Pada kitab tua ”Illiad” yang ditulis Homerus (abad ke-8 SM?), diceritakan bahwa masa kecil para penguasa negara-kota atau polis selalu diasuh-dididik seekor makhluk setengah hewan setengah manusia. Bagi filsuf politik Niccolo Machiavelli yang lahir ribuan tahun kemudian, kisah itu hanya kiasan. Intinya, seorang politisi, seorang penguasa, harus tahu bagaimana mengombinasi kedua sifat itu. “Yang satu tanpa keberadaan yang lain,” kata Machiavelli,” tak akan menjamin kekuasaan yang lama.”
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Pada kitab tua ”Illiad” yang ditulis Homerus (abad ke-8 SM?), diceritakan bahwa masa kecil para penguasa negara-kota atau polis selalu diasuh-dididik seekor makhluk setengah hewan setengah manusia. Bagi filsuf politik Niccolo Machiavelli yang lahir ribuan tahun kemudian, kisah itu hanya kiasan. Intinya, seorang politisi, seorang penguasa, harus tahu bagaimana mengombinasi kedua sifat itu. “Yang satu tanpa keberadaan yang lain,” kata Machiavelli,” tak akan menjamin kekuasaan yang lama.”
Sebegitu kejikah politik? Saya tidak tahu. Meski Nabi pernah bersabda,” “Laknatullah ala as-siyasah–Laknat Allah atas politik”, tentu yang beliau maksud tidaklah melaknat politik secara keseluruhan. Bagaimanapun politik adalah bagian dari kehidupan, semata alat untuk berjalannya tata-tertib dan etika berhimpun, bernegara. Dan karena ia alat, keyakinan Jenderal AH Nasution tentang,”Not the gun, but the man behind the gun” masih bisa kita pegang dan yakini.
Tetapi bila negeri ini dianggap sebagai preparat yang kita letakkan di bawah –katakanlah–mikroskop politik, barangkali yang dikatakan cendikiawan Muslim, Yudi Latif, benar adanya. Ada gejala bahwa praktik politik-kenegaraan di negeri ini telah direduksi sekadar menjadi perjuangan kuasa (demi kuasa), ketimbang sebagai proses pencapaian kebajikan bersama. Di kekinian negeri ini, politik dan etika sepertinya tak hendak menyatu, laiknya terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti keadaban, responsibilitas, keadilan dan integritas pun, runtuh.
Barangkali terlalu dramatis untuk menyatakan adanya pengkhianatan dalam kasus pemilihan Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Anies Baswedan di Koalisi Perubahan. Tetapi tampaknya semua orang dengan gampang bersepakat bahwa ada etika dan keadaban yang lupa disertakan di dalam keputusan itu. Setidak bila apa yang dinyatakan terbuka oleh Partai Demokrat bahwa putusan diambil Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh secara sepihak itu benar. Demokrat menyatakan, partainya, juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sama sekali tidak diajak bicara. Dan kita kemudian tahu, tak hanya menegaskan kecewa, Partai Demokrat pun telah menyatakan keluar dari Koalisi Perubahan.
Bukan pertama kali
Sebenarnya, hal seperti itu bukan pertama kali ini terjadi di Indonesia. Dengan hanya satu dua klik di mesin pencari, kita dengan gampang menemukan bahwa dengan berbagai variasinya, fenomena seperti yang dialami Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu telah terjadi “sejak” 2004.
Saat itu, beberapa waktu sebelum Pilpres pertama dengan sistem baru, Megawati (kala itu presiden) bertanya mengenai rencana keikutsertaan SBY dalam Pilpres 2004. Bahkan banyak versi menyebutkan bahwa Mega, yang tertarik dengan elektabilitas SBY, mengajak Menkopolkam-nya itu mendampinginya sebagai cawapres. SBY disebut-sebut menolak, dengan alasan dirinya tak akan ikut dalam kontestasi. Persoalannya, kita tahu, SBY ternyata maju ke Pilpres 2004, bahkan pada posisi langsung berhadapan dengan Megawati, sebagai capres.
Peristiwa itu kembali terangkat dan mengundang “baper” keluarga besar PDIP pada Februari 2021 lalu. Saat itu melalui akun YouTube, mantan Sekjen Partai Demokrat, Marzuki Alie, bercerita bahwa pada 2004 SBY sempat mengajaknya bertemu di hotel. Di sana berlangsung obrolan soal ‘kecolongannya’ Megawati.
“Pak SBY menyampaikan, “Pak Marzuki, saya akan berpasangan dengan Pak JK. Ini Bu Mega akan kecolongan dua kali ini”,”kata Marzuki, menirukan perkataan SBY kala itu. “Kecolongan pertama, dia (SBY) yang pindah. Kecolongan kedua, dia ambil Pak JK. Itu kalimatnya,”kata Marzuki, seraya mempersilakan pernyataannya itu dikutip.
Lima tahun kemudian, SBY kembali mengecewakan orang. Kali ini wakilnya, Wapres Jusuf Kalla. Pasalnya, Kalla yang saat itu berpikir masih akan ‘dipakai’, ternyata ditinggalkan. Prosesnya juga berlangsung diam-diam. DetikNews pada Kamis, 14 Mei 2009 menulis, SBY kemudian memilih Boediono, yang penetapannya sempat menuai kecaman. Partai pendukung koalisi yang dibangun Partai Demokrat (PD) saat itu seperti PKS, PAN, serta PPP tidak diajak ikut berembuk. PAN saat itu bahkan semoat melayangkan protes, meski kemudian menyatakan memahami.
