Solilokui

Percikan Agama Cinta: Ahmad, Generasi Unggul Anti-Kemapanan Instan

Kalau keluarganya amburadul, mustahil seseorang itu bisa tumbuh menjadi pemimpin sejati. Kualitas diri seorang pemimpin tercermin dari karakter keluarganya.

JERNIH—Saudaraku,

Hai! Aku mau cerita tentang sosok manusia keren. Sebut saja namanya: Ahmad (bukan nama sebenarnya). Dia orang biasa. Orang kampung, bau lisung. Tapi ia menyimpan sejuta inspirasi. Dalam perilakunya memancar: bibit, bobot, bebet. Simaklah.

Deden Ridwan

Bibit. Ahmad adalah manusia yang kenyang makan asam garam. Sejak kecil ia terbiasa hidup melarat. Bapaknya mengajarkan bagaimana cara hidup disiplin, bertanggung jawab, dan tahu diri. Ibunya menanamkan nilai-nilai kehidupan, seperti berbagi kepada sesama, dan tidak jumawa. Ajaran kedua orangtuanya-lah yang turut membentuk karakter Ahmad sebagai suami dan ayah bagi anak-anaknya.

Ketahuilah. Hidup serba kekurangan tak membuat keluarga asal pelosok pantai selatan ini patah arang. Sebagai anak pangais bungsu, Ahmad tahu diri. Sebagai lelaki desa, sedari kecil telah diajarkan cara beragama dalam cita rasa tradisi santri. Di pundaknya terpikul masa depan keluarga. Ia adalah pengharapan orangtua untuk bangkit. Menaikkan derajat dan menjaga kehormatan keluarga. Lantaran itu pula, ia pun menjelma jadi lelaki pekerja keras, tangguh, gagah, peduli—hingga hari ini.

Bobot. Lepas pendidikan 1996, ia ditempatkan jadi staf peneliti sebuah LSM. Tiga tahun berselang, tepatnya pada Juni 1999, ia menikah dengan tambatan hatinya. Ia yakin, sang istri yang saat itu berstatus sebagai guru swasta, mampu menjadi pendampingnya seumur hidup. Keduanya pun seirama menempuh pasang surut kehidupan.

Kala menikah, Ahmad bekerja dengan gaji pas-pasan. Sangat jauh dari kata cukup untuk membiayai hidup. Ketika menikah, bulan madunya dilewati dalam sebuah rumah kontrakan sempit beralaskan kasur lipat, ditemani tumpukan buku-buku.

Pada tahun pertama menikah, keluarga mereka sarat ujian. Gaji pas-pasan. Kadang kurang, kadang berutang. Gaji bulanan pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setengah bulan. Guna menyambung nasib, sering kali mereka hanya makan mie saja. Tapi hebatnya, mereka tak pernah mengeluh. Mengalir. Bergerak ke depan dengan penuh keyakinan dan optimistik. Jauh sekali dengan kenyataan anak-anak muda sekarang yang cenderung serba instant.

Bebet. Biduk rumah tangga mereka pun dikarunai tiga orang anak. Walaupun kini–kata orang–sudah tergolong sukses, kepada anak-anaknya, Ahmad berusaha mengajarkan kesederhanaan dan kemanusiaan sesuai prinsip nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ālamīn. Ia ingin anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi rendah hati, luhur, dan bersyukur dengan segala karunia yang diterima. Walaupun tampil gagah-tampan, anak-anak mereka diajarkan untuk tetap menunduk: memuliakan sesama manusia.

Ya, anak-anak mereka ditekankan untuk selalu mencintai ilmu. Jika anak-anaknya dilmpahi kekayaan berlimpah, jadilah orang kaya bermanfaat sekaligus bermartabat. Itu pula nilai-nilai sekaligus doa yang ia tanamkan dalam keluarga sejak dalam pikiran dan hati.

Saudaraku, aku yakin. Sosok Ahmad bisa menginspirasi hidupmu. Pantas pula, ia menjelma menjadi ikon keluarga sukses-bahagia. Ingat, pemimpin tangguh itu selalu berasal dari keluarga yang hebat. Dan, keluarga hebat atau tangguh itu pasti lahir dari iklim bahagia.

Jika keluarganya berantakan dipastikan jiwa seseorang itu hancur pula. Kalau keluarganya amburadul, mustahil seseorang itu bisa tumbuh menjadi pemimpin sejati. Kualitas diri seorang pemimpin tercermin dari karakter keluarganya.

Maka, ayo kita selamatkan negeri ini bermula dari dalam diri keluarga masing-masing. Dari keluarga hebat-bahagia inilah, akan lahir pemimpin-pemimpin tangguh: peduli rakyat, toleran, dan demokratis berbasiskan nilai-nilai Islam Rahmatan Lil alamin. [Deden Ridwan]

Back to top button