“Percikan Agama Cinta”: Khawarij-khawarij Baru
Atas dasar itulah, risalah Islam ditegakkan dalam pelbagai ranah kehidupan. Engkau mesti hayati: Islam adalah agama kemanusiaan. Islam mengajarkan kesetaraan. Jelas, basis dan puncak ajaran Islam itu kasih sayang; ikhsān yang melahirkan akhlak.
JERNIH–Saudaraku,
Sehabis bangun pagi. Aku tiba-tiba teringat hadis popular ini. Ketika di pondok dulu, hadis ini aku sudah hapal sebagai bekal untuk latihan muhadhoroh (pidato) setiap malam Jum’at.
“Aku diutus ke bantala hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia”, demikian sabda Rasulullah SAW.
Kata “hanya” amat ditekankan. Mendasar. Demi menyempurnakan akhlak. Memperbaiki karakter. Tak ada misi lain. Pun kata yang digunakan adalah “menyempurnakan”, bukan “revolusi”.
Ketahuilah. Langkah Nabi SAW untuk mewujudkan misi profetik itu sangat penting engkau renungkan. Bayangkan, berawal dari mengenal Allah (tauhid). Lalu rasa memafhumi Allah itu, engkau buktikan dengan membangun akhlak, baik bersifat vertikal maupun horizontal; individual maupun sosial.
Kemudian, engkau tunjukkan dengan membangun sistem sosial-politik-budaya-ekonomi berbasiskan kasih-sayang (silaturrahmi). Akhirnya, engkau perkuat dengan pemihakan pada kaum miskin dan lemah (terpinggirkan) sebagai puncak kesalehan sosial. Engkau mesti bahagiakan mereka!
Simaklah. Misi profetik itu segaris dengan konsep manusia dalam Islam. Secara moral-filosofis, manusia adalah makhluk ruhaniah. Saat lahir ke bumi, engkau membawa modal spiritual berharga demi memaknai ruang-angksa. Engkau punya ikatan primordial dengan zat Mahacinta: bersifat hanif, cenderung pada kebaikan. Engkau mesti ledakan potensi spiritual itu di mana-mana. Menebar kasih-sayang, merayakan kemanusiaan. Hanya dengan itu, engkau akan meraih hakikat kebahagiaanmu.
Berdasarkan potensi ruhaniah manusia itu, Rasulullah SAW pertama-tama berusaha mengubah mental masyarakat dengan memperkenalkan konsep monoteistik (tauhid). Ya, makrifat ketuhananan dalam Islam dikenalkan dengan Tuhan yang esa. Merupakan langkah dasar supaya engkau kembali terhubung dengan ikatan ilahi. Dengan begitu, engkau menyadari: tauhid itu sangat humanistik. Tak ada yang sakral, kecuali Tuhan. Semua semesta pun beserta artepak-artepaknya bersifat profan.
Saudaraku. Atas dasar itulah, risalah Islam ditegakkan dalam pelbagai ranah kehidupan. Engkau mesti hayati: Islam adalah agama kemanusiaan. Islam mengajarkan kesetaraan. Jelas, basis dan puncak ajaran Islam itu kasih sayang; ikhsān yang melahirkan akhlak. Maka, Islam merupakan agama yang sangat menghargai keragaman, menyantuni perbedaan, dan menghormati rasa toleransi. Sekali lagi, intoleransi, kebencian, dan kekerasan tak punya tempat sedikit pun dalam Islam. Banyak kehidupan Nabi SAW membuktikan nilai-nilai itu.
Sadarlah. Dalam konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat, Islam tak mentoleransi secuil pun sikap merasa paling benar, mengafirkan sesama Muslim, dan mengolok-olok agama lain. Sungguh sikap semacam itu tak beradab. Berlawanan dengan nilai-nilai Islam dan prinsip civil society dalam ufuk kehidupan demokrasi modern.
Camkanlah. Aku sungguh sangat bersedih. Di suatu layar, aku melongok sang intelektual sedang mengkhutbahkan fatwa-fatwanya mirip kaum khawarij: begitu mudah menilai orang mati syahid atau jahiliyah, bughot, beriman atau kafir. Betul, khawarij-khawarij baru kini hadir di mana-mana dalam pelbagai wajah. Bahkan, terkesan mereka seolah menggadaikan pikiran-pikirannya untuk kepentingan kelompok atau penguasa.
Sebagai penutup renungan ini, aku teringat kata-kata sahabatku, Lintang Pandu, seorang desainer beken asal Malang yang mengharumkan Indonesia di kancah dunia. Kata-katanya begitu menggetarkan: “engkau mesti menjadi penengah antara agama dengan negara. Jangan terlalu fanatik. Setiap orang punya pandangannya sendiri dalam hidup beragama. Pandangan harus luas, jangan menghakimi dan menganggap rendah orang yang tidak sama. Perbedaan itu biasa, yang tidak boleh berbuat aniaya, keji, mungkar, jahat, merampok hak orang. Selalu jaga lisan, tulisan, dan hati.”
Luar biasa, terima kasih kawan! [Deden Ridwan]