“Percikan Agama Cinta”: Kau Definisikan Cinta Hanya untuk Mengerdilkannya
Cinta adalah “laut ketakadaan,” kata Rūmī. Tabir kerahasiaan selalu mengerudunginya. “Apa pun yang kaukatakan atau lakukan untuk menanggalkan tabir itu, kau akan menambahkan selapis tabir lagi di atasnya.”
JERNIH– Saudaraku,
“Cinta tak punya definisi,” kata lbn ‘Arabī, sufi dan mistikus besar Islam kelahiran Spanyol pada abad-12 M. Siapa berani mendefinisikan cinta berarti tak mengenalnya. Cinta adalah minum tanpa hilang haus. Cinta hanya bisa dimengerti sebagai proses. Ia tak pernah bisa dipotret utuh.
Tidak banyak yang paham tentang ungkapan Ibn ‘Arabī tersebut. Hingga seabad kemudian, Rūmī-lah yang mengungkapkan pengertian itu, menyebutnya dengan kata indah: Ishq.
Cinta adalah “laut ketakadaan,” kata Rūmī. Tabir kerahasiaan selalu mengerudunginya. “Apa pun yang kaukatakan atau lakukan untuk menanggalkan tabir itu, kau akan menambahkan selapis tabir lagi di atasnya.”
Agaknya karena itu, dalam ribuan masnawi dan diwannya, Rūmī hanya mengemukakannya dalam bentuk negasi. Dengan sederet kata bukan: Cinta ibarat “sebuah pohon yang tegak bukan di atas tanah, bukan di atas pokok, bahkan bukan di mahkota Surga.
Acap ia menjelaskannya dengan menampakkan cinta sebagai anti-tesis. Dalam renungan Rūmī, cinta adalah kubu yang berlawanan dengan nalar. Menemui cinta, kata Rūmī, “Intelek lumpuh kakinya.”
Sementara intelek atau nalar sibuk menerangi ruang dan meraih dunia, cinta punya hidup dan aktivitasnya sendiri. Memilih jalan sunyi di tengah deraian pirau gelita.
Cinta sungguh dahsyatullah. Ironisnya, banyak orang malah mengerdilkannya. Merayakan kusut di sarang pentungan sambil teriak lawah: Allah Akbar! Kekerasan pun tiba-tiba berkecamuk. [Deden Ridwan]