“Percikan Agama Cinta” : Nyalakan Lilin, Beri Para Pecinta Jalan Pulang
Rasanya aku ingin sekali berteriak lantang: singkirkan duri-duri itu. Aku ingin beringsut menerobos lorong-lorong gelap. Melawan diri-sendiri. Menyalakan lilin.
JERNIH– Saudaraku,
Tetaplah menjadi matahari yang menerangi bumi. Meski terkadang terasa pahit. Sepahit lautan onak di tengah gurun bebatuan yang mengeras.
Aku menyelami sungguh batinmu berguncang. Menyaksikan ujaran-ujaran kebencian terus dirayakan dengan sukacita di surau-surau, di masjid-masjid, di majlis-majlis ilmu oleh orang-orang kerdil yang selalu mengatas-namakan sabda-Mu.
Oh, dalam menegakkan cahaya denyut itu selalu ada duri. Kadang cucuk itu, tanpa sadar, justru diri sendiri.
Rasanya aku ingin sekali berteriak lantang: singkirkan duri-duri itu. Aku ingin beringsut menerobos lorong-lorong gelap. Melawan diri-sendiri. Menyalakan lilin. Meretas jalan pulang bagi para pecinta.
Namun, serpihan-serpihan itu tetap melekat. Menyatu dalam nafas. Selama bentala masih berputar, tulang-tulang itu mewujud hantu-hantu yang bergerilya mensandera waktu.
Susuh-susuh itu berasak laksana batu-batu terjal di tangan para pemuka agama yang gemar berkhutbah lantang. Namun jauh dari risalah cinta yang dibawa kekasih-Mu, panutan alam semesta.
Oh, onak-onak itu ternyata lahir dari rahim nafsu-kuasa. Memaksa aku menjadi patung: diam, sunyi, tunduk. Menatap-Mu dengan khusyu’. Aku hanya bisa pasrah dengan hati getir. Merindukan titisan cinta-Mu. Namun selama rebas itu tetap hadir, aku tak berhenti berkalih menemukan makna.
Wahai saudaraku,
Kembalilah ke pangkuan rumah-Mu, sekarang pun! Aku menunggu di ufuk malam sambil menikmati aroma hujan yang diguyur air mata cinta. [Deden Ridwan]