Salah atau tidak, menurut saya setelah sekitar sepekan menghuni penjara, bisa jadi soal kedua atau bahkan keberapa. Yang paling penting bagi seorang pesakitan, sesungguhnya adalah menerima kenyataan bahwa dirinya telah berada di dalam penjara. Itu saja dulu. Penerimaan akan membuat raga dan jiwanya menyatu dan kuat. Sementara penolakan atas kenyataan, hanya akan membuat seseorang yang tubuhnya terkekang dalam terungku, akan lebih menderita–fisik maupun psikis—karena jiwanya sok masih berada di luar tembok penjara. Ia akan terpecah dan rapuh. Lahir maupun batin.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH— Penjara sejatinya adalah miniatur dunia. Di sana kita bisa menemukan segala jenis manusia, dan karena itu di penjara pun kita bisa banyak belajar. Lebih langsung, lebih nyata, dan tentu saja karena kesibukan kita pun tak banyak, belajar di penjara bisa lebih intens.
Hanya dengan melihat seseorang, merenungkan perjalanannya sampai ke Cipinang berdasar info dan bacaan tentang dirinya di media massa, kalau ada, kita sebenarnya telah belajar banyak dari orang tersebut. Apalagi bila sempat bertemu, mengobrol bertukar pikiran dan pengalaman. Mengobrol dengan sesama napi akan membuat kita tahu bahwa hidup bukan persoalan hitam-putih. Dari sana kita bisa sedikit memahami mengapa seseorang melakukan sesuatu yang jelas-jelas hanya akan membawanya kepada bui. Mungkin tidak untuk memaafkan, tapi setidaknya untuk sedikit paham dan tak menjadikan kita berjalan di dunia dengan kemaki.
Saya banyak melakukan itu senyampang duduk beristirahat setelah 15-20 kali jalan berkeliling lapangan. Sambil menikmati udara yang sedikit lebih lega dibanding sel berterali yang pengap, sambil bermandikan sinar matahari yang mengguyur kulit dengan hangat. Di depan kita, satu persatu orang lewat, berlari kecil atau berjalan. Sama, semua menikmati hawa yang sedikit lebih segar, sinar matahari yang tak mungkin dinikmati dalam sel, dan berolahraga ringan. Sesuatu yang saat di luar penjara rasanya sama sekali tidak kami hargai.
“Oh, itukah yang mengkorupsi dana rakyat sekian banyak?”
“Nah, dia ini yang konon membiarkan satu keluarga tersekap di WC hingga mati.”
“Jangan main-main dengan yang ini. Oh, kalau yang itu…”
Biasanya Jay yang mengenalkan saya, karena seringnya saya berolahraga pagi memang dengan dia. Tidak dengan menunjuk, tentu. Kadang bahkan tak perlu melihat. Di penjara saya belajar membicarakan orang yang jaraknya mungkin hanya satu setengah meter dari kami tanpa harus ia sadari. Tak semua orang suka dibicarakan. Dan di penjara, urusan suka-tidak suka saja sudah cukup mendatangkan masalah.
Di pinggir lapangan itu pula saya ‘berkenalan’ dengan Labora Sitorus. Tentu saja, sebagai wartawan saya telah lama mengenal namanya. Sejak 2013 nama Brigadir Kepala (Bripka) Labora Sitorus memang mendadak mencelat setelah masuk dalam daftar polisi pemilik rekening gendut. Sebenarnya ia belum lagi menjadi ajun inspektur satu (Aiptu) sebagaimana ditulis banyak media. Tidak tanggung-tanggung, polisi yang bertugas di Sorong, Papua Barat, itu disebut-sebut memiliki uang Rp 1,5 triliun di rekeningnya.,
Dengan gaji pokok seorang bripka yang hanya sekitar Rp 2-3 juta sebulan saat itu, wajar bila pada 2014 itu Labora disidik institusinya sendiri yang tengah kelabakan didera isu “rekening gendut” para perwiranya. Belakangan, ia ditetapkan sebagai tersangka pencucian uang, dan seterusnya. Lalu, setelah jalin kelindan peristiwa yang tak pernah diperkirakan sebelumnya, termasuk warga Papua itu kemudian ditarik untuk diterungku di Jakarta, bertemulah saya dengannya di pinggir lapangan Lapas Cipinang itu.