Tampaknya persoalannya cukup panas, sehingga pengamat politik Tjipta Lesmana waktu itu mengatakan SBY takabur dan sombong. “Langkah SBY yang diam-diam memilih Boediono sebagai cawapres telah melecehkan partai koalisi pendukung. Tindakan itu merupakan sebuah kesombongan dan sikap takabur SBY. Karena SBY seolah-olah sudah menjadi presiden mendatang,”kata Tjipta. Ia juga mengingatkan bahwa SBY secara terbuka pernah menyatakan lima kriteria cawapres, salah satunya harus berasal dari parpol. Nyatanya, SBY justru memilih Boediono yang tidak mewakili unsur parpol. “Tindakan SBY tersebut bisa dikatakan inkonsisten. Ucapannya berbeda dengan perbuatannya,” kata dia.
Tetapi pilihan SBY terbukti benar dan menguntungkan pihaknya. Bersama Boediono ia terpilih dengan suara meyakinkan, 73.874.562 suara atau 60,80 persen. Sementara pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto memperoleh 32.548.105 suara atau 26,79 persen, dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto meraih 15.081.814 suara atau 12,41 persen.
Lima tahun lalu, Maret 2018, SBY membuka alasan pemilihan JK dan Boediono di masa lalu. Menurut Presiden ke-6 itu, seorang capres dalam memilih calon cawapres harus melihat integritas, kapasitas, dan terutama kecocokan. Selain itu, yang perlu dicermati adalah peluang untuk menang. “Jangan keliru memilih pasangan yang salah, kemudian tidak berhasil. Itu yang saya jadikan patokan dulu,” kata SBY dalam video yang diunggahnya di akun Facebooknya.
Belum lima tahun lalu kita juga melihat kejadian bernuansa “PHP” itu kembali terulang. ‘Korbannya’ kali ini Mahfud MD. Dijanjikan Jokowi untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden untuk masa jabatan kedua, Mahfud tersingkir pilihan Jokowi kepada Ma’ruf Amin. Konon, waktu itu Mahfud sudah menyiapkan pakaian putih, dress-code pasangan itu saat deklarasi.
All the president’s men
Bila Muhaimin akhirnya resmi terpilih sebagai cawapres Anies, alhasil yang pasti ‘menang’ pada Pilpres mendatang adalah Presiden Jokowi. Ketiga pasangan calon—bila kemudian tak ada yang mencoba membuatnya jadi empat—boleh dibilang “all President’s men”, alias orang-orangnya Jokowi juga. Seorang teman di grup WA bilang, dengan terpilihnya Cak Imin, otomatis tak ada lagi apa yang selama ini disebut “antithesis Jokowi”.
Pernyataan tersebut boleh jadi benar. Bagaimanapun ketiga pasangan ‘memiliki’ unsur ‘orang Jokowi’. Tak usahlah kita lihat pasangan Prabowo atau pasangan Ganjar dengan sekondannya nanti. Sebagai ketua umum PKB, partai yang selalu ikut dalam koalisi Jokowi, artinya selama Cak Imin senantiasa “sumuhun dawuh” kepada semua kebijakan pemerintahan Jokowi. Termasuk hal-hal kontroversial dan secara common sense merugikan, UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja, misalnya.
Konsekuensi lainnya, besar kemungkinan siapa pun pasangan calon yang terpilih via Pilpres kelak, mereka adalah pasangan yang akan melanjutkan kebijakan Jokowi selama ini. Salah? Tentu tidak. Tetapi bahwa hal itu membuat rakyat memiliki pilihan yang kurang “asyik”, tentu saja. Bagi para pegiat Golput—yang selalu muncul di setiap Pemilu—ini juga menjadi momen mereka untuk kembali berkampanye.
Yang menarik dipertanyakan adalah mengapa Anies Baswedan terkesan begitu mudah “dikalahkan” keinginan Surya Paloh? Paling tidak, Anies bisa mengulur waktu, melempar wacana pemilihan Cak Imin itu ke publik. Setidaknya dengan begitu, baik public maupun Partai Demokrat dan PKS tidak merasa ditodong fait accompli.
Yang juga banyak diperhatikan publik, termasuk senior saya ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, absennya Anies mengaplod akun Instagram-nya seharian kemarin. Tak ada feed apa pun yang dikirim Anies di Instagram-nya. “Padahal biasanya setiap hari rajin berbagi info,” tulis Kang Reza kepada saya melalui pesan WA.
Anies justru seolah membenarkan analisis Timothy Snyder dalam bukunya, “The Road to Unfreedom“, yang melihat kecenderungan komunitas politik terjebak dalam persepsi “ketiadaan alternatif”, yang menghadirkan “politik ketakterhindaran”. Fakta begitu gampangnya Anies mengiyakan pilihan Surya Paloh memberikan pesan kepada khalayak bahwa ia tak hendak mengambil keputusan yang ‘out of the box’ dari sesuatu yang dianggap “tak terhindarkan”. Sementara—paling tidak menurut dialog-dialog di film Hollywood— manusia sejatinya selalu punya pilihan. Juga untuk tidak memilih sama sekali.
Langkah bangsa ke depan
Bahwa krisis politik kita telah berada di stadium akut, telah banyak orang yang menegaskannya. Karena itu, para penyokong tata kenegaraan madani harus berupaya untuk memulihkannya. Sebab, jelas kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Indonesia yang lebih baik, menurut Yudi Latif memerlukan visi politik baru dengan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera yang taat asas dengan prinsip moral publik.
Visi tersebut, kata Yudi, harus berangkat dari keinsyafan bahwa kehilangan terbesar bangsa Indonesia bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah atau popularitas tokoh, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat moral kehidupan bernegara. Karean itulah, sebuah usaha “national healing” harus dilakukan dgn menjangkarkan kembali kepentingan pada nilai. Dan itu urgen. [ ]