikian. [ ]

* Dosen Fakultas Kedokteran USU, Medan

Back to top button