Saat itu kami hanya tersimpul satu obrolan singkat. Sekadar bersopan-santun. Mungkin semacam obrolan dua penghuni komplek perumahan yang sama, yang bertemu di satu ruang publik, bagi penghuni dunia bebas di luar penjara.
Di pertengahan tahun 2018 itu saya melihat Labora seorang napi yang sangat antusias berolahraga. Pagi hari, usai waktu subuh, saya akan menemuinya berjalan setengah berlari, diikuti satu dua korve (napi lain yang suka rela jadi pembantu) yang bekerja kepadanya. Korve-korve yang berumur setengah usianya itu sering hanya mampu mengikuti setengah porsi keliling lapangan yang ‘dilahap’ Labora.
Siang hari di waktu Dhuhur, manakala usai berjamaah di masjid besar napi lain biasanya dikumpulkan dalam sel untuk penghitungan siang hari, Labora punya izin kembali berolahraga. Saya biasa bersirobok dengannya sepulang dari masjid, saat bersegera menuju sel untuk dihitung. Pakaian yang dipakainya tergolong sederhana, dibanding beberapa napi yang tak jarang seolah masih berpikir mereka tengah berolahraga di jalan Sudirman saat car free day. Labora hanya berkaos singlet ala pemain basket, dengan celana pendek agak gombrong. Hanya sepatunya yang mencolok, mendesakkan keberadaannya yang punya harga: Nike keluaran terakhir dengan bantalan sol yang lembut dan membuat pemakainya nyaman berjalan sejauh mungkin.
Sore hari, menjelang maghrib, kembali Labora akan berolahraga, berjalan mengelilingi lapangan yang mulai dikosongkan. Waktu selepas maghrib memang menjadi penanda bagi para napi untuk masuk sel, hingga boleh kembali keluar sel dan blok saat pagi datang.
Dengan rutinitas olahraga sedemikian ketat itu, wajar bila yang berembus kemudian adalah rumors. Tentang Labora memakai obat inilah-itulah; bahwa ia pecandu zat yang membuat pemakainya merasa harus selalu bergerak aktiflah. Ini-itu.
Sampai suatu hari ke blok saya, Blok Tipe 5 lantai 2 KB, datang seseorang. Terkesan terlalu santun untuk ukuran penjara. Mungkin pula antara lain karena blok yang saya tempati adalah blok kriminal, sementara saya pun satu sel dengan para pembunuh yang punya vonis hukuman lumayan lama. Artinya benar isu yang saya dengar, blok saya punya ‘maqam’ khusus di kalangan para napi.
“Bang,” katanya setelah sedikit berbasa-basi dengan Mas Opan yang saat itu ada. Jay, entah sedang di mana. “Bang Labora minta Abang datang ke tempat beliau. Sekarang juga, kalau bisa.”
Saya tentu tak bisa menolak. Pasalnya jelas, saya sedang tak punya kegiatan apa pun. Belajar mengaji dan bahasa Arab di masjid, sudah selesai satu jam sebelumnya.
Bersama korvenya itu, saya pun masuk blok khusus koruptor. Nama yang datang dari para pengisi penjara, sebenarnya. Secara resmi blok itu justru blok isolasi, satu sel untuk satu orang. Dari blok ini sekitar sebulan sebelumnya baru saja Robert Tantular, terpidana kasus Century, yang dijatuhi hukuman akumulatif 21 tahun, baru saja bebas bersyarat setelah menjalani 10 tahun masa hukumannya.
Saya tak hendak melukiskan kondisi ‘blok koruptor’ dibanding kondisi blok-blok lain yang ada di Lapas Cipinang. Bukan tak ingin, hanya tak mau kehilangan fokus. Mungkin lain kali, pada bagian lain yang relevan. Namun yang jelas, sebenarnya dengan sendirian dalam sel, menurut saya perasaan diterungku menjadi orang bui pun terasa lebih kuat. Beda dengan sel yang saya huni bersama sembilan orang lainnya. Kadang-kadang muncul perasaan laiknya penghuni asrama di masa muda. Karena dalam kondisi seperti itu, kelakuan dan cara bercanda pun kadang off-side tak ingat usia.
“Masuk, Bang!” kata Labora, menyilakan, saat saya datang.
