“Percikan Agama Cinta” : Ahnaf bin Qais, Muslim Sejenis Uwais al-Qorni, yang Mendapat Doa Nabi
“Duhai Allah, jika Engkau menyiksaku maka aku (memang) pantas untuk itu, dan jika Engkau mengampuniku maka Engkau (memang) berhak untuk itu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 287).
JERNIH– Saudaraku,
Dalam kitab “al-Zuhd”, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan sebuah riwayat tentang Sahabat Ahnaf bin Qais ra yang kerap menganalisis dirinya dengan Al-Qur’an. Sebuah teladan yang pantas untuk digugu.
Suatu ketika ia berkata, “Aku memeriksa diri berdasarkan Al-Quran, kemudian tidak kudapati sesuatu dalam diriku yang lebih serupa denganku (selain) ayat ini (QS. At-Taubah: 102): “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 288)
Ketahuilah. Ahnaf bin Qais (w. 72 H) adalah generasi salaf yang terkenal kemurahan hatinya. Pemimpin kabilah Tamim yang lahir di Bashrah. Ia memeluk Islam di masa Nabi (aslama fî hayâtin nabiyyi), tapi seperti Uwais al-Qarni, beliau belum sempat menjumpainya. Ia mengambil riwayat hadits dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Abbas, Ibnu Mas’ud, Utsman bin ‘Affan, dan lain sebagainya.
Para muridnya adalah ‘Amr bin Jawan, Hasan al-Bashri, ‘Urwah bin Zubair, dan lain sebagainya (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 4, h. 87-88).
Renungkanlah. Ahnaf ra juga pernah didoakan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini diketahui ketika ia bertemu dengan seseorang dari Bani Laits yang pernah dikirim Rasulullah untuk menyebarkan Islam kepada kaumnya. Orang tersebut bercerita bahwa Rasulullah Saw pernah berdoa: “allahummaghfir lil-ahnaf” (Ya Allah, ampunilah Ahnaf). (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 88-89).
Selamilah. Ahnaf ra yang gemar memeriksa diri dengan cara yang unik itu, menemukan dirinya sangat mirip dengan yang diungkapkan Surah At-Taubah ayat 102 itu, bahwa ia termasuk orang yang mengakui dosa, tapi masih mencampuradukkan pekerjaan baik dan buruk.
Pada satu waktu ia melakukan perbuatan baik, lain waktu ia melakukan perbuatan buruk. Sebagai seorang hamba yang telah mengakui dosa-dosanya, ia merasa malu karena masih sering mengulangi perbuatan tercela yang terus berulang. Karena itu, ia selalu berharap tobatnya diterima.
Meski demikian, ia memasrahkan semua itu ke hadirat Allah melalui sebuah doa:
“Duhai Allah, jika Engkau menyiksaku maka aku (memang) pantas untuk itu, dan jika Engkau mengampuniku maka Engkau (memang) berhak untuk itu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 287).
Saudaraku, semoga waktu kita cukup tuk berbenah diri. Amin ya Allah yaa rabbal alamin… [Deden Ridwan]