SolilokuiVeritas

Polri dan Reformasi yang Tertinggal

Budaya militeristik tak pernah benar-benar pergi. Reformasi Polri yang diharapkan justru jalan di tempat. Tri Brata dan Catur Prasetya dikumandangkan sebagai pedoman moral, tapi dalam praktik, kekerasan, pungli, dan impunitas tetap menjadi wajah sehari-hari. Polisi jadi kekuatan politik baru: mengatur Pemilu, membeking tambang ilegal, mengkriminalisasi oposisi.

Oleh     :  Radhar Tribaskoro

JERNIH– Reformasi 1998 pernah menjadi semacam fajar. Dalam bayangan banyak orang kala itu, runtuhnya Orde Baru tak hanya membuka pintu demokrasi, melainkan juga menata ulang kekuasaan militer yang selama tiga dasawarsa bercokol di segala sendi kehidupan.

ABRI—nama lama TNI—membagi diri dalam dwi fungsi: alat perang sekaligus alat politik. Mereka duduk di DPR, mengatur bisnis, mengendalikan pemda, sampai menempatkan perwira aktif dalam perusahaan negara.

Ketika rezim jatuh, publik menuntut satu hal: militer harus mundur. Dan mundurlah mereka, setidaknya secara formal. Dwi Fungsi dihapus. Kursi TNI-Polri di DPR dihapus bertahap sampai 2004. Tentara kembali ke barak, setidaknya di atas kertas. Bahkan sebuah keputusan penting dibuat: Kepolisian dipisahkan dari tentara, agar benar-benar menjadi aparat sipil.

Di sini jalan bercabang.

TNI setelah 1998 menata ulang doktrin: mereka bukan lagi kekuatan politik, melainkan alat pertahanan. Mereka mencoba menanggalkan wajah politis, membiarkan partai-partai berdebat di Senayan tanpa kursi ABRI. Memang benar, bisnis-bisnis TNI tak sepenuhnya hilang, tapi setidaknya ada upaya mengalihkan ke negara. Kekerasan masih berlangsung—terutama di Papua—tetapi di Jakarta citra TNI relatif membaik.

Polri justru memasuki babak baru: mereka berdiri sendiri, tanpa payung militer. Tapi justru dalam kesendirian itu, mereka menanggung beban ganda. Polisi diposisikan sebagai garda utama keamanan dalam negeri, pengendali kriminalitas, penjamin ketertiban, bahkan pengatur lalu lintas demokrasi. Kekuasaan yang tadinya dipegang tentara pelan-pelan pindah ke polisi.

Namun apa yang terjadi? Budaya militeristik tak pernah benar-benar pergi. Reformasi Polri yang diharapkan justru jalan di tempat. Tri Brata dan Catur Prasetya dikumandangkan sebagai pedoman moral, tapi dalam praktik, kekerasan, pungli, dan impunitas tetap menjadi wajah sehari-hari. Polisi jadi kekuatan politik baru: mengatur Pemilu, membeking tambang ilegal, mengkriminalisasi oposisi.

Dua Jalan, Dua Persepsi

Dua puluh tujuh tahun berlalu. Publik kini melihat sebuah asimetri. Tentara dianggap relatif berhasil mundur dari panggung politik. Polisi justru sebaliknya: semakin dalam masuk ke jantung politik dan ekonomi, sambil mempertahankan warisan kultur kekerasan.

Maka tuntutan pun bergeser. Jika 1998 tuntutannya “Reformasi TNI,” kini 2025 tuntutannya “Reformasi Polri.”Ada yang menarik: mengapa publik tidak lagi menuntut reformasi TNI, padahal TNI sejak dulu dikenal jauh lebih keras?

Ada empat jawaban. Pertama, citra TNI lebih terjaga. Setelah 2004, TNI jarang tampil ke permukaan politik sehari-hari. Mereka tidak ikut dalam hiruk pikuk Pemilu, tidak terlihat di ruang kriminalisasi oposisi. Kekerasan mereka “terlokalisir” di Papua atau daerah konflik, sehingga bagi banyak orang di Jawa, Sumatera, atau Bali, TNI nyaris tak bersentuhan langsung dengan kehidupan harian.

Kedua, Polri lebih dekat dengan rakyat. Tilang, razia, sengketa tanah, konflik buruh, demonstrasi mahasiswa—semua berhadapan dengan polisi. Hubungan ini intim sekaligus penuh luka. Publik merasakan langsung aparat yang semestinya melayani, tapi justru kerap menindas.

Ketiga, ekspektasi publik berbeda. Tentara diposisikan sebagai penjaga NKRI—keras dianggap wajar. Polisi diposisikan sebagai pelayan masyarakat—keras dianggap pengkhianatan.

Keempat, politik elektoral. TNI menjaga jarak, Polri justru terjun. Polisi ada di jantung Pemilu, ada dalam jaringan logistik politik, ada dalam kasus kriminalisasi. Itulah sebabnya sorotan tajam diarahkan ke Polri.