Ia langsung menyilakan saya untuk menikmati apel Fuji dan anggur hijau bening yang tampak bontot bernas, menjanjikan buah yang manis berair, dengan nuansa rasa asam yang segar. Ia tak perlu mengulang, saya langsung mengulurkan tangan, memetik beberapa buah anggur.
“Makan buah, bagus buat kesehatan kita,” katanya, lebih sebagai kalimat yang meluncur begitu saja tampaknya, mencairkan kekakuan.
Hanya semenit kemudian Labora bercerita tentang kasusnya. Saya mendengarkan, mencoba memilah mana yang pernah saya ketahui sebelumnya dari media massa, mana yang belum. Selama mendengarkan itu, tak terasa seikat anggur sudah ludas saya makan.
“Silakan! Silakan!” kata Labora. Ia beranjak dari duduk dan menarik keranjang dari bawah ranjang. Seikat anggur, kali ini berwarna merah muda, menggantikan anggur hijau bening yang tadi teronggok di piring.
Saya tidak begitu mengerti jalin-kelindan persoalan hukum yang menimpanya. Saya nyaris buta hukum, bahkan. Beberapa pertanyaan yang diajukan Labora kebanyakan saya jawab berdasarkan common sense dan logika. Selebihnya, saya lebih banyak memintanya bersabar dan menerima. Salah atau tidak, menurut saya setelah sekitar sepekan menghuni penjara, bisa jadi soal kedua atau bahkan keberapa. Yang paling penting bagi seorang pesakitan, sesungguhnya adalah menerima kenyataan bahwa dirinya telah berada di dalam penjara. Itu saja dulu. Penerimaan akan membuat raga dan jiwanya menyatu dan kuat. Sementara penolakan atas kenyataan, hanya akan membuat seseorang yang tubuhnya terkekang dalam terungku, akan lebih menderita–fisik maupun psikis—karena jiwanya sok masih berada di luar tembok penjara. Ia akan terpecah dan rapuh. Lahir maupun batin.
Kisah hidupnya di masa muda menegaskan bahwa Labora seorang jawara. Orang yang liat dan tahan banting digodam persoalan. Datang dari Medan sebagai pemuda 19 tahun pada 1981, Labora bersama dua temannya, Robin Manurung dan Robert Sitorus, tak langsung menuju Papua. Ketiganya berlayar untuk merantau ke Jakarta. Merasa lebih banyak luntang-lantung tanpa tujuan, ketiganya menumpang kapal Tampomas menuju Surabaya. Tampaknya ini bukan kapal yang tenggelam dan mengorbankan sekian banyak orang kecil di perairan Masalembo itu. “Ada paman saya di Surabaya,” kata Labora.
Di Surabaya, mereka sempat menumpang di rumah paman Labora. Agar tidak sepenuhnya memberatkan, mereka berjualan es tebu. Namun semua itu hanya bertahan dua pekan. Ternyata, tidak enak tinggal menumpang, meski di saudara.
Akhirnya, hanya dengan uang Rp 35 ribu di tangan, Labora dan kedua temannya menyelinap masuk kapal barang ‘Waya Bulla’ yang siap berlayar ke Papua, Irian Jaya saat itu. Kepergok, sang kapten kapal masih tergolong baik. Mereka hanya diminta bantu-bantu cuci piring, menyapu dan mengepel lantai kapal, sebagai pengganti biaya makan dan menumpang selama perjalanan.
Tiba di Pelabuhan Jayapura, ketiganya berpisah. Labora memilih bekerja serabutan di terminal, yang jaraknya tak terlalu jauh dari pelabuhan. Ia berasumsi, jarak itu memudahkannya bekerja serabutan di kedua tempat, tergantung kondisi yang ia lihat kemudian.
Di pekan-pekan pertama kedatangan itu Labora bercerita, sempat beberapa hari hanya mengisi perut dengan pisang sebagai penahan lapar. Pisangnya ia dapatkan dari kebun orang yang luas. Kebun pisang bergubuk itu kemudian menjadi tempatnya tidur saat malam. “Saya bakar pisang itu sebelum dimakan,” kata Labora, mengenang.
