Perjuangan Melawan Nafsu
Betapa mustajabnya doa orang puasa. Juga kepala negara yang adil, dan orang-orang yang teraniaya.
Oleh : A. Suryana Sudrajat
JERNIH–Tiga jenis orang yang doanya tidak ditolak Tuhan: imam yang adil, orang yang berpuasa sampai berbuka, dan orang yang dizalimi. Akan diangkat doa itu oleh Allah di atas swan; pada hari kiamat, akan dibukakan baginya pintu langit, lalu Dia berkata, “Demi kemuliaan-Ku, akan Kutolong engkau, walaupun tidak sekarang.”
Betapa mustajabnya doa orang puasa. Juga imam (kepala negara) yang adil, dan orang-orang yang teraniaya. Selain hadis yang diriwayatkan Abi Hurairah itu, Abdullah ibn Umar juga pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Bagi orang yang berpuasa, ketika dia berbuka adalah saat doa yang mustajab.”
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan pula, “Barangsiapa berpuasa pada Ramadan, dengan iman dan perhitungan baik, diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” Syarah para ulama selalu mengatakan: itu untuk dosa kecil. Namun untuk dosa besar, bulan Ramadan, Ketika seseorang berpuasa dengan ikhlas dan penuh harapan pada hitungan yang baik, itulah saat yang paling mustajab untuk melakukan tobat khusus.
Dalam rangkaian ayat puasa, terselip sebuah yang menggambarkan kedekatan Tuhan dan kita. ”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permintaan orang yang meminta jika ia meminta kepada-Ku. Sebab itu hendaklah mereka menjawab Aku, dan beriman kepada-Ku, supaya mereka terbimbing.”
Doa apakah yang Anda mohonkan pada Ramadan? Berkata Buya Hamka: “Dalam berdoa kepada Tuhan, mintalah modal yang besar dan kokoh. Bukan benda, tetapi (yang) dapat menghasilkan benda. Doa-doa yang dari Nabi adalah sebaik-baik doa. Kalau tidak pandai bahasa Arabnya, bolehlah dengan bahasa kita sendiri, asal dengan ikhlas.”
Orang yang cerdik, karena terbimbing (yarsyuduun), kata Buya dalam “Tafsir Al-Azhar”-nya, bukanlah orang yang mendikte Tuhan. Misalnya, “Ya Allah, beri saya itu. Ya Allah, hindarkan dari saya ini”. Karena, kata ulama yang seniman ini, kalau pihak hambalah yang menentukan yang diminta, kalau tidak diberi apa yang dimintanya itu, dia akan kecewa. Jangan pula Anda menentukan masa pemberian. “Karena kalau terlambat diberi, timbul lagi omelan. Padahal lambat atau cepat hanyalah ukuran keinginan.” Buya juga mengingatkan: ”Sekali-kali jangan meminta kepada yang lain (dari Allah). Sangat kurang budi kalau kita memakai perantaraan, padahal Dia telah membukakan pintu.” Kalimat ini bagus sekali.
Kelihatannya ada kaitan antara perintah puasa, yang bertujuan “supaya kamu menjadi orang bertakwa”, dan tokcer-nya doa orang puasa. Tentu itu bagi mereka yang puasanya berhasil—yang menunaikannya dengan penuh keimanan dan memelihara puasanya bukan saja dari perbuatan yang membatalkan, yakni makan-minum dan berhubungan seks, tetapi juga dari perbuatan-perbuatan yang bisa merusak nilai puasanya, yang menyebabkan ia, sebagaimana dikatakan Nabi, “…tidak memperoleh apa pun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.”
Puasa sesungguhnya, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah, adalah separo dari seluruh sikap tahan uji (shabr).
Banyak ulama mengatakan, puasa merupakan sarana berlatih mengendalikan diri. Yakni dari jeratan nafsu perut, keinginan melahap apa saja, dan nafsu faraj, mengumbar selera rendah sehingga kemanusiaan kita menjadi merosot karena dua hal yang di dalam masyarakat kontemporer sering pula dihubungkan dengan uang dan kekuasaan. Karena itu, puasa juga disebut latihan perang melawan hawa aafsu. “Hal yang kutakutkan dari umatku,” demikian sabda Nabi, “adalah pengumbaran hawa nafsu dan panjang lamunan. Mengumbar nafsu memalingkan manusia dari kebenaran (al-haqq), sedangkan melamun panjang membuat orang lupa kepada akhirat. Karena itu ketahuilah, melawan hawa nafsu adalah modal ibadat.” (riwayat Hakim dan Dailamy).
Ada tiga golongan manusia dalam perjuangannya melawan hawa nafsu. Pertama, orang-orang yang keok—dan diperbudak oleh hawa nafsu mereka. ”Adakah engkau lihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya” (QS 25:43).
Kedua, orang yang jatuh-bangun ketika melawannya. Itulah golongan menengah atau kaum kebanyakan seperti kita umumnya, yang selalu diingatkan oleh Rasulullah bahwa perang terbesar adalah perang melawan hawa nafsu. Dan sebagai lazimnya orang kebanyakan, suatu saat dia menang, di saat yang lain dia kalah. Tetapi yang penting, tidak menyerah.
Ketiga, mereka yang dalam derajat para nabi dan wali. Yakni orang-orang yang sudah mengalahkan nafsu sendiri. Dia yang memerintah dan bukan hawa yang mengendalikan. Rasulullah bersabda: “Tidak seorang pun di antara kita yang tidak bersyaitan. Dalam diriku pun ada syaitan. Allah telah menolongku menghadapinya sehingga aku bisa menaklukannya.”
Allah berfirman,”Adapun orang yang gentar di hadapan kebesaran Tuhannya dan menahan dirinya dari hawa, maka sorgalah tempat tinggalnya.” (QS 79:40-41).
Memang tidak mudah meraih tiket ke sorga. Namun bulan puasa terbentang panjang, menyediakan bukan main banyak peluang. Dan menunggu. [ ]