Reformasi yang Tertinggal

Reformasi TNI, betapa pun tidak sempurna, punya pencapaian simbolik: mundur dari politik. Reformasi Polri, sebaliknya, gagal melahirkan transformasi substantif. Ia hanya melahirkan simbol: Tri Brata, Catur Prasetya, jargon-jargon moral.

Dalam praktik, Polri tetap saja bercorak militer: struktur hierarkis, loyalitas vertikal ke atasan, bukan ke masyarakat. Bahkan, sebagian orang beranggapan Polri kini menjadi “ABRI baru”—kekuatan politik-ekonomi yang otonom, yang tak lagi tunduk penuh pada Presiden, apalagi rakyat.

Publik tidak butuh teori untuk sampai pada kesimpulan ini. Mereka punya ingatan.

Mereka ingat kasus Ferdy Sambo, yang membuka tabir betapa Polri adalah republik kecil dengan hukum sendiri. Mereka menyaksikan bagaimana Parcok di Jawa Tengah memenangkan Pilkada. Tragedi Kanjuruhan ketika 135 orang tewas akibat gas air mata ditembakkan ke dalam stadion tertutup. Mereka mendengar kabar bahwa salah satu polisi yang melindas almarhum Affan Kurniawan ternyata orang yang sama yang pernah menyiram air keras ke wajah Novel Baswedan. Impunitas menjadi benang merah: kesalahan besar hanya berujung rotasi jabatan, bukan hukuman.

Maka ketika hari ini publik menuntut reformasi Polri, itu bukan karena mereka benci polisi. Itu karena mereka kecewa.

TNI dan Polri: Cermin yang Berbeda

Jika TNI adalah cermin masa lalu—kekerasan Orde Baru, operasi militer, pembunuhan misterius—maka Polri adalah cermin masa kini: tilang elektronik yang bisa dimanipulasi, sengketa tanah yang dibeking aparat, politik uang yang dijaga ketat polisi berseragam.

Bedanya, TNI berhasil menempatkan dirinya di pinggir panggung. Polri justru berdiri di tengah sorot lampu. Karena itu sorak dan cemooh diarahkan ke polisi, bukan ke tentara.

Apa yang hilang dari Reformasi? Reformasi Polri selama 27 tahun kehilangan dua hal: arah dan pengawasan.

Arah yang dimaksud adalah visi: Polri mau jadi apa? Apakah ia benar-benar aparat sipil, atau tetap jadi pasukan militer berseragam lain? Apakah ia pelayan masyarakat, atau penjaga kekuasaan?

Pengawasan yang dimaksud adalah kontrol publik. Kompolnas lemah, Ombudsman tak punya daya paksa, DPR terlalu sibuk dengan transaksinya sendiri. Maka Polri berjalan tanpa rem eksternal.

Mungkinkah reformasi dilakukan dari dalam? Sulit. Polri sudah mencoba sejak 1998, tapi hasilnya nihil. Hanya jargon, bukan substansi. Yang dibutuhkan adalah kombinasi tekanan internal dan eksternal. Tim internal yang dibentuk Kapolri harus dikawal tim eksternal yang dibentuk Presiden. Relasinya bukan sekadar vertikal (atasan-bawahan), tapi horisontal: saling koreksi, saling isi.

Namun itu pun tidak cukup. Yang lebih penting adalah kemauan politik. Presiden harus berani berkata: Polri bukan alatku, melainkan alat negara. DPR harus berani menolak intervensi kepolisian yang membajak proses politik. Dan masyarakat sipil harus terus mengawasi, meski sering dianggap musuh.

Epilog: Membuka Luka, Mencari Jalan

Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa reformasi bukanlah sebuah pesta yang selesai dalam satu malam, melainkan proses panjang yang penuh luka. Reformasi TNI membuktikan hal itu: mundurnya tentara dari politik adalah pencapaian, tapi kekerasan masih membekas. Reformasi Polri juga membuktikan hal itu: meski 27 tahun berlalu, luka masih terbuka, bahkan makin lebar.

Masyarakat kini menuntut reformasi Polri bukan karena reformasi gagal total, tetapi karena reformasi tertinggal. Publik tidak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang aparat yang korup, represif, dan berpolitik. Publik ingin polisi yang benar-benar sipil: pelindung, pengayom, pelayan.

Ironinya, justru karena TNI berhasil menjaga jarak, tuntutan kepada mereka mereda. Dan justru karena Polri gagal menjaga diri, tuntutan itu kini membara.

Reformasi 1998 melahirkan demokrasi. Tapi demokrasi hanya bisa hidup jika hukum adil, dan hukum hanya bisa adil jika aparat penegaknya bersih. Itulah sebabnya, 27 tahun kemudian, kita kembali ke jalan buntu yang sama: reformasi belum selesai. [ ]

Back to top button