Sepekan di Jayapura, manakala dapat kesempatan, Labora pun berangkat menuju Sentani. Ibarat Abdurrahman bin Auf saat hijrah ke Madinah, yang pertama kali dicari Labora adalah pasar. Ketemulah Pasar Hamadi. “Di pasar, selalu ada pekerjaan yang memungkinkan orang dapat uang,” kata Labora. “Syaratnya hanya satu: jangan malas.”
Benar, selalu ada pekerjaan di Pasar Hamadi. Sejak awal Labora selalu menunjukkan bahwa dirinya ringan tangan. Tak heran, hanya satu dua hari ia telah memiliki ‘pekerjaan’, meski paruh waktu atau apa pun namanya. Bukan hanya di satu tempat. Ada dua warung nasi yang harus dibantunya seharian: warung nasi milik Simanjuntak, dan warung nasi milik Hamdani, seorang Bugis.
“Saya bolak-balik kedua warung, melakukan semua pekerjaan yang mungkin. Mengepel, menyapu, cuci piring,” kata Labora. Meski namanya ‘paruh waktu’ kita dapat mengira-ngira betapa sibuknya bekerja di dua warung nasi sekaligus. Itu yang membuat Labora akhirnya memilih satu di antaranya: warung milik Hamdani.
Namun senyampang bekerja di dua tempat itu, mata Labora awas melihat peluang kerja. WC umum dan banyak WC di kios-kios yang ada di pasar itu terlihat jarang dibersihkan. Mulailah Labora di sela kerjanya menawarkan diri untuk membersihkan WC-WC tersebut.
“Yang saya tawarkan terutama menguras WC, karena bayarannya cukup besar,” kata Labora. Umumnya WC-WC itu tidak bersistem septic tank, melainkan hanya sejenis kolam penampungan yang harus dikuras manakala penuh. Ia menyatakan, saat itu dibayar sekitar Rp 65 ribu untuk menguras satu WC. Upah yang setara dengan buruh bangunan saat itu. Ia mengaku dapat banyak uang dari menguras WC, terutama karena tak ada pesaing sama sekali. Robert dan Robin—yang kemudian ikut juga datang ke Sentani, pun hanya mau bekerja sebagai buruh bangunan. “Hanya aku yang tega bekerja menguras WC. Istilahnya berkubang tahi orang,” kata Labora.
Tapi Labora punya kiat melawan bau tinja. Dibelinya minyak tanah, setidaknya lima liter, dengan jerigen besar. Seluruh minyak tanah itu dibuangnya ke dalam kolam penampungan tinja. “Lalu penutup kolam kubuka, kuaduk. Setelah baunya hilang, aku terjun ke kolam, mengangkutnya ember demi ember untuk dibuang ke kebun pisang.”
Tiga bulan kemudian, Labora mendaftar sebagai mahasiswa Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), yang berlokasi di SMA Paulus. Ia termasuk angkatan pertama perguruan tinggi tersebut. Labora mencoba menjalani kehidupan sebagaia mahasiswa di tengah perjuangan hidup yang berat. Kuliahnya malam, sekitar tiga jam. Saat ujian semester pertama sebanyak 12 mata kuliah digelar, Labora bertabrakan dengan kenyataan: semua mata kuliah yang diambilnya harus di-HER, alias diulang. Pada semester berikutnya, hanya satu mata kuliah yang lulus di antara sebagian besar yang juga harus diulangnya.
“Saya memang bodoh, meski rajin,”kata Labora, saat itu dengan senyum yang tak sepenuhnya terlihat pahit.
Benar, dan selain rajin, Labora keras kepala. Semasa kuliah dus kerja serabutan itu ia layangkan surat lamaran kerja ke tujuh instansi berbeda. Bea Cukai, Polsus Hutan, Dinas Statistika, Polisi, Freeport, Dinas Perhubungan Udara, adalah sebagian dari ketujuh instansi yang menerimanya sebagai pegawai saat itu.
“Hanya di Perhubungan Udara itu aku gagal, karena ujiannya sangat ilmiah,” kata Labora. Saya tak hendak mengejar dengan bertanya apa yang ia maksudkan ‘ilmiah’ itu.
Yang dipilih Labora adalah PT Freeport. Dari Sentani ia diberangkat bersama 29 orang lainnya ke Timika, dengan Fokker-28. Ternyata itu baru seleksi tahap awal. Ia kemudian bergabung dengan 11 orang lainnya dalam satu regu. Dari regu tersebut, Labora termasuk di antara tujuh orang yang diterima bekerja.
