
Pemimpin meminta rakyat percaya pada pemerintah, tapi rakyat juga menuntut pemimpin percaya pada jeritan derita mereka. Jangan biarkan rumah tangga kekuasaan berpesta-pora, melambungkan tunjangan dan tunggangan mewah, sementara rakyat tersiksa oleh beban pajak dan kesulitan hidup. Kami berharap kabar baik dan sanjungan manis tidak menjadi cermin tunggal. Jangan biarkan pujian orang terdekat membuai, hingga penghargaan disematkan bukan atas kinerja nyata bagi bangsa, tapi semata-mata untuk menyenangkan para pembuai. Derita dan asa rakyat harus terungkap, tak tertutupi awan manipulasi.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, kami berharap seorang pemimpin menatap dunia tidak hanya dari menara kaca singgasana, di mana wajahnya dan lingkaran terdekatnya saja yang terpantul.
Pusat kekuasaan bukan panggung sandiwara yang harus selalu dipoles agar tampak sempurna. Di luar itu, ada kehidupan nyata dengan segala derita, ada suara dan harapan rakyat yang harus disimak—bukan sekadar diukur dari selera lingkaran terdekat.
Pemimpin meminta rakyat percaya pada pemerintah, tapi rakyat juga menuntut pemimpin percaya pada jeritan derita mereka. Jangan biarkan rumah tangga kekuasaan berpesta-pora, melambungkan tunjangan dan tunggangan mewah, sementara rakyat tersiksa oleh beban pajak dan kesulitan hidup.
Kami berharap kabar baik dan sanjungan manis tidak menjadi cermin tunggal. Jangan biarkan pujian orang terdekat membuai, hingga penghargaan disematkan bukan atas kinerja nyata bagi bangsa, tapi semata-mata untuk menyenangkan para pembuai. Derita dan asa rakyat harus terungkap, tak tertutupi awan manipulasi.
Kami berharap hati seorang pemimpin terbuka dan empatik, agar ia menyentuh kehidupan rakyat—pandangan, perasaan, penderitaan, aspirasi yang sering terabaikan. Agar ia menaruh kaki dalam sepatu mereka, berjalan di jalan mereka, melihat dunia melalui mata mereka. I-in-you—pemimpin menjadi dalam rakyat, rakyat menjadi dalam pemimpin.
Kami berharap pandangan pemimpin melihat rakyat bukan angka statistik yang mati, bukan data yang dimanipulasi. Mereka manusia yang bernyawa, kisah yang hidup, rasa yang berdetak, penderitaan yang harus dirasakan, harapan yang harus dihormati. Dengan empati tulus, dunia berhenti menjadi objek dan mulai menjadi jiwa yang layak disentuh, dihargai, dimengerti.
Dari gema resonansi itu, pemimpin dan rakyat merenda kehidupan bersama. Nada yang terhubung muncul, mengalir, tak dipaksakan, dalam ekosistem politik yang sehat dengan energi positif saling menguatkan. Setiap diri hadir, mewujudkan potensi sepenuhnya, menembus kedalaman spirit kemanusiaan dengan pikiran terbuka, hati lapang, kemauan teguh. Silih asih, silih asah, silih asuh—itulah ritme yang menuntun kepemimpinan menjadi nyawa yang menumbuhkan, bukan tikaman kesewenangan. [ ]