“Gajiku saat itu besar sekali menurutku. Gaji pertamaku itu kukirim ke Medan untuk biaya operasi perut Ibu, yang memerlukan biaya sekitar Rp 600 ribu. Kukirim via wesel pos,” kata Labora. Dengan gaji yang diterimanya itu pula, sejak itu Labora bisa membiayai adiknya yang bersekolah di SMA Budi Luhur, Jakarta, sekitar Rp 35 ribu sebulan.
Lalu bagaimana bisa Labora akhirnya jadi polisi? Merasa tak cocok bekerja ratusan meter di dalam tanah, Labora akhirnya mengundurkan diri. Mulailah Labora kembali bekerja serabutan. Kali ini sudah mengarah ke sisi bisnis, yakni berjualan ikan. Kenal dengan banyak orang di Freeport yang memberi karyawan mereka minuman keras mahal semacam Johnny Walker, Jack Daniels dan sebagainya, Labora pun membeli berbotol-botol minuman asli ‘sisa-sisa’ konsumsi karyawan. Itulah yang ia jual kepada banyak orang Papua yang memerlukan saat itu.
“Untungnya lumayan. Karena botol-botol itu kumasukkan perut ikan. Orang yang beli minuman harus juga beli ikannya,” kata Labora, tersenyum dengan mata memancarkan perasaan cerdik.
Saat itulah, Labora mengaku berkenalan dan menjain hubungan baik dengan seorang wakil Kapolda Irian saat itu. “Beliau yang memintaku daftar jadi polisi,” kata Labora. Sejak Maret 1986 itu pun Labora resmi menjadi personel Polri.
Ternyata menjadi polisi tak membuat passions Labora untuk berbisnis kempis. Alih-alih surut, ia bahkan mengumpulkan uang untuk membeli tanah-tanah warga yang tengah membutuhkan uang. “Tidak hanya tanah, tapi juga kayu-kayu seperti Merbau atau kayu besi,” kata Labora. Menurut dia, warga yang butuh uang untuk keperluan anak, atau pesta adat, sering menjual kayu jauh di bawah harga. Dari situlah, paling tidak pengakuan Labora, pelan tapi pasti kekayaan Labora pun bertambah menumpuk. Kurang dari satu dekade bertugas di Sorong, Labora telah memiliki penggergajian kayu (sawmill) sendiri.
Namun, menurut Labora, tidak setiap penghasilan itu dinikmatinya sendiri. Selain kemudian membangun armada kapal untuk perdagangan hasil bumi antarpulau di Papua, untuk keperluan tugasnya Labora pun membangun kapal khusus. Dengan kapal itulah ia merasa lebih efektif menjadi aparat Polri yang mengawasi Pulau Misool, Pulau Tolabi, Pulau Belal (Balal) dan Pulau Kofiau.
“Saya bangun kapal sendiri buat bertugas. Tanpa kapal itu, memangnya saya mau berenang dari pulau ke pulau?” katanya, terkekeh.
Kami ternyata mengobrol lama, hampir lima jam. Saya keluar selnya ketika adzan magrib berkumandang. Saat saya melangkah keluar, ia berkeras memasukkan tangannya ke saku celana saya. Gampang saya duga, uang. Saya sempat menolak. Bukan sekadar basa-basi, tapi tak enak. Uang untuk apa? Tak ada keringat saya yang menetes, tak ada waktu istirahat saya yang dipakai untuk keperluannya.
“Saya tadi banyak bertanya,” kata dia, setelah sekian kali saya berkeras mengembalikan. “Jawaban Bang Darmawan membuat saya luput dari kehilangan lebih banyak lagi,” kata dia.
“Okelah,” kata saya dalam hati. Anggap saja ini honor konsultasi.
Saat saya keluar Lapas Cipinang, 3 Januari 2019, saya tak sempat berpamitan kepada Labora. Ia juga memang tengah tak bisa didatangi. Sakit dan dirawat di RS Pengayoman. Sampai hari ini saya belum mendengar kabarnya lagi. Semoga ia kini sehat. Anak-anak muda perlu berbagi kiat dengannya, untuk menjadi sosok yang liat menghadapi kerasnya hidup. [dsy]